Minggu, 13 November 2011

Dalam Mihrab Cinta

HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY adalah sarjana Al Azhar University Cairo. Founder dan Pengasuh Utama Pesantren Karya dan Wirausaha BASMALA INDONESIA, yang berkedudukan di Semarang, Jawa Tengah. la dikenal secara nasional sebagai dai, novelis, dan penyair. Beberapa penghargaan bergengsi berhasil diraihnya, antara lain, Pena Award 2005, The Most Favorite Book and Writer 2005, dan IBF Award 2006. Tak jarang ia diundang untuk berbicara di forum-forum nasional maupun internasional, baik dalam kapasitasnya sebagai dai, novelis, maupun penyair. Seperti di Cairo, Kuala Lumpur, Hongkong, dan Iain-lain. Karya-karyanya selalu dinanti khalayak karena dinilai membangun jiwa dan menumbuhkan semangat berprestasi. Di antara karya-karyanya yang telah beredar di pasar adalah Ayat Ayat Cinta (novel fenomenal yang akan dilayarlebarkan, 2004), Pudarnya Pesona Cleopatra (novelet, 2004), Di Atas Sajadah Cinta (kumpulan kisah teladan yang telah disinetronkan di Trans TV, 2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (kumpulan kisah teladan, 2005), Ketika Cinta Bertasbih (novel fenomenal yang belum genap sebulan beredar telah terjual 30.000 eksemplar, 2007). Karyanya yang siap dirampungkan: Langit Makkah Berwarna Merah, Bidadari Bermata Bening dan Bulan Madu di Yerusalem.
OPTIMALISASI DAN EFEKTIVITAS MEMBACA Jenis huruf/fontase, ukuran, lebar kolom, dan spasi baris yang dipakai dalam buku ini telah melalui serangkaian penelitian panjang, dan terbukti paling efektif untuk kecepatan/optimalisasi membaca dan memahami, dan efektif bagi semua usia: tua-muda.


Saya merasa bahwa Allah begitu menyayangi dan mencintai saya dengan segala anugerah yang telah diberikan kepada saya. Di antara anugerah yang membuat saya merasa begitu disayang Allah adalah anugerah suka membaca dan menulis. Dengan banyak membaca saya semakin mengenal Allah, semakin mengenal Rasul-Nya, semakin mengenal sifat dan jati diri orang-orang besar yang saleh dan mulia. Dengan membaca saya merasakan bisa melipat ruang dan waktu. Saya bisa merasakan hidup di pelbagai tempat dan saat. Saya bisa menghayati pelbagai macam perasaan jiwa. Saya bisa merasakan ketulusan Abu Bakar saat m e n e m a n i hijrah Baginda Rasul. Saya bisa merasakan dahsyatnya doa Baginda Nabi saat berdoa sambil menangis menjelang Perang Badar. Saya bisa merasakan kesedihan kota Madinah saat Rasulullah wafat. Saya bisa merasakan rasa pilu tiada tara saat Sayyidina Husein, cucu Rasulullah Saw. dibantai di Karbala. Saya bisa merasakan semangat Imam Bukhari saat bertahun-tahun mengembara mengumpulkan hadishadis sahih. Saya bisa merasakan kobaran keberanian tiada tara saat mendengarkan pidato Thariq bin Ziyad saat membakar kapal-kapal tentaranya begitu menginjak tanah Andalusia. Dengan membaca saya bisa merasakan indahnya musim semi di Istana Al Hamra. Saya bisa merasakan dahsyatnya rasa rindu Majnun pada Laela. Saya bisa mencium aroma darah yang menggenang di Kota Baghdad karena pembantaian yang dilakukan oleh Tentara Tartar. Saya juga merasakan aroma yang sama
ketika Amerika melakukan pembantaian yang sama di Baghdad. Saya bisa merasakan perasaan hancur seorang ayah di Palestina yang anak kesayangannya ditembak mati di pangkuannya oleh Tentara Israel, seperti yang dialami ayah Muhammad Al Dorrah. Saya bisa merasakan ketegangan hidup bergelut dengan laut dan ikan hiu sendirian berhari-hari dan bermalam-malam seperti yang dialami Pak Tua dalam The Old Man and The Sea. Saya bisa merasakan rasa patriot tiada tara yang dirasakan oleh Soekarno dan Hatta saat memproklamirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itulah setetes perasaan yang saya dapat dari membaca. Masih ada ribuan perasaan dan pengalaman dari membaca yang tidak mungkin saya ceritakan di sini. Inilah satu anugerah yang saya rasakan sangat indah, saya rasakan betapa Tuhan sangat mencintai saya. Dan dengan menulis saya merasakan kenikmatan yang tidak kalah dengan kenikmatan membaca. Dengan menulis saya bisa menciptakan perasaan saya sendiri. Saya bisa mengajak jiwa saya semangat, bahagia, sedih, haru, bergetar dan lain sebagainya. Dan saya bisa mengajak orang lain merasakan apa yang saya rasakan. Dengan menulis saya bisa mengajak jiwa saya semangat ketika sedang melemah. Saya bisa mengajak jiwa saya optimis memandang terang cahaya ketika sedang merasa sedih dan redup. Dengan menulis saya seolah bisa mengobati diri saya sendiri ketika saya sedang sakit. Dan dengan menulis saya merasa lebih berdaya. Saya merasa menemukan ruang yang pas untuk mengajak diri sendiri dan orang lain berusaha menjadi lebih baik dan berdaya.
Dan dengan menulis saya merasakan betapa Tuhan begitu mencintai saya. Allahu akbar! Kali ini saya menulis tiga novelet yang terkodifikasi dalam tajuk Dalam Mihrab Cinta ini. Perlu sidang pembaca ketahui bahwa sesungguhnya novelet Dalam Mihrab Cinta ini ingin saya luncurkan bersamaan dengan dwilogi Ketika Cinta Bertasbih 1. Namun karena alasan marketing, akhirnya Penerbit Republika baru bisa meluncurkannya sekarang. Tentu, setelah dwilogi Ketika Cinta Bertasbih 1 menggelinding ke pasar. Padahal sejatinya novelet Dalam Mihrab Cinta ini telah siap terbit jauh sebelum dwilogi Ketika Cinta Bertasbih 1 tersebut. Begitulah. Saya hanya bisa merencanakan, tapi hasilnya, Allah jualah yang menentukan. Baiklah! Tiga novelet yang saya maksud adalah sebagai berikut: Novelet pertama berjudul "Takbir Cinta Zahrana". Dalam novelet yang sebagian isinya saya angkat dari kisah nyata ini saya mencoba menulis tentang indahnya ketegaran dan ketulusan di jalan Allah. Saya juga mencoba me-muhasabah-i tindakan orang seperti Zahrana yang lebih lebih mementingkan karier akademik daripada karier membangun rumah tangga dan membina generasi. Akademik dan karier bagi siapa pun, memang penting, tapi membangun rumah tangga dan membina generasi juga tak kalah pentingnya. Alangkah baiknya jika keduaduanya berjalan seiring seirama. Itulah yang saya harapkan dari hasil me-muhasabah-i "Takbir Cinta Zahrana", dengan menyajikan "kasus" Zahrana. Novelet kedua berjudul "Dalam Mihrab Cinta". Novelet ini adalah ringkasan atau petikan dari roman
"Dalam Mihrab Cinta" yang sedang saya siapkan. Sengaja saya kenalkan setengah dari alurnya kepada pembaca agar nanti lebih familiar dan lebih mantap dalam membaca roman "Dalam Mihrab Cinta." Meskipun berbentuk petikan atau ringkasan, namun roman "Dalam Mihrab Cinta" ini insya Allah sudah menyuguhkan jalinan cerita yang utuh. Dengan novelet ini saya mencoba menguraikan pepatah yang sangat terkenal di tanah Jawa yaitu, "Becik ketitik olo kethoro" (kebaikan akan tampak dan kejahatan akan kelihatan). Saya juga mencoba mengajak para generasi muda untuk optimis menatap masa depan. Memang belum detil dalam novelet ini. Karena sekali lagi, ini adalah ringkasannya. Lebih detilnya insya Allah ada dalam novel sesungguhnya yang masih dalam proses pematangan. Novelet ketiga berjudul "Mahkota Cinta". Sesungguhnya, novelet ketiga ini merupakan hasil riset kecil saya terhadap beberapa kehidupan mahasiswa pascasarjana Indonesia yang tengah menempuh studi di negeri Jiran Malaysia, terutama di universitas tertuanya, yaitu Universiti Malaya. Saya terketuk menyajikannya dalam bentuk novelet karena banyak kisah menarik dari perjalanan mereka yang bisa kita ambil hikmahnya. Subhanallah! Akhirnya, lazimnya sebuah "Sekapur Sirih", rasanya tidak bijak kalau saya tidak mengucapkan terima kasih kepada mereka yang berjasa bagi lahimya karya saya ini. Pertama dengan rasa cinta mendalam saya sampaikan rasa terima kasih kepada Ummi, ibu yang melahirkan, merawat, mendidik dan mendoakan diriku setiap saat. Juga kepada Bapak, yang selama ini memberikan keteladanan untuk hidup bersahaja dan ikhlas berjuang dijalan Allah. Juga kepada isteriku tercinta Muyasarotun Sa'idah yang sedemikian tulus menemani hidup ini dalam suka dan duka. Terima kasih juga kepada buah hatiku: Muhammad Neil Author, yang celoteh dan tawanya sangat mengkayakan jiwa dan menyalakan api semangat berkarya. Tak lupa kepada adik-adikku tercinta; Anif Sirsaeba, Ahmad Mujib, Ali Imron, Faridarul Ulya dan M. Ulinnuha. Mereka semua selalu menyemangati kakaknya untuk terus menulis karya terbaik. Juga terima kasih kepada Pak Ahmadun Y. Herfanda yang sangat tulus memberikan masukan-masukan yang sangat berguna bagi kemajuan saya menulis. Kepada Pak Tommy, Pak Awod, Mbak Hanik, Mas Arif dan temanteman di Republika. Kepada A. Basith El Qudsy, Sa'dullah, Kasmijan dan santri-santri Basmala semuanya. Tak lupa kepada Mbak Helvi, Mbak Asma, Mbak Intan, Mas Irfan, Mas Gola Gong, Mas Ekky Mbak Dee, Mas Haekal, dan segenap teman-teman seperjuangan di FLP Pusat. Juga kepada siapa saja, yang dengan tulus telah mendoakan saya dan mengapresiasi karya-karya saya. Kepada mereka semua saya sampaikan jazakumullah khairal jaza'. Wassalamu'alaikum. Pesantren Basmala Semarang, 15 Januari-20 Mei 2007 Habiburrahman El Shirazy
Takbir Cinta Zahrana
(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)
Satu
Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang-orang seusianya. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institut teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya d u d u k dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang.
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi p e r e m p u a n seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa kali ia m e n d e n g a r pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita. Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya. Ia terkadang menyalahkan dirinya sendir kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak d u d u k di b a n g k u kuliah itu mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka. Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak. Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses. Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam. Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya. Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya, b a h k a n m a h a s i s w i yang ia b i m b i n g skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo agamanya. Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang. Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Ia masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat, "Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, atau lengkapnya Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa Jawanya bisa dibilang halus. "Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di pipinya. "Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai." "Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara serak. "Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana, bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan menginginkanmu." "Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti bisa saya berikan." "Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam. Kali ini yang datang melamarnya bukan orang sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji. Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom bensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus berkata bagaimana. Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak mengambil risiko dengan menerima orang amoral seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya. Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan. Itu pendapat Lina. Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang.
Dan juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang. Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan. Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung pahalanya?" Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman. Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam, ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian tibatiba wajah keriput kedua orangtuanya muncul dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk? Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"
la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bunga-bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill, "Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap." Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing yang siap maju sidang membela mahasiswanya mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan kekuatannya. Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil. Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi. Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang, Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuanya menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali pasrah dalam kekecewaan. N a m u n mereka tetap berharap akan terjadi hal yang membahagiakan. Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir cucu yang jadi penerus keturunan.
Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah, Anakku? orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama ini. Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget. Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya cukup luas. Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk. Terpaksa duduk di beranda. la yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya. Rombongan telah d u d u k tenang. Pak Karman menyukur bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam. Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi bicara. Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan suasana.
Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua orang ibu-ibu yang rapi berkerudung. "Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta. Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati hidangan seadanya. Mendengar hal itu spontan Pak Karman berkomentar dengan gaya lucu, "Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus mencicipi. Agar awet m u d a dan bisa menyunting bidadari." Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja tidak mau ia dengar. Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto, juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan, "...dan maksud kedatangan kami adalah untuk menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan." Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang terbata-bata, "Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga bahagia. Bagi kami lamaran ini adalah suatu bentuk penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya dengan penghormatan yang le..lebih baik. Namun masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan daripada kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan." Masalah sudah jelas.
Semua tamu melihat ke arahnya. la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah sekarang yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha untuk tenang. Setenang ketika ia membantu argumen mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi, "Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad Saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan. Tergesa-gega itu datangnya dari setanl' Saya tidak mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak bisa menjawab sekarang." Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa bersikap apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi. Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata mendengar jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu ke mana arah perkataan putrinya itu. Menjelang Maghrib rombongan itu pamit. Zahrana langsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untuk disampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum, dengan senyum yang susah diartikan.
"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk? Pak Karman memang agak tua, tapi ia berpendidikan dan kaya. Dia juga bisa tampak muda." Kata ibunya yang sudah tahu keputusannya. "Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana Bu. Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya. Itu saja." Jawab Zahrana. "Lha Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia sudah haji. Sudah menyempurnakan rukun Islam. Kita saja belum." Bantah ibunya. Ia merasa, memang agak susah m e m a h a m k a n ibunya bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau belum. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak. Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang bertitel haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi kejahatannya. Atau malah berhaji untuk melakukan kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung dia ajak dialog masalah itu. "Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang. Saya sangat tahu siapa dia, soalnya saya satu kampus dengannya. Nanti kalau ada yang cocok pasti saya menikah Bu." Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan "pokoknya", sang ibu langsung diam dengan raut muka sedih. Dalam hati ia istighfar jika telah melukai ibunya.
Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah, tidak boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua yang sangat terlambat menikah, namun ia tidak mau gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak. Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban untuk Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya tegas dan lugas:
Karman besok pagi. Dan ia sudah berketetapan akan mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban itu pasti tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat mengecewakan Pak Karman. Untuk menjaga hal yang tidak baik, lebih baik ia tidak masuk kampus. Dan kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala. Apa yang ia rencanakan berjalan. Dan apa yang ia prediksi terjadi. Dua hari kemudian ia mendapatkan SMS dari Pak Karman:
"Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa jawabanmu sangat mengecewakan a k u ! "
Kepada Yth. Bpk. H. Sukarman, M.S.c Di Semarang Assalamu'alaikum Wr. Wb. Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam naungan hidayah-Nya. To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum dan mohon maaf jika tidak berkenan. Wassalam, Dewi Zahrana
Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak. Entah kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya. Lalu ia mendapat SMS dari Bu Merlin:
" H a r i ini saya d i c a c i m a k i Pak K a r m a n g a r a - g a r a j a w a b a n m u . Saya sungguh kecewa dengan k a m u ! "
Airmatanya meleleh. "Maafkan aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih. Ia merasakan dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap kamarnya seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bisa pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap kuat dan tegar di jalan-Nya.
la lalu menge-print surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop putih. Ia akan minta bantuan seorang mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada Pak
Dua
Firasatnya benar. Lima hari setelah ia mengirim jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimik serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya, apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di kampusnya itu berkata, "Zahrana, k a m u m e m a n g bebas m e n e n t u k a n pilihanmu. Namun terus terang saya tidak mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta padamu, saya sangat kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melakukan yang terbaik, untukmu dan juga untuk Pak Karman. Namun agaknya ini semua berantakan karena keangkuhanmu." "Bu tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah berusaha menata hati dan jiwa untuk menerima Pak Karman. Saya tidak mau karena saya sudah terlambat menikah, lantas saya menikah untuk seolah-olah bahagia. Saya tidak mau batin saya justru menderita. Karena saya benar-benar tidak bisa menerima Pak Karman. Saya tidak mau, setelah menikah sosok Pak Karman justru jadi monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama sekali tidak bisa mencintainya Bu. Meskipun sebutir zarrah. Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon ibu bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang lebar dengan mengajak bicara dari hati ke hati. "Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di muka bumi ini yang bisa memaksa. Meskipun saya kecewa saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana, saya lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu dengan satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu. Ia mengisyaratkan hal itu kemarin setelah membaca suratmu. Sekadar saran dariku lebih baik kau mundur dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah Pak Karman bisa lupa bumi di mana ia berpijak." "Apa Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada kaget. "Iya Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri saja. Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta politik di kampus."
"Tidak Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan sampai titik darah penghabisan!" "Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta politik kampus. Tidak tahu benar siapa Pak Karman. Jika kau nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat untuk dipukul sampai mati. Mundurlah dulu. Bertiaraplah sementara waktu. Ini yang kulihat baik untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada kemampuan, kamu akan saya tarik lagi ke kampus. Kali ini percayalah padaku. Saya tidak rela orang sebaik kamu jadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan yang sudah saya cium dari sekarang." Zahrana akhirnya paham dengan apa yang disampaikan Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang disampaikan ia melihat ada kesungguhan dan ketulusan. Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat. Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah, "Baiklah Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan matang-matang saran Ibu. Saya sangat berterima kasih." "Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu. Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu Merlin.
Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya. Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya: Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah yang harus ditempuh.
Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu orang yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya. "Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada Zahrana. "Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran Bu Merlin." "Yang paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?" Zahrana menjawab dengan memandang lekat-lekat teman karibnya itu, "Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu Merlin. Saya percaya padanya." "Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak. Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan membuat perhitungan denganmu." "Jadi?" "Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri dengan baik-baik, daripada dipecat dengan membawa nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di Fakultas tempat kamu mengajar." "Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu?"
"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan yang menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak kerasan lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain sebagainya." Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan diri. "Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri." "Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu." "Kau memang sahabatku yang baik Lin."
Pagi itu Zahrana d a t a n g ke k a m p u s d e n g a n membawa dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu untuk rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama dosen banyak yang kaget. "Kami tahu dari Ibu Merlin bahwa kamu menolak lamaran Pak Karman. Apa karena itu terus kamu juga harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen mata kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling dekat dengannya. "Saya hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman baru. Mungkin saya akan mencoba kerja di sebuah perusahaan." Jawab Zahrana sekenanya sambil merapikan berkas-berkasnya. "Apa ini benar-benar sudah keputusan final?" "Ya. Final."
"Kami tak berhak menahanmu. Meskipun kami sangat kehilangan kamu jika kamu keluar. Tidak banyak pengajar yang seahli kamu. Jika nanti kamu ingin kembali ke kampus ini jangan segan-segan. Kami para dosen akan men-support-mu." "Terima kasih Pak Didik. Maafkan saya jika selama ini banyak berbuat salah." "Sama-sama." Setelah barang-barangnya rapi. la meletakkan surat pengunduran dirinya di meja kerja Pak Karman. Lalu mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat barang. Di koridor ia bertemu dengan mahasiswi berjilbab hitam. "Nina!" "Ya Bu Rana." "Bisa bantu saya sebentar?" "Bisa Bu." "Kalau begitu cari tiga teman, dan segera ke ruang kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit." "Baik Bu." Ia lalu balik ke ruang kerjanya. "Pak Didik?" "Ya Bu Rana." "Saya minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan ke Pak Rektor begitu saya pergi. Data-data saya di komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus saya minta tolong dicarikan taksi." "O bisa Bu."
Lima menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab, dan dua orang mahasiswa datang. Kepada mereka Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan diri dari kampus itu. "Kenapa Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif di Lembaga Pers Kampus. "Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja." "Tidak karena tekanan seseorang kan Bu?" tanya mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak. "Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang berani menekan Ibu tho San." Jawab Zahrana pada mahasiswa bernama Hasan. "Kalau ibu mundur, skripsi saya bagaimana Bu?" tanya mahasiswa itu lagi. "O tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu Merlin dan Pak Didik ya. Mereka akan membantumu, insya Allah." "Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun ibu tidak di kampus ini lagi?" "Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang wajah mahasiswanya satu per satu. Zahrana lalu meminta mereka mengangkat barangbarangnya ke luar gedung. Tak lama taksi datang. Zahrana p u n meninggalkan k a m p u s itu d e n g a n membawa seluruh barang-barangnya. Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya: tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!" Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika meluap, "Kurang ajar!" Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO lawan, tibatiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan nekat itu. Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan satusatunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis itu.yang masih banyak menganggap ilmu eksak tidak penting, yang menganggap "ilmu umum" lainnya juga tidak penting. Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak akan ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu diluruskan. Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya. la merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat dengan banyak ulama? Atau karena m e m a n g di pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia seperti Pak Karman yang dalam pandangannya sangat-sangat durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebih tenang dan tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benar-benar hilang tanpa guna. Sebab ia juga diterima sebagai konsultan sebuah perusahaan properti. Ia juga masih sering didatangi mahasiswanya. Yang masih sering datang adalah mahasiswanya yang bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di bawah bimbingannya. Namun setelah ia keluar, tugas pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan dan teman-temannya masih suka datang untuk konsultasi dan meminjam referensi. Ia merasa senang dengan kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya sendiri. Suatu siang ayahnya bertanya, mengapa ia meninggalkan kampus dan memilih mengajar di STM Al Fatah yang gajinya jauh lebih kecil. Ia menjawab,
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen, Demak, sedang membutuhkan seorang guru baru yang profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah berada di payung Yayasan Pesantran Al Fatah. Pesantren besar yang terkenal di Mranggen. Ia mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima. Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman mengajar Zahrana ketika mengajar di FT universitas swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas. Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan mengajar mahasiswa. Ada tantangan tersendiri mengajar santri
"Ingin mencari ketenangan dengan dekat kiai dan para santri." Ayahnya hanya mendesah tanda tidak setuju. Namun ia kemudian berusaha menghibur, "Yang kedua Yah, Zahrana berharap mengajar di lingkungan pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan jodoh Zahrana. Bertahun-tahun di kampus jodoh yang Zahrana harap tidak juga datang." Wajah ayahnya itu sedikit cerah, "Semoga harapanmu terkabul. Kalau perlu kamu harus berani minta tolong pada Pak Kiai. Siapa tahu beliau bisa membantu menemukan jodohmu." "Iya Yah. Mohon doanya terus." "Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu siang dan malam, Anakku." "Terima kasih Ayah."
"Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi daging tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat!"
Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror paling primitif, dengan kata-kata yang merendahkan dan menyakitkan. la periksa nomornya. Nomor yang tidak ia kenal. la nyaris membalas SMS itu dengan kata-kata yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan. Ia sudah bisa menduga kira-kira dan mana SMS itu berasal. Akhirnya ia memilih diam. Diam tanpa pernah menganggap SMS itu ada. Ia merasa diam adalah senjata paling ampuh. Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila. Menanggapi sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu. Internetnya sudah konek. Lima email dari temantemannya sesama dosen. Semuanya menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya. Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,
"Apa kabar Perawan Tua?" "Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya. Banggalah jadi perawan t u a ! "
Malam itu setelah memeriksa tugas-tugas anak didiknya Zahrana membuka komputer. Ia hendak berselancar di dunia maya internet. Ia ingin melihat apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang menarik. Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan membuat blog ia bisa menemukan jodohnya. Baru saja menyalakan komputer hp-nya berdering beberapa kali. Ada tiga SMS yang masuk. Ia membukanya:
"Sedang apa perawan t u a ? " "Ternyata jadi perawan tua itu indah."
Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih asyik berselancar di dunia maya. Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya untuk ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak Didik mengirim email kepadanya. la buka email itu: Subjeknya: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu. la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran. Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya selalu di atas mata kaki itu? dan memaksimalkan potensi. Ini harapan saya. Semoga ibu berkenan dengan harapan ini. Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata motion maaf. Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali saya tidak bermaksud seperti itu . Saya bermaksud kitasaling memberi manfaat. Itu saja. Akhirul kalam, Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. A m i n . Sebelumnya mohon maaf jika email saya ini menggangg . Sebenarnya sudah lama saya i n g i n m e n g i r i m email ini tapi terhambat karena beberapa sebab. Hari ini saya merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk memberikan sebuah tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara bahasa lisan tidak. Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang I b u . Juga apa yang I b u cari selama ini saya m e m beranikan diri mengajukan diri. Mengajukan diri untuk menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu. Saya menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang, untuk menjadi isteri kedua saya. Saya yakin isteri saya bisa menerimanya nanti. Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang sebenarnya yang saya harapkan adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu Zahrana. Bukan yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini. Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan dia. Saya y a k i n dengan kita m e m b i n a r u m a h t a n g g a bersama, kita bisa bersinergi. Kita bisa saling memberi Hormat saya, Didik Hamdani, M.T.
Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar, mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan. Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susah menjadi wanita. Jika Pak Didik itu tidak memiliki isteri, katakanlah duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik. Dan ia juga tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap" menjadi isteri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak mau" dimadu. la membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya, bila ia menerima tawaran Pak Didik itu, ternyata isterinya tidak setuju. Isterinya itu lantas melabraknya dan mengatakan kepadanya, "Hai perawan tua tengik, memang di dunia ini sudah tidak ada lelaki sehingga kamu tega merampas suami orang! Dasar perawan tua! Suka merusak pager ayu orang saja!" Ia tidak tahu akan menjawab apa. Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama sekali. Ia menganggap email itu tak pernah ada. Matanya masih berkaca-kaca.
Tiga
Bumi terus berputar pada porosnya. Detik berkumpul menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam berkumpul menjadi hari. Minggu berkumpul menjadi bulan. Ternyata sudah enam bulan Zahrana mengajar di STM. Namun masalah utamanya belum juga selesai. la belum juga mendapatkan jodohnya. Setelah mendapat tawaran dari Pak Didik, sudah ada dua orang yang maju. Tapi entah kenapa ia tidak sreg. Hatinya belum cocok. Yang pertama dibawa oleh teman ayahnya. Seorang satpam di sebuah Bank BUMN. Ia tidak lagi melihat status. Satpam atau apapun tak jadi masalah. la tidak sreg karena satpam itu tidak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Sekali lagi, tidak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Shalat juga dengan jujur diakuinya tidak pernah lengkap. la hanya membayangkan akan jadi apa anak-anaknya kelak jika ayahnya sama sekali tidak mengenal Al-Quran. Dalam bahasa dia, buta Al-Quran. Dan alangkah beratnya mengajari ngaji suaminya dari nol. Juga mendisiplinkan shalatnya dari nol. Akhirnya tanpa berpikir panjang ia lebih memilih menunggu yang lain. Orang yang kedua, yang maju melamarnya dibawa oleh temannya sendiri, Wati. Seorang pemilik bengkel sepeda motor. Duda beranak tiga. Status duda dengan berapa anak juga sebenarnya tidak masalah baginya. Ia tidak mungkin cocok dengan duda itu, karena ia telah kawin cerai sebanyak tiga kali dalam waktu tiga tahun. Tiga anak itu adalah hasil kawin cerainya dengan tiga perempuan berbeda. Ia tidak mau jadi korban yang keempat. Meskipun Wati mengatakan bahwa lelaki itu telah insyaf. Ia ingin menikahi Zahrana sebagai isteri yang terakhir. Karena ia tidak juga bisa menenangkan batinya. Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu. Datangnya lamaran silih berganti yang semuanya ditolak oleh Zahrana itu membuat ibunya sempat marah. "Kamu itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi hati tak akan mendapatkan jodohnya!" Ia menangis dimarahi ibunya begitu. Ia merasa penolakannya itu ada landasan logika dan syariatnya yang kuat. Ia menangis di pangkuan ibunya, dan minta maaf jika belum bisa menjadi anak yang membahagiakan orangtua. Ibunya, akhirnya luluh dalam tangis. Ayahnya yang melihat hal itu juga menangis. Sang ayah berkata sambil terisak, "Saat pindah ke STM Al Fatah kamu bilang siapa tahu jodohmu di pesantren. Coba datanglah ke Pak Kiai. Coba kamu minta pada Pak Kiai untuk membantu mencarikan. Mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!" "Baiklah ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk menemukan yang saya idamkan baiklah saya akan sowan ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya." Jawab Zahrana sambil mengusap airmatanya. Esoknya ia nekat mengajak Lina, menghadap Bu Nyai dan Pak Kiai. Ia mengajak Lina sahabatnya itu, karena Lina dulu pernah nyatri di Pesantren ARIS Kaliwungu selama satu bulan saja, yaitu selama bulan Ramadhan. Lina tentu lebih tahu berdiplomasi dengan Bu Nyai daripada dirinya yang sama sekali tidak pernah nyantri. Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah menyejukkan. Bu Nyai Sa'adah Al Hafidhah adalah isteri K.H. Amir Arselan, pengasuh utama Pesantren Al Fatah. Bu Nyai ini u m u r n y a lima p u l u h a n tahun. Dulu menghafal Al-Quran di Kudus. Dan di tangannya kini telah lahir ratusan santriwati yang hafal Al-Quran. Saat itu kebetulan Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya Bu Nyai yang menemui. 'Apa yang bisa Ummi bantu, Anakku? Oh ya siapa namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai.
" Nama saya Rana, Ummi. Lengkapnya Dewi Zahrana. Kedatangan saya ke sini pertama untuk silaturrahmi. Kedua untuk mohon tambahan doa dari Ummi. Kebetulan saya ikut mengajar di STM Al Fatah. Baru enam bulan ini Ummi." Terang Zahrana dengan kepala menunduk. "O begitu. Ya. Jadi kau guru baru di STM Al Fatah?" "Iya, Ummi." "Dulu nyantri di mana?" Belum sempat Zahrana menjawab, Lina memotong, "Zahrana ini belum pernah nyantri, Ummi. Tapi dia hariannya seperti santri. Zahrana ini dari SMA. Terus kuliah S.l di UGM dan S.2 di ITB Bandung, Ummi." "Kalau begitu kamu hebat ya Zahrana. Bisa S.2 di ITB. Jurusan apa?" "Teknik Sipil, Ummi." Bu Nyai hanya manggut-manggut. Lina tahu bahwa Zahrana tidak berani mengungkapkan maksud sebenarnya. Maka dengan tanpa diminta ia lalu menjelaskan dengan sehalus mungkin maksud utama kedatangan Zahrana ke pesantren. Bu Nyai menjawab, "Saya yakin tidak m u d a h mencari yang selevel denganmu, Anakku. Jujur saja kalau misalnya ada yang selesai S.2 umurnya sama denganmu dia akan memilih yang lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya punya ego, tidak mau isterinya lebih pinter dan lebih tua darinya. Tapi ya tidak semua lelaki lho. Sekali lagi tidak mudah mencarikan jodoh yang pendidikannya harus tinggi seperti kamu juga saleh. Kalau boleh tahu, kalau strata pendidikannya tidak setinggi kamu bagaimana?" Zahrana mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia menjawab, "Saat ini status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan saya Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Itu saja." "Oo, baiklah kalau begitu. Besok kautelpon aku ya. Nanti malam aku akan rembugan dengan Pak Kiai. Semoga ada pandangan." "Baik Bu Nyai." Keduanya lalu pamitan setelah dipaksa Bu Nyai menghabiskan minuman yang ada di gelas. "Harus dihabiskan. Kalau tidak habis itu namanya mubazir. Dan orang yang suka mubazir itu teman akrabnya setan." Kata Bu Nyai serius. Rana dan Lina hanya bisa manut saja. Mereka pulang dengan hati diliputi rasa gembira. Bu Nyai Dah, atau Ummi Dah, begitu para santri memanggilnya, ternyata sangat halus tuturbahasanya, begitu perhatian dan begitu menyenangkan. Wajar jika banyak santri yang mencintainya. Pak Kiai pasti bahagia punya isteri sebaik dia.
Zahrana baru saja masuk kelas, ketika kepala sekolah memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Ada apa sepagi ini kepala sekolah memanggilnya." Ia bergegas ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi tanda tanya. "Bu Rana, saya baru saja ditelpon sama Bu Nyai Dah. Beliau minta kau menghadap beliau sekarang juga." Begitu kata kepala sekolah begitu ia sampai di ruang kerja beliau. Zahrana langsung tahu kenapa Bu Nyai memanggilnya. Ia langsung bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah. Bu Nyai Dah ternyata sudah menunggunya sambil membaca Al-Quran. Begitu Zahrana sampai beliau menghentikan bacaannya. "Duduklah, Anakku." Ia duduk dengan kepala menunduk. "Begini, Anakku. Pak Kiai punya seorang santri yang sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad. Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah. Itulah informasi yang bisa aku berikan. Musyawarahkanlah dengan kedua orangtuamu dan kerjakanlah shalat Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan terbaik." "Baiklah, Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu Ummi, karena tadi kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana.
"Ya. Semoga barakah, Anakku!" Zahrana berjalan ke kelas dengan telinga yang mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai: "...Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah...!" Sambil berjalan ia menirukan ucapan Bu Nyai, "Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!" "Hmm penjual kerupuk keliling. Apakah memang takdirku jadi isteri seorang penjual kerupuk keliling?" gumamnya sendiri. Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya. "Tapi meskipun penjual kerupuk keliling. Ia adalah orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Bu Nyai b a h w a status, strata, k e d u d u k a n sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?" Sampai di kelas ia tidak konsentrasi mengajar. Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam ketiga ia ijin pulang ke rumah dengan alasan ada kepentingan yang sangat penting berkaitan dengan permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada yang berani membantah.
Sampai di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju. "Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia." Demikian kata ibunya. Ia mulai man tap. Namun merasa masih belum cukup. Ia lalu menelpon Lina. Dari jauh Lina menjawab, "Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah dan hidup mapan. Minta saja dia kuliah. Dengan begitu dia akan selesai S.l dan jarak pendidikan tidak terlalu jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi di Pesantren bertahun-tahun dia telah mendapatkan pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran. Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang terbaik." Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin m e m a n t a p k a n ia p u n Istikharah. Setelah Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu juga ia menelpon Bu Nyai dan menjelaskan kemantapannya. Bu Nyai menjawab, "Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!" "Saya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan Madukara B-15." "Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan di mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya, dan kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih juga mantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak ya tidak apaapa." "Baik Bu Nyai." Jawabnya. Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa bijaksananya Bu Nyai. Betapa Bu Nyai memang tidak mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Janganjangan ia yang nanti mau, tapi si penjual kerupuk itu justru yang tidak mau dengan alasan minder dan lain sebagainya. Ia mendesah nafas panjang. Biarlah waktu yang menjawabnya, desahnya.
Hari berikutnya Zahrana benar-benar tidak ke manamana sejak pagi. Hari itu ia ijin tidak mengajar demi mengejar takdir. Ia menunggu di ruang tamu. Terkadang juga di beranda. Sesekali ke jalan. Penjual kerupuk itu tidak juga datang. Jam sebelas siang seorang penjual kerupuk datang. "Puk Kerupuk! Puk Kerupuk!" Suara penjual kerupuk itu membahana. Hari Zahrana sedikit lega. Ia menunggu. Suara itu semakin mendekat. Semakin mendekat. Ia keluar ke beranda. Begitu penjual kerupuk sampai di depannya, ia berteriak, "Kerupuk Pak!" Penjual kerupuk itu menghentikan langkah. Tempat kerupuk yang dipikulnya ia turunkan .Zahrana terperanjat. Sudah tua. Ia memperkirakan umurnya mendekati lima puluh tahun. Kulitnya hitam legam tersengat matahari. la hampir menangis. "Iya Bu, beli berapa?" "Tiga ribu Pak." "Baik Bu." Penjual kerupuk itu mengambil kerupuk dan memasukkan ke dalam plastik lalu menyerahkan kepada Zahrana. Zahrana mengeluarkan uang dua puluh ribu. "Ada yang kecilBu?" "Aduh tak ada Pak." "Aduh gimana ya Bu. Saya tak ada kembalian. Udah ibu bawa dulu saja kerupuknya. Kapan-kapan kalau saya lewat ibu bayar." "E jangan Pak. Udah bapak bawa saja. Itu sedekah saya untuk Bapak." "Baik Bu kalau begitu. Matur nuwun ya Bu. Semoga keinginan ibu dikabulkan Allah." "Amin." Dalam hati Zahrana berdoa ingin suami yang saleh dan pantas bagi dirinya. Begitu penjual kerupuk itu pergi, Zahrana langsung menghubungi Lina sambil menangis. la menceritakan penjual kerupuk yang baru ditemuinya. "Apakah dalam pandangan Pak Kiai dan Bu Nyai saya memang pantasnya untuk penjual kerupuk yang tua itu?" Nada Zahrana terdengar sedih. "Tenanglah Rana. Kau sudah tanya sama Pak Tua itu siapa namanya?"
"Tidak terpikir Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya namanya tadi. Aku sudah shock duluan tahu penjual itu sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan." "Ya sudah. Kalau begitu kau sabar saja. Yang jelas, tidak mungkin Pak Kiai dan Bu Nyai tega menjerumuskanmu. Ini kan masih siang. Kau tunggu saja. Aku yakin yang dikirim Pak Kiai pasti baik. Pokoknya kamu jangan ke mana-mana ya. Tunggu sampai malam datang. Mau dapat suami saleh harus sabar ya." Lina berusaha menenangkan dan menguatkan. "Terima kasih Lin. Semoga yang kaukatakan benar." Zahrana kembali menunggu. Nyaris satu hari penuh Zahrana menunggu dengan perasaan sedih, jengkel, marah juga berharap. Belum pernah ia sepegal itu. la yang dulu pernah mendapatkan predikat mahasiswa teladan UGM kini menunggu datangnya seorang penjual kerupuk keliling. Begitu pentingnya penjual kerupuk itu. Tapi inilah takdir hidupnya. Ia merasa ia harus sabar. Sampai senja tiba, tukang kerupuk selain yang pertama belum datang. Ia menangis. Jika benar, yang dikirim Pak Kiai adalah Pak Tua tadi, maka ia merasa menjadi perempuan paling menderita di dunia. Sampai Pak Kiai dan Bu Nyai yang dia anggap orang yang sangat arif pun, berpendapat bahwa ia pantasnya dengan lelaki berkepala lima. Sudah sedemikian tidak berharganya dirinya. Ia masuk rumah. Lima belas menit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cemas dan galau. Tak ada penjual kerupuk yang datang kecuali Pak Tua tadi. Ia bingung. Ia lemas. Ia keluar lagi. Berharap ada penjual kerupuk lain yang datang. Penjual kerupuk seperti yang ia bayangkan. Ia duduk di kursi beranda. Airmatanya bercucuran, "Ya Ilahi jika aku punya dosa, ampunilah dosaku. Cukupkanlah ujian-Mu. Aku mohon mudahkanlah jalanku menyempurnakan separo agamaku sesuai syariat-Mu. Mudahkan diriku menyempurnakan ibadah kepada-Mu." Ia lalu bangkit masuk rumah lagi. Tak ada siapasiapa di rumah. Ayah dan ibunya sedang ke rumah sepupunya yang memiliki hajat sunatan di Pucang Gading. Baru saja masuk, ia mendengar suara nyaring, "Kerupuk-kerupuk! Kerupuk Paak! Kerupuk Buu!" Ia terperanjat dan bergegas keluar. Suaranya lebih tegas dan lantang. Ia lari. Penjual kerupuk itu telah melewati rumahnya. Ia melongok dari pagar. Penjual kerupuk itu hanya tampak punggungnya. Ia naik sepeda dan mengayuh sepedanya dengan cukup kencang. Zahrana jadi penasaran. Dengan cepat ia nyalakan sepeda motornya yang berdiri di beranda. Lalu melesat mengejar. Tak perlu waktu lama agar penjual kerupuk itu terkejar. Apa susahnya bagi sepeda motor untuk mengejar sepeda. Ketika sudah dekat ia berteriak, "Kerupuk, Mas!" Penjual kerupuk itu menepi menghentikan sepedanya. Ia melakukan hal yang sama. Penjual kerupuk itu membuka topi lebarnya dan mengipas-ngipaskannya ke tubuhnya. Semarang memang panas, meskipun hari telah senja. Zahrana terperanjat. Masih m u d a dan ganteng. Keringat yang mengalir, lengan yang kekar terbakar matahari menambah pesona tersendiri. Sesaat lamanya ia memandangi penjual kerupuk itu. "Iya Bu, beli berapa?" Ia tersadar. "E...lima ribu." Penjual kerupuk itu mengambil plastik hitam besar dan memenuhinya dengan kerupuk. "Ini Bu" Ia mengambil kerupuk dan mengulurkan uang lima puluh ribu. Penjual kerupuk itu menerima uang itu dan menghitung uang kembalinya. "Ini kembalinya Bu. Empat puluh lima ribu rupiah." Zahrana menerima dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang kantong plastik berisi kerupuk. Penjual bersiap melanjutkan perjalanan. "E, Sebentar, Mas." Zahrana menghentikan. "Ya Bu, ada apa? Apa uang kembalinya kurang?" "Tidak kok Mas. Mau tanya, sudah lama jualan kerupuk ya Mas? Kok kayaknya baru ke daerah ini." "Iya Bu. Sudah lama. Saya memang baru kali ini ke daerah ini. Biasanya saya beroperasi di daerah Mranggen, Plamongan Indah, Pucang Gading dan Penggaron saja," "O. Ini cari langganan baru ya?"
"Bisa ya, bisa tidak." "Kok begitu." "Biasanya dagangan saya sudah laku di timur, tidak perlu sampai ke kampung ini. Saya jualan ke sini hanya karena sendiko dawuh saja sama Pak Kiai. Pak Kiai saya itu aneh, tiba-tiba saya diminta jualan di daerah ini, di perumahan ini. Dan anehnya Pak Kiai bilang hari ini saja. Besok-besok terserah." Jantung Zahrana berdegup kencang. Azan Maghrib mengalun. "Boleh tahu, siapa nama Mas?" "Nama saya Rahmad Bu. Sudah ya Bu saya jalan dulu. Sudah Maghrib, saya harus cari masjid." Penjual kerupuk itu mengayuh sepedanya ke arah suara azan b e r k u m a n d a n g . Zahrana m e m a n d a n g punggungnya sampai hilang di kejauhan. "Diakah jodoh yang ditakdirkan Allah untukku?" tanyanya dalam hari. Ia lalu kembali ke rumahnya. Sampai di rumah ayah ibunya sudah ad a di rumah. "Dari mana Rana? Ini rumah ditinggal pergi tapi pintu terbuka tak dikunci? Jangan sembrono kamu!" tegur ibunya serius. "Dari mengejar penjual kerupuk Bu. Wong cuma sebentar kok." Jawab Zahrana tenang. "Penjual kerupuk yang dikirim Bu Nyai itu?" tanya ibunya dengan mata berbinar. "Iya Bu."
"Bagaimana orangnya? Ganteng? Kau cocok?" "Ah ibu itu lho semangat banget. Yang jelas orangnya baik. Yang lain nanti kita musyawarahkan!" "Iya. Iya. Baik." Zahrana lalu masuk kamarnya untuk siap-siap shalat Maghrib. Sebelum ia mengambil air w u d h u hpnya berdering. Sebuah SMS masuk. Ia buka,
"Ass wr wb. Bu ini Hasan. Alhmdulillah tadi sy sdh w i s u d a . Dan a l h m d u l i l l a h sy d i n o b a t k a n sbg m h s w terbaik. Ini jg berkat doa dan bimbingan Ibu. Trm ksh sdh mmnjami referensi dll. Mhn doanya. Wassalam."
Ia t e r s e n y u m . Ia b a h a g i a membaca SMS itu. Bagaimana tidak bahagia jika ada seorang murid yang berhasil tidak lupa pada gurunya. Ia teringat saat dulu diwisuda di UGM dan menjadi lulusan terbaik di Fakultasnya. Saat itu ia sangat bahagia. Dan itu pula yang saat ini sedang dirasakan mahasiswanya, Hasan. Ia teringat Nina. Bagaimana dengan Nina? Nina tak kalah hebatnya dengan Hasan . Tiba-tiba ia tersenyum simpul. Hasan dan Nina itu cocok. Kalau mereka menikah itu pas. Hasan ganteng, Nina cantik. Sama-sama aktivis. Sama-sama cerdas dan bisa diandalkan.
Setelah Zahrana melakukan kroscek pada Bu Nyai, memang penjual kerupuk yang masih muda itulah yang dimaksud Pak Kiai. Umurnya 29 tahun. Jadi lebih muda empat tahun dari Zahrana. Setelah memikir dan menimbang tiga hari lamanya Zahrana merasa cocok. Ayah dan ibu Zahrana pun cocok.
Barulah setelah itu Pak Kiai dan Bu Nyai mempertemukan dua keluarga. Mulanya si Rahmad merasa minder. Tapi Pak Kiai berhasil meyakinkan Rahmad untuk tidak minder. Pada Rahmad Pak Kiai berkata, "Zahrana ini, meskipun berpendidikan tinggi tapi ia rendah hati. Yang jadi pertimbangan Zahrana dalam mencari suami bukan materi, status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Yang jadi pertimbangan Zahrana adalah agama, iman dan akhlak. Insya Allah, ia gadis salehah yang mampu menghormati suaminya. Jadi kamu jangan minder!" Akhirnya Rahmad juga menyatakan cocok. Jadilah dua keluarga itu cocok. Saat musyawarah dua keluarga itu, Zahrana mengutarakan keinginannya untuk mempercepat pernikahannya. Usul Zahrana diterima dengan penuh semangat oleh dua keluarga. "Semakin cepat semakin baik. Insya Allah semakin cepat juga semakin barakah!" Demikian Pak Kiai berkomentar. Dan ditetapkanlah hari H pernikahan Rahmad dengan Zahrana dua minggu setelah pertemuan itu. Dua keluarga itu langsung didera kesibukan menyiapkan pesta pernikahan itu. Karena Zahrana anak tunggal, Pak Munajat ingin semua teman lama dan saudara diundang. Dengan kerja keras, dalam waktu relatif singkat undangan pernikahan tersebar. Zahrana mengundang semua temannya. Yang tidak bisa dikirimi undangan diberitahu lewat email dan SMS . Ia juga mengundang mahasiswanya yang ia kenal. Mereka ia undang lewat SMS. Para mahasiswanya mengirim balasan dengan nada sangat gembira dan memastikan mereka datang. Namun dua orang mahasiswa yang ia harapkan datang, yaitu Nina dan Hasan malah tidak bisa datang. Nina mengirim balasan:
"Trm ksh Bu atas undangannya Smg prnikhnnya barakah. Maaf sy tdak bisa datang sbb pada hari yang sama saya jg akan melangsungkn akad nikah di Jkt. Saling mendoakan ya Bu. Nina."
Ia bahagia, Nina langsung menikah begitu selesai S.l. Tapi sedikit kecewa karena Nina tidak menikah dengan Hasan. Seperti yang ia idealkan. Ia langsung sadar, ideal di mata manusia itu berbeda dengan ideal di mata Allah Swt. Sementara Hasan mengirim balasan,
" Smg pernikahan Ibu penuh barakah .Maaf sy tdk bs datang Bu. Sbb hari itu saya hams mengurus beasiswa S.2 USM (Universiti Sains Malaysia). Motion doanya."
Kabar yang membuatnya bahagia. Mahasiswa penuh dedikasi seperti Hasan memang pantas mendapatkan beasiswa. Dalam hati ia berdoa semoga semua mahasiswanya berhasil dan sukses. Tak ketinggalan ia juga mengundang teman-temannya sesama dosen waktu mengajar di kampus Fakultas Teknik. Semua ia undang termasuk Bu Merlin. Hanya Pak Karman yang tidak. Ia tak ingin hari bahagianya rusak dengan melihat bandot tua yang tidak ia suka itu. Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga kabar itu. Dan ia juga tahu bahwa hanya ia seorang di kampus yang tidak diundang. Hal itu membuatnya marah dan geram.
"Jangan sebut aku ini Karman jika tidak bisa memberi pelajaran pahit pada perempuan tengik itu!" Geramnya sambil memukul meja di ruang kerjanya.
Empat
Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah memilih gaun pengantinnya. Gaun pengantin Muslimah hijau muda yang sangat anggun. la memang suka warna hijau muda. Gaun pengantin itu ia beli dari butik Muslimah terkemuka di Solo. Sore itu, ia mencoba gaun itu di kamarnya. Sambil memandang wajahnya ke cermin ia berkata, "Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya suami. Aku akan hidup membina rumah tangga layaknya yang lain."
Hatinya berbunga-bunga. la bahagia. Jika boleh meminta ia masih ingin meminta akad nikah dan walimatul ursy-nya. dipercepat lagi saja. Ia ingin segera mengatakan pada dunia bahwa ia juga berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga. Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anakanak yang menjadi penyejuk jiwa. Tiba-tiba hp-nya. berdering. Satu SMS masuk,
"Apa kabar perawan tua? Jika kau telah beli gaun pengantin. Sebaiknya kaukembalikan saja. Kau tak akan memakainya di hari pernikahan yang telah kautentukan. Kau masih akan lama menyandang statusmu sebagai perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap saat dilamar banyak orang dan bisa dengan semenamena menolaknya. Kenapa kau tidak menikmatinya saja? Kenapa tergesa - gesa ? Demi kebaikanmu sendiri , sebaiknya kaukembalikan saja gaun pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya."
pesta pernikahan dinyalakan. Sore itu syair lagu dari group kasidah Nasyida Ria berkumandang, Duhai senangnya pengantin baru. Duduk bersanding bersenda gurau. Zahrana tersenyum. Besok ia akan mengalaminya. Duduk bersanding dengan suaminya. Zahrana ingin membantu kaum ibu di dapur menyiapkan segala sesuatu. Tapi mereka meminta Zahrana istirahat saja. Maka setelah shalat Isya ia langsung tidur, agar besok ia benar-benar fresh dan segar. Lagu-lagu bahagia masih mengalun. Di luar kamarnya kesibukan terus berjalan sebagaimana mestinya. Anak-anak kecil tertawa-tertawa bahagia. Mereka berlarian sambil memegang kue di tangannya. Zahrana tidur dalam kebahagiaan tiada terkira. Lagu yang terakhir ia dengar adalah alunan suara Nasyida Ria, Duhai senangnya pengantin baru. Duduk bersanding bersenda gurau. Ia benar-benar tidur pulas dan nyenyak. Jam setengah tiga malam ia dibangunkan. Tidur bahagianya hilang. Ia kaget ada keributan. Ibunya menangis menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Bapaknya terpekur di kursi seperti patung. Linalah yang membangunkannya. "Ada apa ini Lin?" tanyanya heran. Ada kecemasan luar biasa yang tiba-tiba masuk dalam hatinya.
Ia kaget. SMS berisi kata-kata teror itu muncul lagi. Entah kenapa, kali ini ia tidak setenang dulu menghadapai SMS teror itu. Kali ini ia sangat marah. Rasanya ia ingin membunuh orang yang mengirim SMS kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas,
" Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis tua ! Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di mata manusia!"
Persiapan perhelatan akad nikah dan walimatul ursy di rumah Zahrana nyaris sempurna. Besok acara pernikahan itu akan berlangsung. Rumah itu kini ramai dengan orang. Anak-anak kecil berlarian main kejarkejaran. Pengeras suara telah dipasang. Lagu-lagu khas
Lina yang ia tanya malah menangis. "Rahmad Rana? Rahmad calon suamimu Rana!" "Ada apa dengan Rahmad?" Lina tidak menjawab malah semakin keras terisakisak. Paman Rahmad yang ternyata ada di situ menjawab, "Rahmad telah tiada, Anakku! Rahmad meninggal dunia!" "Apa!!?" Ia kaget bagai tersengat listrik beribu-ribu volt. "Rahmad mati tertabrak kereta api!" lanjut Paman Rahmad. "Oh tidak! Tidak! Tidaaak!" Zahrana menjerit histeris. Jeritannya menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Setelah itu ia pingsan seketika. Semua yang ada di r u m a h itu terpukul. Para tetangga Zahrana yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi ikut sedih dan meneteskan airmata. Para tetangga itu lalu bertanya satu-sama-lain, "Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana Rahmad bisa tertabrak kereta api? Di malam menjelang akad nikah, bukankah sebaiknya ia di rumah saja istirahat? Kenapa bisa sampai tertabrak kereta api? Apa yang ia lakukan sebenarnya?" Paman Rahmad menjelaskan, "Habis shalat Maghrib tadi ada yang menelpon hpnya. Katanya teman lama ingin bertemu di Pasar Mranggen. Rahmad minta temannya itu datang ke rumah saja. Tapi temannya itu mengatakan tidak bisa. Temannya itu memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena berkaitan dengan bisnis yang sangat pen ting. Dan Rahmad akan diajak sedikit mengetahui prospeknya. Akhirnya Rahmad pergi. Sekalian beli peci baru. Sebenarnya keluarga melarang, tapi Rahmad memaksa pergi. Ia memaksa pergi sendirian. Saudara sepupunya mau ikut bersamanya tapi dilarangnya dengan alasan tenaga saudara sepupunya itu sangat dibutuhkan di rumah. Sampai jam sepuluh malam Rahmad belum juga pulang. Sebagian orang cemas, sebagian yang lain marah, Rahmad tidak segera pulang malah begadang dengan temannya yang tak dijelaskan siapa. Tepat tengah malam tadi dua orang polisi datang. Mereka memberitahu ada mayat tertabrak kereta api, dan dari KTP di dompetnya diketahui bernama Rahmad. Sebagian orang memastikan ke tempat kecelakaan. Dan benar mayat yang berlumuran darah itu memang Rahmad." Mendengar cerita itu semua diam. Semua membisu. Semua larut dalam kesedihan yang dalam. Zahrana masih pingsan.
Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar tapi upacara belasungkawa kematian. Tak ada lagu bahagia. Tak ada senyum dan canda. Tak ada gelak tawa. Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis dalam jiwa.
Zahrana belum bisa menerima apa yang terjadi. la masih pingsan berkali-kali. Lina berinisiatif membawa Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari suasana yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus dijauhkan dari rumahnya, di mana ia siap melangsungkan akad nikah, namun tiba-tiba menciptakan trauma baginya. Lina membawa Zahrana yang masih pingsan ke RS. Roemani. Lina memilihkan kamar VIP agar Zahrana bisa beristirahat dengan nyaman. Menjelang Zuhur Zahrana siuman. Lina ada di sampingnya menenangkan. Setelah minum air putih tiga teguk Zahrana menangis. "Lebih baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak kuat!" katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak. "Sebut nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar musibah ini diberi ganti yang lebih baik." Lina mencoba menguatkan. "Tapi aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!" "Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja. Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya." "Tak tahu aku harus bagaimana Lin." "Sudahlah kau istirahat dulu. Tubuhmu sangat lemah. Banyaklah berzikir. Dengan banyak berzikir hati akan tenang!" Dengan setia Lina menemani Zahrana. Segala usaha ia kerahkan untuk menghibur teman karibnya itu.
"Anakmu bagaimana Lin, kalau kau di sini?" tanya Zahrana. "Tenang sudah ada yang mengurus. Anakku sedang bersama kakek dan neneknya di Ungaran." Tiba-tiba airmata Zahrana kembali keluar. "Bahagianya punya anak. Kau beruntung Lin. Punya suami baik. Anak lucu-lucu. Keluarga besar yang penuh kasih sayang. Sementara aku. Jangankan anak. Suami saja tidak punya. Baru mau punya sudah pergi...." Kata Zahrana sambil menangis memandang langit-langit kamar rumah sakit. "Sudahlah Rana. Sudahlah. Hanya belum tiba saatnya saja. Nanti kalau tiba saatnya kau insya Allah akan memiliki yang lebih baik dari yang aku miliki." "Entahlah Lin, harapanku sudah pupus. Aku merasa tidak bergairah hidup lagi." "Tidak Rana. Kau tidak boleh pupus harapan. Ingatlah Allah Mahaluas kasih sayang-Nya. Percayalah ini cuma ujian kecil. Masih banyak hamba Allah di muka bumi ini yang diuji dengan ujian yang jauh lebih besar dari yang kaualami. Ayolah Rana, kau harus tabah! Kau harus tegar! Kau harus kuat! Kau harus terus maju! Kau tak boleh menyerah. Putus asa berarti kau menyerahkan dirimu dalam perangkap setan!" "Yah doakan aku ya Lin. Semoga aku kuat. Tapi bagiku ini sangat berat!" "Aku tahu ini berat, tapi aku yakin kau mampu menghadapinya Rana. Aku yakin."
"Aku beruntung punya teman sepertimu Lina. Terima kasih ya Lin...Kau baik sekali!" Lirih Zahrana dengan mata berlinang-linang. "Aku juga sangat beruntung punya teman sepertimu Rana. Aku banyak belajar kesabaran dan ketegaran justru darimu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia." Pintu diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk. Dengan ramah dokter setengah baya itu memeriksa kondisi Zahrana. Semua keluhan Zahrana ia dengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali dokter itu menghiburnya dengan perkataan yang lembut dan menyejukkan. Senyumnya mengalirkan kesembuhan. "Jadi, ibu ini Ibu Zahrana yang pengajar di Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa itu?" Zahrana mengangguk. "Berarti ibu kenal dengan anak saya ya?" "Siapa nama anak Bu Dokter?" "Namanya Hasan. Hasan Baktinusa." "O kenal. Bahkan sangat kenal. Selamat ya Bu atas diwisudanya Hasan sebagai wisudawan terbaik. Salam buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar." "Ya nanti saya sampaikan. Hasan sering sekali cerita tentang Bu Zahrana. Terima kasih telah banyak membantu anak saya." "Sama-sama, Bu." Pertemuan dengan dokter berjilbab yang ternyata ibundanya Hasan itu membuatnya seolah bisa bernafas. Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya dengan sedikit cerita masa mudanya yang sebenarnya mirip dengan Zahrana. Bu dokter bernama Zulaikha, biasa dipanggil Bu Dokter Zul itu ternyata juga menikah dalam usia yang sangat terlambat. "Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali. Jodoh itu terkadang dikejarkejar tidak tertangkap. Tapi terkadang tanpa dikejar datang sendiri. Yang paling penting adalah dekat dengan Allah dalam keadaan susah dan bahagia. Senang dan sedih." Zahrana seperti mendapatkan suntikan darah segar. Daya hidupnya tumbuh kembali. Dalam hati dia berkata, "Ya benar. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apapun tak akan kembali." Sebelum pergi Bu Dokter itu berkata, "Ada nasihat sangat bagus sekali dari Anton Chekov." "Apa itu Bu?" tanya Zahrana pelan. "Anton Chekov pernah menulis, 'Suatu saat kamu perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan dan kegagalan. Jangan biarkan hal itu mengganggu dirimu!' ." "Nasihat yang baik sekali Bu." "Ya. Tidak ada salahnya untuk memperkaya jiwa kaubaca juga karya-karya sastra." "Terima kasih Bu atas semuanya."
Derita Zahrana ternyata tidak cukup sampai di situ. Tanpa sepengetahuannya, di rumahnya terjadi musibah kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang memang telah renta tidak kuat menahan tekanan batin. Ia terkena serangan jantung. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit.
Namun tak tertolong. Nyawanya melayang di perjalanan. Hari itu ia meninggal menyusul calon menantunya. Berita kematian Pak Munajat tidak disampaikan kepada Zahrana. Zahrana baru tahu setelah ia pulang dari rumah sakit dengan jiwa yang telah kukuh. Mengetahui ayahnya telah tiada ia menangis, namun tidak sampai pingsan. Lengkap sudah penderitaan Zahrana. Berita pernikahan yang tidak jadi karena pengantin lelakinya tertabrak kereta api itu dimuat koran terkemuka Jawa Tengah, Suara Mahardika. Kematian Rahmad yang mengenaskan masih diselidiki polisi. Polisi menyelidiki saksi-saksi. Polisi mencurigai orang yang menelpon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan dan masih dalam pencarian. Beberapa hari setelah itu teman-temannya berdatangan mengucapkan bela sungkawa. Juga temanteman dosen Fakultas Teknik. Hampir semuanya datang. Termasuk Bu Merlin dan Pak Karman. Zahrana sangat kaget ketika Pak Karman datang. Di hadapan Zahrana Pak Karman berkata pelan sekali, "Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua diterima di sisi-Nya. Saya berharap semoga gaun pengantinmu benar-benar telah kaukembalikan ke Solo!" Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran listrik yang menyengatnya. Kata-kata itu menguatkan keyakinannya bahwa yang menterornya selama ini adalah Pak Karman. Dan bagaimana bisa Pak Karman tahu ia membeli gaun pengantin itu dari Solo.
Tiba-tiba firasatnya m e n g a t a k a n kematian calon suaminya ada hubunganya dengan SMS terakhir Pak Karman. Dan pada hakikatnya, kata-kata Pak Karman yang baru saja ia dengar adalah satu bentuk teror dahsyat yang hendak melumpuhkannya saat itu. Tiba-tiba kekuatannya bangkit. Ia merasa tidak boleh terpancing. Ia harus bisa mengendalikan diri. Ia harus menang. Ia harus tenang. "Terima kasih berkenan datang Pak." Jawabnya dengan pura-pura tidak memperhatikan perkataan Pak Karman.
Lima
Entah kenapa firasat Zahrana terus mengatakan bahwa Pak Karman ada di balik kematian calon suaminya. la ingin lapor polisi, jangan-jangan orang misterius yang menelpon calon suaminya sebelum kecelakaan itu adalah Pak Karman, atau suruhannya. Tapi ia tidak punya bukti. la bingung harus berbuat apa. la diskusikan kebingungannya itu pada Lina. Hanya Lina yang kini bisa diajaknya bicara. "Aku yakin sekali Lin. Iblis tua itu ada di balik kematian Mas Rahmad. Aku yakin!" kata Zahrana berapi-api. Lantas ia menunjukkan data-data yang menguatkan dugaannya itu. Lina menanggapinya dengan kepala dingin, "Sudahlah Rana. Jangan menambah rumit masalah. Jangan merepotkan diri sendiri. Jangan menuduh tanpa bukti! Salah-salah kau sendiri yang tertuduh nanti!" "Data-data tadi. SMS saat aku mencoba gaun pengantin. Perkataannya saat mengucapkan bela sungkawa. Dan dendamnya kepadaku sehingga ingin memecatku, tidak bisa dianggap sebagai bukti?" seru Zahrana. "Aku bukan pakar hukum Rana. Tapi sebaiknya kau fokus pada yang lain saja. Diikhlaskan saja. Orang yang ikhlas itu pasti menang. Karena orang yang ikhlas itu selalu disertai Allah." Sahut Lina pelan. Ia lalu mengambil koran dari tasnya. "Apalagi polisi sudah mengumumkan bahwa kematian Rahmad murni karena kecelakaan. Coba kaubaca ini baca!" lanjut Lina sambil menyodorkan koran Suara Mahardika. Zahrana mengambil koran dari tangan Lina. Dan membaca berita yang dimaksud Lina. Ia menghela nafas panjang. Ada rasa kecewa dalam tarikan nafasnya. Lina menangkapnya. Lina berusaha menghibur, "Sudahlah Rana, sabarkan dirimu. Kuatkan imanmu. Ini ujian bagimu dari Allah, apakah kau jadi hambaNya yang pilihan apa tidak. Kata Rasulullah, semua perkara bagi orang Mukmin itu baik. Jika dapat nikmat bersyukur, dan jika dapat musibah bersabar. Semoga musibah ini jadi pahala." Lanjut Lina.
"Sebaiknya kautenangkan diri. Nanti ikhtiar lagi." Zahrana mengangguk. Dalam hati Zahrana bertekad untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Ia teringat perkataan Bu Nyai saat memberikan ucapan bela sungkawa, "Kita semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita semua tunduk pada takdir-Nya. Yang Paling berkuasa di atas segalanya adalah Allah Swt." Sejak itu, Zahrana nyaris tidak pernah meninggalkan shalat malam. Ia labuhkan segala keluhkesah dan deritanya kepada Yang Maha Menciptakan. Ia pasrahkan dirinya secara total kepada Allah. Dalam keheningan malam ia berdoa, "Ya Rabbi, ikhtiar sudah hamba lakukan, sekarang kepada-Mu hamba kembalikan semua urusan. Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari semua jenis kejahatan yang terjadi di atas muka bumi ini. Ya Rabbi, aku memohon kepada-Mu segala kebaikan yang Engkau ketahui. Dan aku berlindung kepada - M u dari segala hal b u r u k yang Engkau ketahui."
Bulan Ramadhan datang. Zahrana semakin menikmati ibadahnya. Selesai Tahajjud, Zahrana menyiapkan sahur. Ibunya masih tidur. Begitu semua siap, Zahrana membangunkan ibunya dengan penuh kelembutan. Sang ibu lalu cuci muka, kemudian makan sahur. Rumah itu terasa begitu sunyi. Hanya Zahrana dan ibunya yang duduk di meja makan itu.
"Ramadhan tahun lalu, kita masih makan sahur bersama ayahmu ya Nak." "Iya Bu. Sudahlah Bu jangan diingat itu lagi." "Apakah aku masih berkesampatan melihat kau duduk di pelaminan ya Nak." "Sudahlah Bu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Jika Allah menghendaki apapun bisa terjadi." Selesai sahur Zahrana membaca Al-Quran sementara ibunya shalat. Begitu azan Subuh berkumandang mereka berdua pergi ke masjid. Selain untuk shalat Subuh berjamaah mereka juga ingin mendengarkan Kuliah Subuh yang diadakan selama Bulan Suci Ramadhan. Habis dari masjid Zahrana mengajak ibunya berjalan-jalan menghirup udara pagi keliling komplek perumahan. Mereka berdua masuk r u m a h ketika matahari sudah terang bersinar di ufuk. Zahrana langsung mandi dan bersiap-siap mengajar. Jam tujuh kurang sepuluh menit ia sudah sampai di kantor STM Al Fatah. Waktu sepuluh menit sebelum bel berbunyi ia gunakan untuk membaca koran. Ia penasaran pada sebuah judul berita: KARENABERBUAT CABUL, SEORANG DEKAN MATI DIBUNUH DI RUANG KERJANYA.
" Semarang - Sepandai-pandai orang menyimpan bangkai, akhirnya kecium juga. Peribahasa ini agaknya layak untuk S ( 55 tahu n ) , Dekan Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa Semarang. Perilaku cabulnya kepada mahasiswi yang selama ini disembunyikannya akhirnya terkuak. Ia tewas mengenaskan di ruang kerjanya ditikam oleh H (26 tahun) mahasiswa Fakultas Teknik yang marah karena isterinya bernama M (24 tahun) diperlakukan tidak senonoh oleh dekan jebolan universitas t e r k e m u k a dari Amerika Serikat i t u . Dua mahasiswa suami isteri itu, H dan M kini ditahan pihak berwajib untuk penyelidikan lebih lanjut...."
Zahrana berkata pelan dalam hati, "Becik ketitik olo kethoro!"2 Ia lalu bertakbir dalam hati. Ia merasa doanya dikabulkan oleh Allah. Yang jahat itu akhirnya mendapatkan balasannya sendiri. Setelah itu ia masuk kelas dengan penuh semangat. Anak-anak didiknya ia ajak ke perpustakaan. Ia menugaskan kepada mereka untuk membaca buku yang berkenaan dengan puasa. Puasa dan hubungannya dengan kesabaran. Seorang siswa yang kritis protes, "Kok tugasnya membaca buku tentang puasa Bu. Memang pelajaran kita ini pelajaran agama. Pelajaran kita kan tentang menggambar teknik listrik Bu?" Dengan tersenyum Zahrana menjawab, "Justru itulah karena dalam menggambar teknik listrik memerlukan kesabaran yang tinggi. Maka ibu ingin kalian memiliki ruh kesabaran itu. Mumpung kita masuk bulan puasa. Ayo kita kaji hubungan puasa dengan kesabaran. Dan hubungan puasa dengan penghematan. Dan juga hubungan puasa dengan prestasi umat Islam. Kita ke perpustakaan selama dua jam pelajaran. Kalian membaca yang serius. Hasil bacaan kalian, kalian presentasikan satu per satu minggu depan." Anak-anak siswa kelas satu itu sangat gembira. Sebab diajak oleh guru masuk ke perpustakaan yang Peribahasa Jawa, artinya: perbuatan baik akan diketahui, perbuatan buruk juga akan tampak. jarang mereka dapatkan.
Bagi mereka, cara Bu Zahrana mengajar itu berbeda dengan guru-guru yang lain. Selalu ada hal yang baru. Mata pelajaran menggambar teknik listrik di tangan Bu Zahrana jadi pelajaran yang sangat mengasyikkan. Bisa masuk ke banyak hal tanpa kehilangan fokus utama pelajaran.
Ibunda Zahrana yang sedari tadi diam menyela, "Nak, Bu Zul ini datang karena ada keperluan penting denganmu. Katanya ada hal serius yang ingin beliau konsultasikan denganmu. Sini biar ibu yang bikin kolak, kau bisa bincang-bincang dengan beliau." Bu Zul langsung menimpal, "Maaf jika kedatangan saya mengganggu." "O nggak apa-apa Bu," sahut Ibunda Zahrana cepat, "saya tinggal ke belakang dulu ya Bu. Silakan bicara dengan Zahrana," lanjutnya lalu pergi ke arah dapur. Zahrana diam, Bu Zul pun diam. Suasana hening sesaat. "Eh..konsultasi apa ya Bu?" Zahrana memecah keheningan. "Eh ini. Tentang Hasan, anak saya." "Ada apa dengan Hasan, Bu?" "Sebelumnya maaf ya Bu, saya tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa lho. Karena saya tahu, ibu termasuk yang didengar omongannya oleh Hasan, maka saya konsultasi sama Bu Zahrana. Begini, dua hari yang lalu Hasan minta nikah Bu. Menurut ibu bagaimana? Padahal dia kan mau kuliah di Malaysia Bu." Zahrana mengerutkan dahi, "Kalau menurut saya pribadi tidak ada salahnya Hasan menikah baru ke Malaysia. Kalau bisa isterinya dibawa, kalau tidak bisa ya tidak apa-apa isterinya ditinggal di Indonesia. Toh Malaysia-Indonesia itu dekat. Sekarang tiket pesawat juga murah."
Sore itu setelah shalat Ashar Zahrana pergi ke warung untuk membeli kelapa, gula merah, dan tepung terigu. la ingin membuat kolak u n t u k buka puasa. Juga membuat mendoan dan bakwan. Ibunya ternyata sudah menyiapkan es degan. Sudah dimasukkan di lemari es sejak siang. Pulang dari warung ia agak terkejut, sebab ada mobil sedan tepat di depan rumahnya. Ia menduga-duga siapa yang datang. Setelah masuk ia tahu kalau yang datang ternyata Bu Dokter Zulaikha, ibundanya Hasan. "Dari mana Bu Zahrana?" tanya Bu Zul. "Dari warung Bu Zul, ini beli bahan-bahan untuk bikin kolak. Sendirian ya Bu?" Iya. "Hasan apa kabarnya? Urusan beasiswanya ke Malaysia beres semua?" "Alhamdulillah Hasan baik-baik saja. Dia titip salam. Dia tadi masih sibuk nulis-nulis entah nulis apa." "Senang ibu berkenan dolan ke sini. Ini mampir atau memang menyengaja ke sini?" tanya Zahrana santai. "Menyengaja ke sini em..."
76


"Apa menurut Ibu, Hasan sudah layak menikah? Sudah layak punya isteri? Dan bisa bertanggung jawab menghidupi anak jika punya anak?" "Pendapat saya ini sangat subjektif dari saya Bu. Menurut saya Hasan sudah sangat layak menikah. Selama saya tahu dia di kampus, dia bisa diandalkan tanggung jawab dan kepemimpinannya. Kenapa Ibu masih ragu dengan anak sendiri?" "Saya tidak ragu Bu. Tapi saya mencari kemantapan. Biar mantap jika saya melepas Hasan ke dunia baru yang penuh perjuangan dan aral melintang." "Mantap saja Bu. Menikah dini bagi orang seperti Hasan itu baik. Saya saja menyesal tidak menikah dini dulu." "Itulah kenapa saya kemari. Selain tentang diri Hasan, saya ingin berdiskusi pada ibu tentang calon yang diajukan Hasan." "Semoga saja saya kenal dengan calon Hasan itu. Dia kuliah sama dengan Hasan di Fakultas Teknik?" "Tidak Bu. Saya l a n g s u n g saja ya Bu. Maaf sebelumnya, Hasan meminta kepada saya untuk melamar Bu Zahrana. Calon yang diajukan Hasan, anak saya itu Ibu." Zahrana kaget bagai disambar Halilintar. "S...saya Bu?!" "Iya. Ibu. Anak saya ingin menikahi ibu!" "Maaf, Bu. Mungkin Hasan cuma bercanda. Saya tidak pernah berlaku yang tidak-tidak sama Hasan Bu, sungguh." Jawab Zahrana dengan nada takut dan kuatir.
78

la kuatir jika Bu Zul itu datang u n t u k m e m b u a t perhitungan dengannya. Takut kalau ia dianggap berhubungan dengan Hasan. "Nggak Bu, Hasan tidak bercanda. Anakku sangat serius dalam hal ini." "Kalau begitu Hasan salah pilih, Bu." Bu Zul malah tersenyum, "Bu Zahrana kok kelihatannya takut ada apa tho, Bu?" "Ibu harus percaya pada saya Bu. Saya tidak punya hubungan apapun dengan Hasan kecuali dosen dengan muridnya Bu. Sungguh Bu!?" Bu Dokter Zul itu geleng-geleng kepala d a n tersenyum. Dia langsung paham maksud Zahrana. "Bu Zahrana, saya tidak pernah menuduh begitu. Saya percaya pada ibu. Juga percaya pada anak saya. Saya datang kemari untuk menunaikan janji saya pada anak saya itu. Saya berjanji akan m e m b a n t u n y a menyunting gadis manapun yang ingin dinikahinya selama akhlak dan agamanya bagus. Dan ketika Hasan ingin menyunting Bu Zahrana, saya langsung setuju. Sebab saya sudah tahu semuanya tentang ibu dari teman ibu, yaitu Bu Lina. Saya berharap. Dan sangat berharap Bu Zahrana tidak menolak pinangan ini. Ini pinangan serius tapi belum resmi. Jika Bu Zahrana serius nanti saya akan meminang secara resmi dengan membawa Hasan dan ayahnya juga beberapa anggota keluarga." Zahrana tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang disampaikan Bu Zul itu sangat jelas ia dengar dan sangat jelas maksudnya. Tak ada yang tersembunyi lagi.
79


"Ibu sudah tahu say a tapi Hasan belum tahu saya Bu." "Dia lebih tahu dari saya tentang diri Bu Zahrana. Apa yang masih membuat Bu Zahrana ragu." "Saya masih belum bisa percaya Bu. Ini hal gila. Mahasiswa melamar dosennya. Apa kata dunia?" "Harus bagaimana saya agar ibu percaya. Sumpah demi Allah? Baiklah saya bersumpah demi Allah semua yang saya sampaikan benar. Apa lagi? Hal gila? Tidak Bu, tidak gila. Melangkah untuk mengikuti sunah Rasul itu bukan ide gila. Itu ide baik. Dan mahasiswa meminang dosen, apakah ada dalil yang mengharamkannya?" "Saya tidak tahu harus bicara apa lagi." "Berarti menerima. Tidak bicara berarti diam. Diam tanda menerima." "Saya ini lebih tua dari Hasan Bu. Dia cocoknya jadi adik saya." "Syariat tidak menentukan batasan umur. Ibu memang lebih tua. Tapi tidak terpaut jauh. Cuma empat tahun. Hasan umurnya 29. Mukanya memang baby face. Bagi saya sendiri tidak masalah. Toh suami saya juga lebih muda dua tahun dari saya." "Saya belum bisa menerima Bu?" "Kenapa? Kata ibu tadi Hasan sudah pantas menikah dan memiliki isteri. Apa lagi? Apa ada dalam diri Hasan suatu cacat yang menurut ibu layak ditolak lamarannya?" Zahrana diam. la tidak tahu harus bagaimana. la masih belum tahu apa yang terjadi. Hasan melamarnya? Bagaimana mungkin? Tapi ibunya sedemikian serius. Apa yang harus ia putuskan. Zahrana tetap diam.
80

"Diam berarti menerima. Saya pamit Bu, mana ibunda tadi?" Zahrana tersentak mendengar Bu Zul mau pamit. Ia berdiri mengikuti Bu Zul yang sudah berdiri. "Ibu benar-benar serius?" "Iya." "Hasan juga benar-benar serius?" "Iya." "Kalian sudah tahu kekuranganku dan mau menerimaku?" "Iya. Tak ada manusia yang sempurna." "Kalau begitu saya terima, tapi dengan syarat." "Apa syaratnya?" "Akad nikahnya nanti malam bakda shalat Tarawih di masjid. Biar disaksikan oleh seluruh jamaah masjid. Maharnya seadanya saja." Kini gantian Bu Zul yang tersentak kaget. Ia tidak menduga Bu Zahrana akan mensyaratkan begitu. "Apa nggak sebaiknya akadnya setelah Idul Fitri saja." "Tidak. Ibu sudah tahu kan cerita saya selama ini. Apa ibu ingin saya mati kaku gara-gara saya tidak jadi nikah lagi. Saya tidak ragu dengan keseriusan ini. Saya hanya kuatir ada hal-hal di luar kekuasaan kita yang membatalkan rencana itu. Bagi saya lebih baik ya nanti malam, atau tidak sama sekali." Bu Zulaikha memandang wajah Zahrana lekat-lekat. Wajah yang teduh, namun sangat berkarakter.
81


"Baiklah. Dalam hal ini saya tidak memutuskan sendiri. Saya akan bicara sama anak dan keluarga. Saya pamit dulu. Setelah Maghrib nanti saya telpon." Dokter berjilbab itu pulang setelah bersalaman dengan Zahrana dan ibunya. Zahrana memandang sedan dokter itu hingga hilang di tikungan. Ada kebahagiaan menyusup dalam hatinya. Tapi juga ada kecemasan. la memang lagi bahagia. Namun untuk membentengi diri agar tidak kecewa lagi setelah kebahagiaan di depan mata, ia menganggap dialognya dengan Bu Zul tadi hanya main-main. Dialog latihan orang bermain drama atau sandiwara.
* * *

maharnya dan penghulunya. Kami sekeluarga insya Allah berangkat sekarang, dan kami shalat Isya di masjid dekat rumah Ibu." "Kau serius Hasan?" "Iya Bu." "Kau bisa mencintaiku?" "Iya Bu." "Kalau begitu jangan lagi kaupanggil aku Ibu. Panggil aku, Dik. Dik Zahrana. Coba kau bisa nggak?" Zahrana merasa tak perlu malu. "Saya coba...Dik Zahrana, tunggu aku di masjid." Mata Zahrana berkaca-kaca mendengarnya. Ribuan hamdalah menyesak dalam dada. "Te..terima kasih. Kita bertemu di masjid, insya Allah." Sambungan ditutup. Zahrana menangis tersedu-sedu. Melihat hal itu sang ibu bingung dan bertanya-tanya pada Zahrana. Dengan terisak-isak Zahrana menjelaskan apa yang terjadi. Sang ibu turut menangis. Zahrana lalu sujud syukur. Dalam sujudnya Zahrana memohon kepada Allah agar akad nikah itu benar-benar terjadi. Tidak sekadar angan-angan dan mimpi. Dan pada malam kedua di Bulan Suci Ramadhan itu, apa yang diharapkan Zahrana terjadi. Akad nikah setelah shalat tarawih disaksikan oleh jamaah yang membludak. Sebagian besar adalah tetangga Zahrana. Mereka turut terharu. Saat akad nikah ibu Zahrana menangis tersedu-sedu. Beberapa ibu-ibu juga menangis.
83

Azan Maghrib berkumandang. Tanda waktu buka puasa tiba. Zahrana m e n e g u k kolak d a n makan mendoan. Ada kenikmatan luar biasa saat buka. Kenikmatan yang susah diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang-orang yang berpuasa saja yang bisa merasakannya. Pembicaraan dengan Bu Zul itu tidak Zahrana sampaikan kepada ibunya. Ia tak ingin ibunya kecewa jika yang diharapkan tak terjadi lagi. Setelah shalat Maghrib Zahrana mendapat telpon dari Bu Zul, "Bu Zahrana. Mengenai keputusan syarat yang Bu Zahrana ajukan, ini ibu langsung dengar sendiri suara Hasan ya.." Suara di hand phone Zahrana lalu berubah, "Bu Zahrana ini Hasan. Saya setuju dengan syarat ibu. Ibu siapkan wali dan saksinya saya akan siapkan
82


Malam itu Zahrana sangat bahagia. Hasan juga merasakan hal yang sama. Usai akad nikah Hasan mengajak Zahrana naik mobilnya menuju hotel termewah di tengah Kota Semarang. Di dalam hotel, dengan penuh kekhusyukan Zahrana menunaikan ibadahnya sebagai seorang isteri. Ibadah yang sudah lama ia tunggu-tunggu bersama seorang suami. Di mata Hasan, Zahrana yang tampak manis dengan jilbab putihnya ternyata jauh lebih manis ketika rambutnya terurai. Hanya dia yang tahu seperti apa manisnya Zahrana. Mereka berdua saling mengagumi, saling mencintai dan saling menghormati. Kebahagiaan Zahrana malam itu menghapus semua derita yang dialaminya. Tasbih selalu mengiringi tarikan naf asnya. Ia semakin yakin, bahwa Allah bersama orangorang yang sabar dan ihsan. Malam itu, benar-benar malam kesaksian Zahrana atas Tasbih, Tahmid dan Takbir Cinta yang didendangkan Allah 'Azza wa Jalla kepadanya. Subhaanallaah wal hamdulillaah, wa laailaahaillallaahu wallaahu akbar!

Candiwesi-Salatiga-Pesantren Basmala-Semarang, Ahad 30 Juli 2006 Pukul 15:51

84


Dalam Mihrab Cinta
(Sebuah "Petikan" R o m a n P e m b a n g u n Jiwa)
eBook by MR.


Satu

Siang itu Pesantren Al Furqon yang terletak di daerah Pagu, Kediri, Jawa Timur geger. Pengurus Bagian Keamanan menyeret seorang santri yang diyakini mencuri. Beberapa orang santri terus menghajar santri berambut gondrong itu. Santri itu mengaduh dan minta ampun. "Ampun, tolong jangan pukul saya. Saya tidak mencuri!" Santri yang mukanya sudahberdarah-darah itu mengiba.
87


"Ayo mengaku. Kalau tidak kupecahkan kepalamu!" Teriak seorang santri berkopiah hitam dengan wajah sangat geram. "Sungguh, bukan saya pelakunya." Si Rambut Gondrong itu tetap tidak mau mengaku. Serta merta dua bogem melayang ke wajahnya. "Nich rasain pencuri!" teriak Ketua Bagian Keamanan yang turut melayangkan pukulan. Si Rambut Gondrong mengaduh lalu pingsan.
***

Lampu gudang dinyalakan. Pintu gudang lalu ditutup oleh Lurah Pondok. Pak Kiai berdiri tepat di hadapannya. Empat pengurus dan Lurah Pondok mengambil posisi mengelilingi si Gondrong. "Ini Pak Kiai pencuri yang selama ini menjarah barang-barang para santri. Baru tadi siang ditangkap basah oleh Bagian Keamanan." Ketua Bagian Keamanan membuka pengadilan. "Siapa namamu?" tanya Pak Kiai. Karena jumlah santri putra ada seribu lima ratus santri, Pak Kiai tidak hafal nama semua santrinya. Si Rambut Gondrong menjawab pelan, "Syamsul... Syamsul Hadi, Pak Kiai." "Nama yang sangat bagus. Benar kamu yang mencuri?" Syamsul menggelengkan kepala. Ketua Keamanan marah, "Dia,memang orangnya sangat bandel Pak Kiai. Dia tidak mau mengaku, tapi kami menangkap basah dia sedang membuka lemari si Burhan di kamar 17 Pak Kiai. Di kamar 17 sudah dua orang kehilangan u a n g . Saat itu k a m a r sepi, kami yang m e m a n g memasang orang di atas eternit melihatnya membuka lemari Burhan." "Benarkah kau membuka lemari Burhan?" tanya Pak Kiai pelan. "Benar Pak Kiai. Tapi tidak untuk mencuri." "Lantas untuk apa?!!" bentak Ketua Bagian Keamanan garang.
89

Menjelang Ashar, si Rambut Gondrong siuman. la dikunci di gudang pesantren yang dijaga beberapa santri. Kedua tangan dan kakinya terikat. Airmatanya meleleh. la meratapi nasibnya. Seluruh tubuhnya sakit. la merasa kematian telah berada di depan mata. Di luar gudang para santri ramai berkumpul. Mereka meneriakkan kemarahan dan kegeraman. "Maling jangan diberi ampun!" "Hajar saja maling gondrong itu sampai mampus!" "Wong maling kok ngaku-ngaku santri. Ini kurang ajar. Tak bisa diampuni!" la menangis mendengar itu semua. Sepuluh menit kemudian pintu gudang terbuka. la sangat ketakutan. Tanpa ia sadari ia kencing di celana karena saking takutnya. Para santri yang didera kemarahan meluap hendak menerobos masuk. Tapi Lurah Pondok menahan mereka dengan sekuat tenaga. Pak Kiai, pengasuh pesantren masuk dengan wajah dingin. Beliau diikuti empat pengurus. Satu di antaranya Ketua Bagian Keamanan.
88


"Karena saya diminta untuk mengambilkan uang oleh Burhan Pak Kiai." Jawab Syamsul. " H m m . . . B u r h a n ada?" tanya Pak Kiai sambil melihat Ketua Bagian Keamanan. Ada, Pak Kiai." "Dia tahu kalau si Syamsul tertangkap karena membuka lemarinya?" "Tahu Pak Kiai." Pak Kiai manggut-manggut dan mengerutkan dahi. "Panggil Burhan kemari!" pinta Pak Kiai. "Baik Pak Kiai." Ketua Bagian Keamanan lalu bergegas keluar.
***

Burhan mendekat. "Kau sudah tahu apa yang terjadi? Kenapa Syamsul diadili dan kenapa kau dibawa kemari?" lanjut Pak Kiai. "Iya Pak Kiai." "Kau harus jujur. Karena kejujuran mendatangkan kebaikan. Dan kedustaan m e n d a t a n g k a n petaka. Syamsul ini mengaku bahwa kau memintanya mengambilkan uangmu di lemarimu, apa benar?" Syamsul menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut temannya itu. Ia berharap temannya itu jujur, mengatakan yang sebenarnya. Dengan suara bergetar Burhan menjawab, "Ti...tidak benar Pak Kiai!" Syamsul kaget bagai disambar geledek. Dengan penuh amarah dia berteriak, "Teganya kau Bur... Kau santri atau bajingan?! Dancok kau Bur!" "Diam kau maling! Kau yang jelas bajingan bukan Burhan!" bentak Bagian Keamanan. "Demi Allah yang menciptakan langit dan bumi Pak Kiai. Saya tidak mencuri. Burhan yang tadi meminta saya mengambilkan uangnya untuk beli baju dan mentraktir saya. Biarlah seluruh laknat Allah menimpa saya jika saya berdusta!" Syamsul bersumpah dengan suara lantang. Kedua matanya menyala seperti mata elang. Pak Kiai agak kaget. Beliau langsung memandang Burhan, "Burhan karena Syamsul sudah berani bersumpah. Kau harus berani juga bersumpah bahwa apa yang
91

Syamsul berharap Burhan mau menjelaskan semuanya. Namun dalam hati ia bertanya-tanya, Burhan tahu kalau dirinya tertangkap kenapa tidak menjelaskan semuanya. Apa karena Burhan takut pada amarah para santri. Atau...? Ia tidak bisa banyak memprediksi. Seluruh tubuhnya terasa ngilu. Ia berharap di hadapan Pak Kiai, Burhan menjelaskan bahwa ia memang diminta Burhan mengambilkan uangnya. Dengan penjelasan Burhan itu ia berharap namanya dibersihkan dan semua santri yang telah berlaku aniaya p a d a n y a diberi hukuman, paling tidak harus minta maaf. Burhan datang dengan wajah sedikit pucat. Namun masih tampak tenang. Ia sama sekali tidak memandang Syamsul yang sedang berdarah-darah kesakitan. "Burhan ke sini!" pinta Pak Kiai.
90


kaukatakan benar. Jika tidak maka kau bersalah. Kau akan d a p a t h u k u m a n atas k e d u s t a a n m u . Sebab kedustaanmu itu telah mencelakakan orang lain." Dengan tenang Burhan menjawab, "Penjahat akan melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya Pak Kiai. Baiklah, saya bersumpah bahwa apa yang baru saja saya katakan benar. Jika saya berdusta maka semoga segala laknat Allah menimpa saya." Saat mengucapkan sumpah itu, dalam hati Burhan mengatakan yang dimaksud dengan kata-katanya "bahwa yang baru saja saya katakan benar" adalah perkataannya "penjahat akan melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya" bukan yang lain. Tak ada yang tahu hal itu kecuali Burhan. Syamsul meneteskan airmata. Hatinya sangat sakit. Rasa sakit hatinya melebihi seluruh sakit di sekujur tubuhnya yang berdarah-darah. "Baiklah, semuanya lebih jelas. Untuk memutuskan siapa yang sesungguhnya harus dihukum, silakan pengurus bermusyawarah. Dan sekalian tentukan hukuman yang paling bijak." Kata Pak Kiai sambil memandang wajah para pengurus. Lalu beliau pergi. Setelah Pak Kiai pergi, Syamsul berteriak-teriak marah. Andai kedua tangan dan kakinya tidak diikat tentu ia akan mengamuk. "Burhan, kaulah bajingan paling jahat! Kau tega memfitnah temanmu! Ingat Burhan, Allah tidak tuli! Allah tidak tidur!" Burhan menjawab tenang sambil memandang ke Lurah Pondok, "Penjahat ulung itu bisa berakting yang canggih!"
92

Burhan lalu pergi. Para pengurus juga meninggalkan gudang. Mereka menuju kantor untuk rapat. Akhirnya diputuskan, Syamsul dihukum gundul dan kemudian dikeluarkan dari pesantren. Pengurus bergerak cepat. Lurah Pondok menelpon ayah Syamsul, seorang pengusaha batik sukses di Pekalongan. Yang lain menyiapkan acara eksekusi penggundulan. Keputusan rapat pengurus itu ditulis resmi. Diketik rapi. Ditandatangani oleh Lurah Pondok, Sekretaris Pondok, Ketua Bagian Keamanan, dan Pengasuh Pondok Pesantren. Sore itu juga Syamsul diambil dari gudang. Di halaman pondok telah disiapkan kursi yang diletakkan di tengah garis melingkar. Syamsul digiring d a n didudukkan di kursi itu. Para santri menyaksikan eksekusi penggundulan itu dari luar garis. Bagian Keamanan membacakan hasil keputusan: "...dengan ini diputuskan bahwa Saudara Syamsul Hadi terbukti bersalah melakukan kejahatan pencurian yang dilarang agama dan melanggar tata tertib pesantren. Karenanya ia dikeluarkan dengan tidak hormat dari pesantren, dengan sebelumnya dihukum takzir yaitu digundul untuk dijadikan pelajaran bagi santri yang lain." Para santri bersorak sorai. Kata-kata sumpah serapah keluar menghujat Syamsul. Syamsul benar-benar sangat terpukul. Ketika gunting bagian keamanan mulai mencowel-cowel rambut kepalanya ia menangis. Sepuluh menit kemudian eksekusi itu selesai. Syamsul dibawa lagi ke dalam gudang. Dua orang pengurus membawa seember air dan menyuruhnya mandi. Ikatan di tangan
93


dan di kakinya dilepas. Semua barang Syamsul telah dikemas rapi dan diletakkan di gudang. Jam sebelas malam orangtua Syamsul datang. Pak Kiai menemui di ruang tamu pesantren. Syamsul berikut barang-barangnya dihadirkan. Pak Kiai dan Lurah Pondok menjelaskan semuanya. "Maafkan kami, Pak. Inilah tata tertib yang telah kita sepakati bersama. Syamsul terbukti mencuri maka harus dikeluarkan." Kata Lurah Pondok santun. "Kita mengenal wejangan orangtua kita dulu, jika ada satu rayap di kapal maka harus segera dibuang. Kalau tidak rayap itu bisa menjadi banyak, menggerogoti kapal dan bisa menenggelamkan kapal serta membinasakan seluruh penumpangnya. Itulah yang saat ini kami lakukan. Rayap itu harus dibuang..." Ketua Bagian Keamanan menimpal. "Saya berharap, ini jadi pelajaran bagi Syamsul. Dan setelah ini Syamsul berubah. Saya melihat Syamsul ini punya potensi untuk baik dan maju." Kata Pak Kiai bijaksana. Ayah Syamsul, Pak Bambang, sangat malu dan marah. Di ruang itu juga ia menampar anaknya berkalikali, "Anak tak tahu diri! Apa masih kurang Papa memberimu uang saku dan lain sebagainya. Kurang uang tinggal minta, kenapa malah maling!" Plak! Plak! Plak! Syamsul meringis. Ia diam saja. Ia merasa tak ada gunanya membela. Ia akan menjelaskan semuanya jika sampai di rumah nanti. Namanya memang telah rusak.
94

Ia benar-benar hancur di pesantren itu. Tapi ia berharap tidak hancur di tempat lain. Sebelum ia meninggalkan ruangan itu ia tegakkan kepala dan berkata setenang mungkin, "Pak Kiai, Panjenengan sudah melakukan tindakan zalim dengan memperlakukan saya seperti ini. Panjenengan belum melakukan tabayun yang sesungguhnya. Dan kalian para pengurus yang memutuskan hukuman untuk saya dengan semena-mena, dengar baik-baik, kalian telah melakukan dosa besar! Kesalahan besar! Ini hak adami. Suatu saat kalian akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Kalian akan tahu kelak siapa sebenarnya rayap itu. Dan aku tidak akan memaafkan dosa kalian semua kecuali kalian mencium telapak kakiku!" Mendengar hal itu Ketua Bagian Keamanan hanya geleng-geleng kepala. Pak Kiai tersentak, ada keraguan berbalut kekuatiran menyusup dalam hatinya, namun diam saja.
* * *

Sampai di rumah ia ternyata juga menemukan hal yang sama. Ia menegaskan bahwa ia terfitnah. Ia tidak pernah mencuri di pesantren. Namun penjelasannya itu tidak bisa diterima oleh seluruh anggota keluarganya. Kemarahan ayahnya juga tidak reda. Kedua kakak dan ibunya lebih percaya pada keputusan pesantren. "Sudah lebih baik kau mengakui dosamu itu dan bertaubat. Sesali perbuatanmu itu dan jangan keras kepala!" Kakak sulungnya yang sudah punya dua anak itu marah.
95


Hanya adiknya, Nadia, yang tidak berkomentar. Nadia lebih merasa iba pada kondisi kakaknya. "Apa tidak sebaiknya dibawa ke dokter untuk diobatkan Ma. Kasihan Kak Syamsul." Kata Nadia. Pak Bambang langsung menyahut garang, "Kita tidak perlu kasihan sama maling. Biar dia rasakan akibat kejahatannya!" Tak ada yang berani membantah. Bu Bambang masih tampak marah. Rasa marahnya saat itu mengalahkan rasa kasihan pada anaknya itu. Syamsul istirahat di k a m a r n y a d e n g a n mata berkaca-kaca. Jika keluarga sudah tidak lagi percaya padanya. Apalah arti hidup di dunia ini. Nadia masuk ke kamarnya membawa peralatan P3K. la bersihkan luka-luka kakaknya dengan air mineral, lalu dengan rivanol. Setelah itu ia oleskan Betadine. "Apakah kau juga tidak percaya bahwa aku tidak mencuri, Nadia?" Tanya Syamsul. Nadia diam. Tidak menjawab. "Jawab Nadia, aku butuh seseorang yang menguatkan aku. Aku bisa gila!" Seru Syamsul serak. "Sudahlah, Kak. Jangan bahas itu lagi. Yang penting kakak sembuh dulu. Nadia akan rawat kakak. Kakak jangan kecil hati, selama Allah bersama kakak, maka kakak jangan takut bahwa semua manusia memusuhi kakak." "Jadi kau percaya bahwa bukan aku pencurinya? Kau percaya penjelasanku, Nadia."
96

"Itu tidak penting, Kak. Saya ingin kakak berubah lebih baik. Dan Nadia akan selalu menganggap Kak Syamsul adalah kakak Nadia." Syamsul kecewa. Nadia p u n tidak juga mempercayainya.

97


"Kalian ini, dasar perempuan, baru membaca surat gombal kayak gitu saja berubah. Itu hanya akting si Syamsul. Aku sudah tidak percaya lagi sama anak brengsek itu!" Jawab Pak Bambang marah. "Kita lihat saja dulu perkembangannya. Paling dua hari lagi Syamsul juga pulang." Sahut kakak pertama. "Iya Syamsul telah memilih jalannya. Dia sudah dewasa. Sudah lulus SMA. Biarkan ini semua jadi pembelajaran baginya." Imbuh kakak kedua. Jika sudah demikian Bu Bambang dan Nadia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya saja dalam hati Bu Bambang berdoa semoga Syamsul anaknya baik-baik saja, dan mau pulang kembali.
***

Nadia membaca surat dari kakaknya itu dengan airmata bercucuran. la langsung berteriak-teriak memanggil Mamanya. Sang Mama datang tergopohgopoh, begitu membaca surat itu rasa keibuannya terbit. la pun menangis. Namun Sang Ayah dan kedua kakak Nadia malah geram dan marah. "Kita harus cari Syamsul, Pa. Kelihatannya dia memang tidak bersalah. Kita harus berdiri bersama anak kita, Pa." Kata Bu Bambang. "Iya, Pa. Kita bisa minta polisi mengusut kasus di pesantren itu. Kalau Kak Syamsul tidak bersalah kan berarti dia dianiaya." Tambah Nadia.
98

Sudah satu minggu Syamsul pergi. la mengelana di Kota Semarang. Tidur dari masjid ke masjid. Makan seadanya. Dengan berbekal ijazah SMA ia melamar pekerjaan dari kantor ke kantor, pabrik ke pabrik, tapi belum juga diterima. Sebab semua pabrik mensyaratkan ada keterangan surat kelakuan baik dari kelurahan. Berarti ia harus pulang. Dan itu yang tidak mau ia lakukan. Ia sudah berusaha mencari kerja, tapi tak juga dapat. Akhirnya timbul dalam pikirannya, mungkin jalannya untuk makan adalah dengan mencuri, mencopet dan menjambret. Ia masih maju mundur melakukan hal itu. Akhirnya ia nekat. Ia naik bus mini warna kuning jurusan Mangkang-Penggaron. Sampai di Jrakah ia melakukan aksi perdananya. Mencopet.
99


Dan.. .naas! Korbannya waspada. la ketahuan. la langsung lompat dari bus. Bus berhenti. Semua orang berterikteriak, "Copet, copet!" Orang yang mendengar hal itu langsung berlarian mengejarnya. la lari ke arah Ngaliyan. Terus berlari. Sampai dekatkampus dua IAIN Walisongo, ia tertangkap. la babak belur dihakimi massa. Untung ada patroli polisi. Nyawanya diselamatkan oleh polisi. Berita tertangkapnya dirinya di Ngaliyan masuk koran terkemuka di Jawa Tengah, Suara Mahardika. Juga masuk berita televisi. Untung ia tidak bawa KTP. KTP dan semua barangnya ia titipkan pada seorang takmir masjid tua di dekat Pasar Bulu. Ia mengaku bernama Burhan. Dari Jakarta. Keluarganya di Pekalongan membaca isi koran dan melihat berita itu. Mereka tersentak. Bu Bambang menangis, "Ia benar-benar jadi pencuri!" Pak Bambang dan kedua kakaknya mengatakan, "Sudahlah ia kita ikhlaskan. Untung dia memakai nama samaran, jadi tidak mencemarkan nama keluarga." Hanya Nadia yang tidak percaya. "Saya yakin copet itu bukan Kak Syamsul. Itu orang lain yang mirip Kak Syamsul," kata Nadia. "Kamu itu masih bau kencur. Tahu apa masalah dunia kriminal, Nadia!" Sengit kakak kedua. Nadia tidak bisa menjawab. Dalam hati ia ingin membuktikan bahwa anggapannya benar.
* * *

Dua

Sejak itu ia mendekam di penjara Polsek Semarang Tugu. Ia satu sel dengan dua orang narapida yang tertangkap karena mencuri sepeda motor. Dua narapidana itu mengajaknya u n t u k bergabung dalam komplotannya. Ia pura-pura mengiyakan, sebab ia takut jadi bulan-bulanan mereka. Ia diberi tahu trik-trik mencuri sepeda motor yang canggih. Juga trik-trik mencuri rumah orang kaya. "Di daerah Papandayan dan Candi, Semarang atas, banyak rumah mewah. Jika kita berhasil menggasak satu
101

100


rumah saja. Kita bisa kaya mendadak." Kata napi berkumis tebal. Ia lalu diberi tahu peta daerah-daerah strategis untuk beroperasi. Ia masihbimbangbagaimana meneruskan hidup. Ia teringat cita-citanya. Ingin jadi mubaligh ternama sekaligus pengusaha Muslim yang berhasil. Maka setelah lulus SMA ia minta masuk pesantren sambil kuliah. Ia memilih pesantren di Kediri. Waktu di SMA memang ia agak nakal. Tapi dalam hati terkecil, citacitanya adalah jadi mubaligh. Dan kejadian di pesantren itu mengubah segalanya. Ia teringat Burhan. Anak pengusaha dari Jakarta itulah sumber petakanya. Ia dijebak Burhan, saat pesantren sedang panas oleh kejadian beberapa pencurian. Uang santri hilang. Ia jadi kambing hitam. Dan kini ia benarbenar mendekam jadi pencuri. Sudah satu minggu ia dipenjara. Ia mulai bosan. Napi berkumis tebal berkata padanya, "Kau tenang saja Bur. Minggu depan bos kami akan datang. Dia akan menebus kami. Kau akan kami usahakan ikut ditebus. Tapi konsekuensinya, kau harus ikut memperkuat kami." Ia mengangguk. Jika itu benar-benar terjadi, ia memang benar-benar akan masuk di dunia hitam. Ia berdoa semoga ada mukjizat yang mengeluarkannya dari penjara. Tapi ia tidak bisa mengelak dari kejahatannya mencopet. Ia diputuskan mendekam di sel selama enam bulan. Satu bulan pertama ia akan menjalaninya di Polsek Tugu. Dan ada kemungkinan dipindah ke Penjara Kedungpane.
102

Siang itu ia baru saja menyantap jatahnya makan siang. Seorang polisi datang dan membawanya keluar. Di ruang tamu ia melihat seorang gadis berjilbab. Hatinya berdesir. Nadia. Antara gembira dan sedih terbit dalam hatinya. Gembira bertemu adiknya, sedih karena kini adiknya tahu ia benar-benar seorang kriminil. "Nadia!" Serunya pada adiknya. Nadia menoleh ke arahnya. Kaget. Tidak percaya. "Kau.. .kaubukanKakSs.. .s..." Nadia gagap tidak percaya. "Tenang. Aku kakakmu, Nadia." Nadia menggeleng-gelengkan kepala dan menangis. "Tidak.. .tidak.. .tidak, Kak!" "Tenang Nadia, beri kesempatan aku bercerita. Mari kitabicara dengan tenang." Nadia duduk tenang. Airmatanya bercucuran. "Kau sendirian, Nadia?" Nadia mengangguk. "Keluarga semua baik?" Nadia kembali mengangguk. "Apa mereka sudah tahu aku disel?" "Begitu membaca koran Suara Mahardika dan menonton berita di televisi mereka semua yakin yang tertangkap adalah kakak, meskipun memakai nama Burhan. Hanya aku yang tidak percaya, maka aku kemari. Ternyata dugaanku salah. Kakak memang seorang penjahat!" Syamsul menangis.
103


"Maafkan aku Nadia. Demi Allah ini yang pertama kali aku lakukan. Dan aku berharap yang terakhir kalinya." Syamsul lalu menjelaskan perjalanan hidupnya sejak pergi dari rumah sampai kehabisan uang. Dan kejadian di Ngaliyan itu. "Tolonglah aku, Adikku." Nadia diam. Rasa kasihannya keluar setelah mendengar cerita kakaknya. "Hanya kau yang kuharapkan, Adikku.Tolonglah!" "Bagaimana aku bisa menolongmu Kak?" "Tebuslah aku biar aku bisa keluar dari sini." "Berapa Kak?" "Kau bawa kartu ATM?" "Iya." "Isinya berapa?" "Tiga juta." "Baik. Biar aku negosiasi dengan polisi dulu. Baru kauambil uang di ATM ya." "Baik Kak." la lalu bernegosiasi dengan polisi. Karena ia sudah belajar cara negosiasi dengan polisi, maka urusannya mudah. Apalagi ia menyebut seorang nama yang ia dapat dari kedua napi itu. Nama itu dikenal sebagai beking para kriminal. Akhirnya ia bisa keluar dari penjara dengan menebus cuma duajuta lima ratus. Ia berterima kasih kepada adiknya. Dan ketika adiknya mengajaknya pulang, ia tidak mau. "Mereka pasti sudah tidak sudi melihat mukaku."
104

"Tenang, Kak. Mereka akan Nadia yakinkan bahwa yang dipenjara itu bukan kakak. Tapi Burhan. Orang yang mirip kakak. Mereka kan tidak tahu kalau kakak sudahbebas. Kakak bilang saja tidak pernah dipenjara. Nadia tidak akan membocorkan hal ini pada mereka. la tetap tidak mau. Nadia memberinya uang lima ratus ribu, lalu kembali ke Pekalongan dengan perasaan sedih. Syamsulberharap akan menemukan cahaya yang terang dalam hidupnya.

Syamsul merasa tidak bisa bertahan di Semarang. la ingin mengadu nasib yang lebih baik di tempat lain. Maka dengan bus ekonomi ia nekat pergi ke Jakarta setelah mengambil barang-barangnya di masjid dekat PasarBulu. Sampai di Jakarta ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tiba di Lebak Bulus pagi buta. Bingung mau ke mana. Setelah shalat Subuh ia berjalan-jalan di terminal melihatlihat. Ia merasa karena terlanjur nekat maka ia harus nekat. Akhirnya ia nekat naik angkot jurusan Parung. Ia ingin mencari masjid. Ia ingin tinggal di masjid. Sampai di Parung ia turun, lalu berjalan kaki mencari masjid. Bertemu dengan sebuah masjid ia utarakan keinginannya untuk tinggal. "Mungkin saya bisa bantu-bantu menjaga dan membersihkan masjid. Kebetulan saya dulu dari pesantren." Katanya pada orang yang ada di masjid. "Maaf Dik, kebetulan sudah ada yang tinggal di sini. Dua orang malah. Juga dari pesantren. Sekarang sedang
105


kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Maaf kami tidak nambah orang." la kecewa. Berkali-kali ia temukan masjid. la u t a r a k a n niatnya. Dan j a w a b a n n y a mirip: tidak menerima tambahan orang. Di masjid yang terakhir, saat itu menjelang Ashar, dan dia sangat kelelahan, takmir masjid menyarankan agar dia mengontrak rumah saja. "Adik kan bisa mencari kerja. Tidak harus tinggal di masjid. Adik cari saja kontrakan di dekat masjid ini. Kalau kami perlu bantuan, Adik, kami bisa panggil Adik. Kalau tinggal di masjid tidak bisa. Kamarnya cuma satu dan telah ditempati Pak Ali, imam masjid ini, bersama isteri dan anaknya. Gimana Dik? Nanti saya bantu cari yang murah. Oh ya siapa tadi nama Adik?" Pada bapak yang halus budi itu, ia tidak berani berdusta, "Nama saya Syamsul Pak." "Ya jadi begitu saran saya Dik Syamsul. Oh ya nama saya Abbas. Panggil saja Pak Abbas. Kebetulan saya Ketua RT 2 di perumahan ini." Akhirnya ia ikut saran Bapak itu. Ia mendapatkan rumah satu kamar. Sewa per tahunnya dua juta. Ia menggigitbibir. "Saya cuma punya empat ratus ribu, Pak." "Baik. Pemilik rumah ini mengatakan katanya bisa dicicil empat kali. Sekali cicil berarti lima ratus ribu. Kamu ada empat ratus, bagaimana kalau yang seratus ribu saya usahakan. Adik bisa bayar kapan saja adik ada. Tapi cicilan selanjutnya adik usaha sendiri."
106

"Saya pinjam tiga ratus ya Pak. Biar saya ada pegangan bulan ini." "Oboleh." Jadilah ia menyewa rumah. Sejak hari itu ia tinggal di sebuah perumahan tak jauh dari Parung. Ia mulai kenal dengan masyarakat. Namun sudah satu bulan ia belum juga dapat kerjaan. Uang pegangannya tinggal lima kali makan. Ia bingung. Ia hams berbuat apa. Cicilan rumah bulan depan juga belum ada. Akhirnya ia berkata pada diri sendiri, "Aku haras nekat. Minta belas kasihan orang itu mental pecundang!" Hari itu ia naik anggot ke Lebak Bulus. Lalu naik Kopaja yang sesak penumpang. Ia nekat mengamalkan 'ilmu' yang didapat dari dua napi saat ia dipenjara. Berhasil! Seorang cewekberambutkeriting jadi korban. Ia lalu beroperasi di bus yang lain. Berhasil! Seorang ibuibu setengah baya berpakaian modis jadi korban. "Kalau mencopet jangan terlalu tamak. Sehari dapat dua itu bagus. Yang ketiga dan keempat biasanya hilang konsentrasi." Ia teringat kata-kata napi berkumis tebal. Ia merasa harus pulang. Sampai di kontrakan ia Wrung hasil jarahannya. Dari dompet cewek keriting cuma lima puluh ribu. Tapi ada kartu ATM-nya. Dari dompet ibu-ibu setengah baya modis, lumayan, enam ratus ribu. Semuanya serarus ribuan, enam. Ada KTP dan SIM-nya. Ia ambil uang itu, ia masukkan ke dalam dompetnya. Sementara dompet korbannya ia simpan di laci almari. Meskipun diliputi rasa berdosa ia merasa lebih tenang. Malam harinya ia pergi ke pemilik rumah nyicil
107


kontrakan. Hari berikutnya ia melakukan hal yang sama. Dapat cuma satu korban. Ia pulang. Ia tak mau ambil risiko. Korbannya kali ini seorang cewek berjilbab modis, kelihatannya mahasiswi. Ya, mahasiswi setelah ia lihat ada kartu mahasiswanya. Cantik juga, katanya dalam hati ketika melihat fotonya. Ada foto yang lain. Foto mahasiswi itu dengan seorang pria. Mungkin pacarnya, gumamnya. Ia terkesiap. "Tunggu, agaknya aku kenal dengan lelaki ini." Katanya. Ia amati dengan seksama, "Benar. Ini si Bajingan Burhan itu. 0 jadi ini pacar atau calon isterinya yang lain." Ia semakin yakin ketika membaca tulisan di balik foto berukuran 6 x 8 itu. "Silvie bersama Mas Burhan di Sby." Ia tersenyum. Ia penasaran. Ia lihat KTP cewek itu. "Ini saatnya perhitunganku berlaku." Ia ingat Burhan sudah serius dengan Dalmayanti, santriwati dari Tulungagung. Putri seorang kepala KUA. "Burhan ini benar-benar buaya! Tidak bisa dibiarkan!" Setelah mengambil uang dan KTP dari dompet korbannya ia melangkah keluar sambil menenteng tas ranselnya. Sekalian shalat Ashar ia hendak pinjam kendaraan pada Pak Abbas. Ia ingin mencari alamat yang ada di KTP itu yang kelihatannya tidak jauh dari tempat ia tinggal. Cewek itu ringgal di Villa Gratia, Parung bagian timur. Sementara dirinya ada di Parung bagian barat. Bakda Ashar ia meluncur dengan sepeda motor Pak Abbas. Tak lama ia temukan Villa Gratia itu. Perumahan elite. Pintu masuknya dijaga satpam. Ia tak jadi masuk. Ia terus saja jalan. Ia harus berpenampilan yang tidak
108

mencurigakan. Ia teringat di ranselnya ada kopiah putih yang biasa ia pakai kalau shalat. Ia pakai kopiah itu baru pakai helm. Ia lihat alamat r u m a h cewek itu. Jl. Flamboyan 19. Ia tersenyum. Ia sudah mantap menghadapi satpam. Ia kembali ke Villa Gratia. Ketika mau masuk satpam menghentikannya. Ia lepas helmnya, sehingga tampak ia pakai kopiah. Seketika satpam bersikap lebih ramah. "Mau ke mana Pak Ustadz? Ke rumah siapa?" tanya satpam itu. Ia tersenyum dalam hati. "Baru pakai kopiah saja langsung dipanggil ustadz. Wah boleh juga ini, aku ternyata bakat jadi ustadz juga." Batinnya. "Mm. Saya mau ke Flamboyan 17." Jawabnya mantap. Sengaja ia tidak bilang Flamboyan 19. Ia teringat pada nasihat napi berkumis tebal, "Jangan pernah mengatakan sasaran kita sebenarnya kepada siapapun saat observasi! Termasuk ketika bertanya atau menjawab pertanyaan." "O mau ke rumah Pak Broto ya. Jadi si Kecil Dela itu sudah mau ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat ustadz, padahal baru kemarin sore bilang ke saya." Kata satpam itu. "Iya. Alhamdulillah. Nanti kalau dengar ada yang mencari guru ngaji bisa bilang saya ya." Ia tersenyum. "Ya, insya Allah, Ustadz, tapi komisinynya, Ustadz." "Beres, Pak." Ia lalu masuk dengan tenang. Rumah-rumah di perumahan itu mewah semua. Seperti istana. Ia masuk
109


Jalan Flamboyan. Rumah bernomor 19, luar biasa besar. Dalam hati ia berkata, "Si Burhan bajingan itu beruntung punya mertua tajir begird." Ia lalu mencari masjid. Ketemu masjidnya juga mewah dan bagus. Ia teringat kata-kata satpam tadi, "Jadi si Kecil Dela itu sudah mau ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat ustadz, padahal baru kemarin sore bilang ke saya." Ia tersenyum. Ia berharap Pak Broto belum menemukan guru ngaji. Ia merasa harus nekat. "Mau nyopet aja perlu nekat, masak mau ngajar ngaji tidak nekat. Tak ada salahnya tho copet ngajar ngaji biar dosanya terhapus dikit-dikit." Batinnya dalam hati. Lalu dengan mantap ia memarkir sepeda motornya di depan rumah di Jalan Flamboyan no. 17. Ia pencetbel. Seorang pembantu wanita agak tua membuka pintu. "Oh, Pak Ustadz. Mau ketemu siapa?" "Pak Broto ada, Bu?" "Ada. Silakan masuk Pak Ustadz." Dengan tenang ia masuk. Tak lama seorang lelaki gemuk bersarung dan berbaju koko keluar. "Oh Ustadz. Di mana kita pernah bertemu ya Pak Ustadz?" Pak Broto merasa kenal. "Mungkin di suatu masjid. Saya juga lupa Pak Broto. Gini Pak Broto langsung saja, ada yang memberitahu saya, katanya Pak Broto perlu guru pri vat ngaji untuk si Kecil Delia. Apa betul?" Syamsul menjawab dengan sangat tenang. "Benar Pak Ustadz. Sudah ada seorang guru ngaji yang datang tadi pagi tapi saya tidak cocok, sebab dia
110

tidak ada background pesantrennya. Saya ingin guru ngaji yang pemah belajar di pesantren." "Kebetulan saya dulu pernah nyantri di Kediri. Asli saya dari Pekalongan Pak Broto. Sekarang saya tinggal di perumahan di Parung bagian barat." "O ya...ya...ya. A l h a m d u l i l l a h kalau begitu. Semoga si Delia mau. Sekarang tinggal Della-nya mi. Oh ya nama Pak Ustadz siapa ya? Saya lupa?" Syamsul ingin tertawa. Belum pernah bertemu tapi merasa sudah kenal. Kadang orang kaya itu aneh. "Nama saya Syamsul, Pak Broto." "O ya..ya...ya. Saya panggilkan Delia dulu. Biar segera clear urusannya." Pak Broto lalu masuk memanggil-manggil anaknya. Tak lama, ia kembali keluar bersama anak putri berumur enam tahun. "Ini Dik Delia ya?" sapa Syamsul dengan ramah. "Iya." Jawab Delia acuh tak acuh. "Kenalkan nama kakak Syamsul, panggil Kak Syamsul." "Kak Syamsul mau jadi ustadz Delia ngaji ya?" "Iya. Itu jika Delia mau berteman dengan Kak Syamsul." "Kak Syamsul bisa nyanyi nggak. Soalnya Delia inginnya tuh ustadz Delia juga yang pinter nyanyi." "Uda Delia ingin, Kak Syamsul nyanyi apa?" "Coba Kak Syamsul nyanyi lagu daerah dari Kalimantan!"
111


"Wah kalau itu mah kecil. Nih dengerin baik-baik ya Delia: Ampar-ampar pisang pisangku belum masak. Masak bigi dihubung bari-bari. Mangga lepak mangga lepak Patah kayu bengkok.. Syamsul lalu menyanyi dengan semangat. Delia lalu ikut bernyanyi. Begitu lagu selesai, Delia langsung berkata pada ayahnya, "Saya mau ayah. Kak Syamsul pinter." Pak Broto tersenyum, "Ya sudah kalau begitu. Ayah mau bicara sama Kak Syamsul dulu ya. Kamu masuk sana!" Delia lalu masuk dengan berlari dan berteriak, "Hore aku puny a ustadz pinter nyanyi...!" "Alhamdulillah Pak Ustadz. Seperti yang Ustadz dengar sendiri. Delia mau. Terus kontrak kita bagaimana?" "Saya ikut aturan bapak saja. Saya tidak meragukan profesionalitas Pak Broto." Kening Pak Broto berkerut. " H m m baiklah. Saya samakan dengan privat pianonya Delia saja ya Ustadz?" "Saya ikut. Tolong dijelaskan detilnya." "Satu minggu empat kali pertemuan. Satu pertemuan satu setengah jam. Sehingga satu minggu ada enam jam. Satu jamnya saya hargai seratus ribu. Jadi satu minggu
112

enam ratus ribu. Dan satu bulannya dua juta empat ratus ribu. Kalau ada jam tambahan maka harga per jamnya seratus ribu. Begitu Ustadz, bagaimana?" "Sepakat." "Terus pengaturan jamnya bagaimana, Ustadz?" "Begini saja. Pak Broto saja yang bikin dengan melihat jam kegiatan Delia. Insya Allah habis ini saya ke masjid. Saya shalat Maghrib di masjid perumahan ini, Insya Allah. Setelah shalat kita bicarakan di masjid iadwalnya. Bagaimana Pak?" "Baik Pak Ustadz. Baik." "Kalau begitu saya pamit dulu." Syamsul meninggalkan rumah itu dan pergi ke masjid. Sambil menunggu ia berbincang-bincang dengan penjaga masjid. Ia banyak mendapatkan info yang berharga. Termasuk tentang penghuni rumah no.19 Jalan Flamboyan. Silvie ternyata mahasiswi jurusan ekonomi UI. Silvie anak tunggal. Ayahnya seorang pengusaha di bidang travel dan pariwisata. Namanya Pak Heru. "Pak Heru itu bisa dikatakan yang paling kaya di perumahan ini. Ia punya travel yang sudah punya cabang di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Cabang travel-nya juga ada di Singapura, Malaysia dan Arab Saudi." Begitulah penjaga masjid itu menerangkan. "Hanya saja Pak Heru sedikit pelit. Kalau membantu masjid sedikit. Masihbagusan Pak Broto yang tak pernah hitungan kalau membantu." Waktu M a g h r i b tiba. J a m a a h b e r d a t a n g a n . Penjaga itu yang azan dan iqamat. Saat shalat mau
113


didirikan penjaga masjid itu mempersilakan Syamsul jadi imam. Syamsul ragu dan tidak mau. Tapi Pak Broto yang sudah hadir memaksanya agar ia mau. Akhirnya ia p u n jadi imam. Dalam hati ia beristighfar sebelum maju d a n berkata, "Ya Rabbi a p a k a h kau m a u menerima shalat hamba-hamba-Mu yang diimami seorang pencopet?" Ia shalat dengan membaca surat-surat pendek. Bacaannya tartil. Satu tahun di pesantren cukup baginya untuk membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Usai shalat ia berbincang-bincang d e n g a n Pak Broto. Kesepakatan-kesepakatan ten tang hari dan jam dengan cepat tercapai. Di tengah asyiknya berbincang, Pak Heru ikut nimbrung. Pak Heru bercerita tentang musibah yang menimpa putrinya semata wayang, "Sekali ini dia naik bus kota langsung kecopetan. SIM, STNK, KTP, Kartu Mahasiswa hilang. Untung pas tidak bawa ATM. Ia juga kehilangan empat ratus ribu." Pak Broto diam mendengarkan. Demikian juga Syamsul. Dalam hati Syamsul berkata, "Pak, si Copet yang mencopet putri Bapak ada di depan Bapak." Seorang jamaah yang mendengar dari kejauhan mendekat sambil berkata, "Mungkin karena kurang zakat kali, Pak." "Masak? Kan tiap tahun harta saya sudah saya zakati 2,5 persen." "Mungkin yang kurang infak shadaqahnya. Shadaqah kan tolak balak. Bener nggak, Ustadz?" Syamsul mengangguk.
114

Pak Heru terdiam. Syamsul harus minta diri pulang. Sebab ia pinjam kendaraan Pak Abbas hanya sampai jam delapan malam. Dalam perjalanan ia berniat untuk taubat dan jadi manusia baik sungguhan.

115


Tiga

eBook by MR.

Sejak itu Syamsul mulai menata hidupnya. la merasa jika gaji privat ngajinya cukup, maka tidak perlu lagi mencopet. Dan ia berjanji dalam hati akan mengembalikan dompet korban-korbannya ke alamatnya masing-masing. Seminggu empat kali ia mengajar Delia. Dan agar tidak mengecewakan kala mengajar, ia pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buku cerita anak Islami. Dongeng-dongeng anak. Buku-buku permainan anak. Juga psikologi anak. Syamsul berusaha sebisa mungkin
117


menjadikan Delia keranjingan mengaji. Tempat ngajinya tidak melulu di ruang belajar Delia. Kadang di taman. Kadang di masjid. Bahkan terkadang ia ajak jalan pakai kendaraan dan mencari daerah yang enak untuk mengaji. Pak Broto senang sekali d e n g a n kemajuan putri bungsunya itu. Dari mulut Delia, Syamsul banyak tahu tentang Silvie. Sebab Delia diajar matematika oleh Silvie. Dan akhirnya Silvie pun kenal Syamsul. Selain mengajar Delia, Syamsul mulai mendapat tawaran mengajar anak yang lain. Ia merasa bisa hidup mandiri dari uang yang halal. Saat ia merasa ada u a n g lebih ia langsung menabung. Dan untuk menambah ilmu serta menguatkan statusnya, Syamsul masuk kuliah di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta. Dengan begitu statusnya adalah mahasiswa. Ia juga berani kredit kendaraan. Karena tanpa kendaraan ia tidak bisa ke mana-mana. Suatu ketika selesai mengajar Delia ia bertemu Pak Heru di masjid. Ayah Silvie itu mengajaknya berbincangbincang. "O jadi Ustadz Syamsul kenal dengan Burhan Faishal yang sekarang masih di Pesantren Al Furqon? Burhan itu calon menantu saya. Dia putra Pak Anwar pemilik percetakan besar di Pasar Rebo lho nak." "O ya Pak. Saya kenal sekali dengan dia. Kebetulan saya dan dia satu pesantren. Tapi benar, Burhan itu calon menantu Bapak?" "Benar Ustadz. Malah Nak Burhan sendiri sudah melamar Silvie."
118

"Sama keluarganya Pak?" "Ya baru bicara bilateral dengan saya. Belum dengan orangtuanya. Tapi dia sudah kasih cincin sama Silvie." "Agak aneh, yang Bapak maksud Burhan yang ada tahi lalatnya di jfdatnya?" "Iya benar." "Aneh." "Aneh apa Ustadz?" "Saya akan memberikan informasi penting. Tapi Bapak mau bersumpah untuk tidak memberitahukan jatidiri saya kepada Burhan Pak? Ini demi kebaikan keluarga Bapak dan keluarga Burhan?" "Info apa Ustadz?" "Info penting. Kalau Bapak tidak mau bersumpah tidak akan saya beritahu." Pak Heru penasaran. Akhirnya ia mau bersumpah menuruti syarat Syamsul. "Baik Pak. Tolong d e n g a r baik-baik. Burhan memang santri yang cerdas. Tapi menurut saya tidak cocok, maaf, jadi menantu Bapak. Kasihan Silvie nantinya." "Kenapa bisa begitu Ustadz? Ustadz jangan lancang ya!" "Sabar dulu Pak. Tunggu saya selesai berbicara. Setahu saya Burhan Faishal itu sudah serius bertunangan dengan seorang santriwati namanya Damayanti binti Ustman. Santriwati asal Tulungagung. Saya tahu persis. Sayang saya tidak punya foto mereka berdua."
119


"Ustadz jangan memfitnah dong. Ustadz jangan main-main ya." "Begini Pak Heru. Alamat tinggal saya saat ini jelas. Pak Broto tahu siapa saya. Jadi kalau saya macammacam Bapak bisa menindak saya. Saya sarankan Pak Heru langsung membuktikan sendiri. Jangan beritahu Silvie. Kalau Silvie diberitahu pasti akan telpon atau SMS Burhan. Dan Burhan akan berusaha menutupi kebenaran. Saya sarankan Bapak langsung ke Tulungagung. Ke rumah tunangan Burhan. Saya punya alamatnya. Baru setelah itu Bapak boleh mengambil keputusan." "Baik Ustadz. Kata-kata Ustadz saya pegang. Mana alamatnya." Syamsul menulis alamat kantor di mana ayah Damayanti kerja. "Pak Utsman, ayah Damayanti itu kepala KUA, jadi mudah mencarinya. Saya juga akan pegang sumpah Bapak. Ini hanya Bapak yang tahu." "Baik. Saya akan ke sana secepatnya. Kebetulan saya harus melihat travel saya di Surabaya." Dalam hati Syamsul berkata, "Saya tidak memfitnah Burhan. Saya hanya ingin menyelamatkan Silvie dari orang licik seperti Burhan. Ampuni saya jika ini salah wahai Tuhan." Meskipun dia juga mengakui ia melakukan ini juga karena didorong dendam.
***

Hari terus berjalan. Satu minggu kemudian, di suatu Ahad pagi, Syamsul sedang bincang-bincang dengan Pak Abbas mengenai kegiatan remaja masjid di dekat tempat
120

tinggalnya untuk menyambut Ramadhan. Pak Heru datang. Syamsul kaget. Jangan-jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, hal-hal di luar yang ia perhitungkan. Syamsul minta waktu pada Pak Abbas untuk menemui Pak Heru. "Assalamu'alaikum." Sapa Pak Heru. "Wa'alaikumussalam. Ada apa Pak Heru?" Jawab Syamsul. Pak Heru malah menangis, "Terima kasih Ustadz. Terima kasih. Kalau tidak karena info Ustadz mungkin saya akan menanggung malu besar. Dan anak saya akan tidak jelas masa depannya." "Ada apa sebenarnya Pak Heru?" "Saya sudah ke Tulungagung Ustadz. Saya sudah bertemu d e n g a n Pak U t s m a n . Apa yang Ustadz sampaikan benar. Pak Utsman bercerita panjang lebar tentang hubungan putrinya dengan Burhan. Sampai akhirnya, di akhir cerita Pak Utsman menangis. Karena pertunangan putrinya dengan Burhan itu harus dia putus karena akhlak Burhan yang ternyata sangat buruk. Akhir bulan kemarin Burhan dikeluarkan dari pesantren karena terbukti mencuri. Burhan sekarang sedang disel di Polres Kediri karena melukai pengurus pesantren dengan senjata tajam. Saya benar-benar menyesal percaya pada anak itu. Oleh anak itu saya dirugikan empat puluh juta. Dia bilang pinjam buat modal usaha buka toko buku di Kediri. Setelah saya cek toko itu fiktif." "Saya tidak mengira sejauh itu Burhan tergelincir. Terus Silvie gimana Pak? Apa dia sudah tahu?"
121


"Ya. Silvie sudah tahu semuanya. Sebab saya ke Tulungagung langsung mengajak dia. Dia bersyukur tahu semuanya. Dan Silvie ingin pura-pura tidak tahu. Tidak usah berkata apa-apa pada Burhan. Dalam waktu cepat Burhan pasti bebas dan pasti akan langsung datang. Setelah keluarga Damayanti memutuskan hubungan, jelas Burhan akan langsung mengejar Silvie. Saat Burhan datang itulah Silvie ingin memberinya pelajaran atas kedustaannya selama ini." Syamsul hanya manggut-manggut. la merasa dalam hal itu tidak berhak turut campur. Sekarang dia merasa lega. la berharap berita yang dibawa Pak Heru benar. Dengan demikian namanya yang telah hitam di mata pesantren dan keluarganya kembali pulih. "Meskipun Burhan itu temanku. Dalam masalah ini saya tidak bisa ikut campur. Dan saya tidak berhak berbicara apa-apa. Saya hanya berdoa semoga semuanya jadi baik." Pelan Syamsul. "Iya Ustadz benar. Oh ya Ustadz, sekali lagi kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas informasinya. Kalau Ustadz ada waktu kapan-kapan setelah mengajar Delia, Ustadz bisa mampir ke rumah. Sebab ibunya Silvie ingin memberikan sesuatu pada Ustadz sebagai tanda terima kasih." "Sama-sama Pak. Sudah menjadi kewajiban seorang Muslim untuk saling menjaga dan mengingatkan." "Saya pamit dulu Ustadz." "Mari Pak Heru." "Assalamu 'alaikum."
122

"Wa'alaikumussalam." Begitu Pak Heru pergi, Syamsul langsung lari ke wartel u n t u k memastikan kabar itu. la langsung menelpon ke Kediri, ke kantor pengurus pesantren. Yang menerima agaknya Lurah Pondok. "Ini siapa ya?" tanya Lurah Pondok. Syamsul malah gantian bertanya, "Ini Lurah Pondok Pesantren Al Furqon Pagu ya?" "Iya benar. Ini siapa?" "Ini alumni pesantren tahun kemarin, Kang. Aku dengar kabar ada sanrri yang disel di Polres apa benar?" "Ya benar. Karena dia mencuri dan menyerang pengurus yang akan meringkusnya." "Dia itu yang namanya siapa itu, yang berambut gondrong yang dicurigai banyak orang. Saya kok lupa?" Syamsul menyelidik. "O yang berambut gondrong itu namanya Syamsul. Yang disel bukan dia. Aduh kalau teringat dia kami jadi merasa sangat berdosa. Dia korban fitnah. Kami masih ceroboh dulu. Yang dipenjara itu Burhan." "O ya yang berambut gondrong itu Syamsul ya. Saya kok lupa. Dia korban fitnah maksudnya bagaimana?" "Dia korban fitnah perangkap si Burhan. Kami semua berdosa padanya. Kami ingin minta maaf padanya. Tapi tidak tahu dia di mana sekarang?" "Sudah ke keluarganya?" "Sudah. Kami minta maaf pada mereka. Keluarganya sangat m a r a h p a d a kami. Dan k e l u a r g a n y a
123


menyesal, karena Syamsul sudah lama minggat dari rumah." "Minggat dari rumah?" "Ya. A d u h saya jadi ingin menangis. Betapa kecerobohan kami telah menyengsarakannya." "Masya Allah, betapa dahsyat ya dampak fitnah itu." "Iya benar. Sangatbesar. Makanya fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Oh ya siapa namamu?" "Namaku Adi, Kang. Gitu dulu Kang ya. Assalamu'alaikum. Salam buat Pak Kiai." la tidak bohong. Nama lengkapnya Syamsul Hadi. Dan dia mengambil tiga huruf terakhir dari namanya, yaitu Adi. Padahal ada banyak nama Adi di pesantrennya. Lurah Pondok itu pasti tidak mengira kalau dia yang nelpon. "Biarlah mereka mencariku. Dan akan aku maafkan jika mau mencium telapak kakiku." Gumamnya sambil matanya berkaca-kaca mengingat ketika ia dipukul hingga berdarah-darah. Tangan dan kaki diikat. Dicacimaki. Digunduli. Dan dikeluarkan dengan sangat tidak hormat. Ia juga ingat keluarganya. Nadia pasti sangat bahagia mendengarnya. Ibu dan ayahnya juga. Tidak tahu kedua kakaknya. Namun ia tidak akan menelpon mereka. Ia akan pulang jika telah sukses dan jadi orang. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa mandiri. Dan bisa berhasil. Namun tidak memungkiri ia sangat rindu pada adiknya itu. Sore itu juga ia memberi kabar singkat pada adiknya lewat telpon. Begitu adiknya mengangkat hp ia bertanya,
124

"Ini Nadia ya?" Adiknya itu menjawab "Ini siapa ya?" "Nadia ini aku. Syamsul kakakmu. Kakak memberi tahu bahwa kakak masih hidup. Kau belajar yang rajin ya. Agar h i d u p mulia dan bahagia. Itu saja ya. Wassalam." Langsung ia tutup. *** Jam lima sore usai mengajar Delia, Syamsul menyempatkan diri bertandang ke rumah Pak Heru. Ia ingin m e n g h o r m a t i t a w a r a n Pak Heru. Syamsul disambut ramah oleh anggota keluarga itu. Bu Heru menyampaikan banyak terima kasih. Dan banyak bertanya kepada Syamsul. Di antaranya mengenai asalusul Syamsul. "Saya dari Pekalongan Bu. Dari keluarga yang biasabiasa saja. Tidak ada yang istimewa dari saya dan keluarga saya. Saya termasuk orang yang terlambat kuliah. Baru tahun ini saya kuliah. Setelah lulus SMA saya masuk pesantren." Terang Syamsul. Ia tidak mau membuka lebih dari itu. Tidak juga bagaimana ia pernah difitnah Burhan. Juga tidak tentang dompet Silvie yang ia copet. Hanya dompet Silvie yang belum ia kembalikan. Ia berniat secepatnya mengembalikan. "Ini Ustadz sebagai tanda terima kasih. Saya ingin memberikan hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami ini di bidang travel. Kami punyanya tiket. Kami ingin memberikan hadiah tiket dan akomodasi umroh kepada Ustadz, Ramadhan ini."
125


Syamsul senang sekali mendengarnya. Tapi ia teringat dengan program Ramadhan untuk remaja masjid yang telah ia rancang bersama Pak Abbas. Ia tidak mau meninggalkannya. Dengan hati berat ia menjawab, "Bukannya saya menolak, Bu. Sungguh saya ingin umroh. Namun Ramadhan ini saya punya tanggung jawab penuh mengorganisir kegiatan remaja masjid di perumahan tempat saya tinggal. Jadi maaf saya tidak bisa." Bu Heru kelihatan agak kecewa. Namun segera tersenyum, "Sebenarnya kami ingin Ustadz berangkat bersama kami. Kalau memang begitu ya tidak apa-apa. Nanti kami ganti lain kali yang lebih baik, insya Allah." "Ibu tidak usah memaksakan diri. Sudah menjadi kewajiban kita saling menjaga. Sudah kewajiban saya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan semampu saya. Jadi ibu tidak usah repot-repot." Pembicaraan berlanjut hingga azan Maghrib berkumandang. Bakda Maghrib ia pulang. Dan ia kembali teringat adik dan ibunya di Pekalongan. Ia berdoa semoga mereka semua dalam keadaan baik. Ia berusaha memaafkan apa yang telah dilakukan keluarganya padanya. Termasuk kedua kakaknya yang memperlihatkan rasa tidak sukanya kepadanya. Ia berharap semuanya jadi baik dan bahagia. Ia yakin ibunya sekarang pasti ingin bertemu dengannya. Namun sekali lagi ia menegaskan dalam hati, ia belum ingin pulang. Karenanya, agar ibunya tenang ia akan kirim paket hadiah kejutan. ***
126 127

Empat

Keesokan harinya, ia ke Pasar Ciputat. Mencari dua jilbab model terbaru. Satu untuk ibunya dan yang satu untuk Nadia. Ia juga beli kertas kado. Ia bungkus dengan rapi. Di dalam bungkusan itu ia sertakan sepucuk surat yane isinya,


Ia merasa lega. Hutang-hutangnya terasa telah terlunasi. Ia merasa siap memasuki Bulan Suci Ramadhan dengan jiwa yang lebih mantap dan dada yang lapang. Besok adalah hari terakhir bulan Sya'ban. Lusanya sudah puasa. Selesai mengirim hadiah itu ia kuliah. Dan pulang ke kontrakan menjelang Ashar. Ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur tipis yang ia gelar di atas karpet. Ia pasang beker. Ia pejamkan mata sebentar. Beberapa detik sebelum azan ia bangun dan ke masjid. Setelah shalat ia langsung meluncur ke Flamboyan 17, mengajar ngaji Delia. Selesai member! privat, ia ingin langsung pulang. Tapi ia dicegat penjaga masjid di jalan. "Ustadz Syamsul maaf mengganggu. Saya mau minta tolong. Begini, nanti malam kan pengajian rutin. Kebetulan temanya menyambut Bulan Suci Ramadhan. Lha sayangnya Ustadz Farid yang menjadi pembicara tidak bisa hadir. Tolong Ustadz gantikan ya?" Jelas penjaga masjid perumahan mewah itu. "Aduh mendadak banget ya?" "Tolonglah Ustadz. Kasihan jamaah jika tak ada yang ngisi." Ia mengerutkan dahi. Ia sebenarnya sangat capek dan letih. Juga belum persiapan. Tapi ia teringat bahwa copet untuk berbuat jahat saja berani nekat, masak untuk berbuat baik tidak berani nekat. Akhirnya ia menjawab, "Baiklah saya coba." Ia tidak jadi pulang. Ia lebih baik langsung ke masjid saja. Sampai di masjid ia dibuatkan teh hangat oleh
128 129

Lalu ia paketkan kilat tercatat di kantor pos. la merasa bahagia bisa mengirim hadiah itu. Pada waktu yang sama ia juga mengirim paket untuk Silvie. Isinya adalah dompet Silvie, persis seperti saat ia copet dulu. Tak kurang malah ia tambahi lima puluh ribu. Ia juga tulis surat singkat,


penjaga masjid. Malam itu jadilah ia mengisi ceraman di masjid yang dihadiri oleh empat ratus orang jamaah. Di antara jamaah itu ada Pak Broto, Bu Broto, Pak Heru, Bu Heru, Silvie dan orang-orang penting penghuni perumahan mewah itu. Syamsul menjelaskan bagaimana Rasulullah menyambut Ramadhan dengan persiapan prima. "Kita semua juga harus menyambut Ramadhan dengan penuh rasa cinta, bahagia. Seperti rasanya seorang kekasih menyambut datangnya kekasihnya." Katanya memberi perumpamaan. Para jamaah p u a s . Di antara j a m a a h itu ada seorang Direktur Program Religius sebuah televisi swasta t e r k e m u k a Jakarta. Isi c e r a m a h y a n g ia s a m p a i k a n agaknya m e n g e t u k k a l b u n y a . Bapak Direktur itu mengajaknya berbincang-bincang setelah ceramah. "Gaya bahasa Ustadz enak. Diksinya enak. Timbrenya pas. Bumbunya pas. Isinya mengena. Joke-joke-nya berkualitas. Ustadz lulusan universitas mana?" tanya Bapak Direktur. "Saya masih kuliah Pak. Ini kan karena Ustadz Farid tidak datang, maka saya dipaksa menggantikan." "Tapi bagus kok." Direktur itu lalu menawarkan kepada Syamsul untuk jadi ustadz di acara ceramah pagi. "Saya lihat Ustadz cocok. Ya satu dua kali saja selama Bulan Suci Ramadhan. Gimana Ustadz?" "Saya kuatir kalau saya belum pantas Pak."
130

"Yang menilai kan orang lain Ustadz. Ceramah Ustadz bagus kok. Kita deal Ustadz ya. Jadwalnya besok sayaberitahu sekaligus temanya. Bagaimana Ustadz?" Ia kembali teringatbahwa copet untuk berbuat jahat saja berani nekat masak untuk berbuat baik tidak berani nekat. Akhirnya ia menjawab, "Baiklah saya coba." " Alhamdulillah." "Nama saya Doddy Alfad. Ini kartu nama saya." Syamsul menerima kartu nama itu. *** Sore hari berikutnya, Syamsul kembali ke Perumahan Villa Gracia. Untuk mengajar Delia dan untuk menemui Pak Doddy berkenaan dengan ceramah pagi di stasiun televisi swasta terkemuka. Seperti biasa Syamsul menunggu di masjid. Sebab janji dengan Pak Doddy adalah selepas shalat Isya. Ketika Syamsul sedang berbincang dengan penjaga masjid, Pak Heru datang. Wajahnya serius. "Ustadz, keluarga Burhan mau datang ke rumah setelah Maghrib. Apa Ustadz ikut menemui mereka?" Pak Heru memberitahu. Mau tidak mau hati Syamsul bergetar. Bagaimana tidak, ia diminta untuk menemui orang yang pernah memfitnahnya. "Tidak usah Pak. Ikut menemui dalam kapasitas saya sebagai apa? Kan tidak jelas. Bapak dan keluarga yang menemui kan sudah cukup." Jawab Syamsul berusaha tenang.
131


"Oh ya Ustadz benar. Ya sudah itu saja Ustadz yang ingin saya sampaikan." Pak Heru lalu kembali pulang. Syamsul berkata, "Lho Pak tidak shalat Maghrib berjamaah di masjid?" "Sebentar saya ganti baju dan ambil peci." Sahut Pak Heru sambil tersenyum. Syamsul memandang pemilik perusahaan travel itu dengan tersenyum pula. Syamsul kembali ke ruang takmir melanjutkan perbincangan dengan penjaga masjid. "Kenapa Pak Heru kok sekarang berubah sejak bertemu dengan Ustadz?" kata penjaga masjid. "Berubah bagaimana?" "Berubah lebih rendah hati. Lebih sering ke masjid. Dan sif at pelitnya sedikit berkurang." "Itu bukan karena bertemu dengan saya Pak. Tapi memang sudah saatnya berubah. Manusia kan berproses. Umar bin Khattab saja untuk jadi baik kan juga ada prosesnya." Penjaga masjid itu manggut-manggut. "Ustadz benar." Azan Maghrib dikumandangkan dan Syamsul kembali didaulat jadi imam. Ketika ia meluruskan barisan ia kaget. Sepintas ia melihat Burhan masuk masjid diikuti keluarganya. Ia tetap mengendalikan hati. Setelah istighfar tiga kali u n t u k menyucikan dan menyejukkan hati, barulah ia takbiratul ikhram.
132

Di rakaat pertama ia membaca Asy Syams dan di rakaat kedua membaca Az Zilzalah. Ia meneteskan a i r m a t a ketika m e m b a c a faman ya'mal mitsqala dzarratin khairan yarah wa man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah. Selesai shalat dan zikir, Syamsul memberikan kultum. Ia mengulas dua ayat terakhir surat Az Zilzalah yang baru saja ia baca. Burhan yang jadi makmum dan jadi pendengar nyaris tidak percaya dengan yang ia dengar. Dalam hati ia berkata, "Bagaimana mungkin si Syamsul yang telah hancur itu bisa jadi penceramah? Bagaimana ceritanya ia sampai di sini? Apakah dia sudah tahu perkembangan terbaru yang terjadi di pesantren?" Ada sedikit kekuatiran dan kecemasan yang menyusup dalam hatinya. "Kalau ia sudah tahu bisa bikin masalah." Tapi ia menghibur hatinya bahwa pasti Syamsul tidak tahu. Dan Syamsul tidak mungkin bertindak bodoh, sebab ia sedang jadi imam. Kalaupun Syamsul sudah tahu apa yang terjadi di pesantren, anggapannya, Syamsul pasti tidak tahu hubungan dirinya dengan Silvie. Putri Pak Heru yang kaya raya itu. Selesai kultum Syamsul langsung keluar masjid dengan tenang. Ia melangkah di samping Burhan. Ia pura-pura tidak tahu. Burhan berdiri mendekatinya dan berjalan di sampingnya, membisikkan sesuatu untuk memancing emosi Syamsul. Bisikan itu hanya Syamsul yang dengar, "Hai maling, gimana ceritanya kau bisa jadi imam di sini? Apa sah shalatnya makmum yang diimami seorang penjahat? Nanti kalau aku jadi orang sini
133


sebaiknya kauangkat kaki sebelum diusir dengan tidak terhormat kedua kali!?" Bergemuruh dada Syamsul mendengarnya. Amarahnya membara. Emosinya sudah di ubun-ubun kepala. la siap membalas dengan serangan yang lebih dahsyat. Belum sempat ia bicara Delia memanggilnya, "Ustadz Syamsul... Ustadz Syamsul?" Suara Delia itu m e l u r u h k a n amarahnya. Menyejukkan hatinya. "Ada apa Delia?" Jawab Syamsul langsung menengok ke arah Delia yang berjalan cepat ke arahnya. Ia tidak memperhatikan Syamsul. Burhan yang masih di samping Syamsul, ikut memandang Delia. "Mau minta tanda tangan. Ini tugas dari Bu Guru agama." "Oyasini." Syamsul menerima buku tugas dan pena dari Delia dan menandatanganinya. "Sudah?" tanya Syamsul. "Masih ada satu lagi." Kata Delia. Burhan masih belum beranjak. Masih memperhatikan. "Apa?" tanya Syamsul. "Ada pesan dari Mbak Silvie?" Syamsul langsung merasa mendapat senjata unruk menjawab bisikan Burhan yang sungguh menghina. Untuk lebih menyerang Burhan yang ada di sampingnya Syamsul pura-pura tanya pada Delia, "Silvie yang mana?"
134

"Itu lho Ustadz, Mbak Silvie putrinya Pak Heru. Yang biasa kasih privat matematika." Lalu sambil berjongkok, seolah ingin memperhatikan pesan dengan serius Syamsul melirihkan suara, dengan bertanya, "Mbak Silvie yang cantik itu?" Delia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Burhan yang mendengar hal itu hatinya terbakar luar biasa. "Pesannya apa?" tanya Syamsul sambil mendekatkan ke telinganya. Burhan didera rasa penasaran yang luar biasa. Delia mendekatkan mulutnya dan membisikkan beberapa kata ke telinga Syamsul. Seketika Syamsul berkata, "Yang benar?" "Benar. Delia berani sumpah mati!" "Ya ya Ustadz percaya. Sampaikan pada Mbak Silvie: Ustadz juga sama gitu ya?" "Baik Ustadz. Cihui... Ustadz juga sama... Ustadz juga sama!" Delia berlari ke arah jamaah putri. Burhan tidak bisa menyembunyikan cemburunya. la langsung bertanya pada Syamsul, "Kau kenal Silvie?" "Maaf itu bukan urusanmu Sobat. Maaf saya tergesagesa. Saya harus ngisi di tempat lain." Syamsul langsung berjalan cepat ke arah sepeda motornya. la pura-pura sibuk. la nyalakan sepeda motornya. Sampai di jalan ia teringat janji dengan Pak Doddy setelah Isya. Ia berpikir langsung saja ke rumah Pak Doddy. Sementara Burhan masih dibakar amarah
135


dan cemburu. la ingin cepat-cepat sampai ke rumah Pak Heru. Dan melampiaskan marahnya pada Silvie. la ingin menanyakan apa yang disampaikan pada Syamsul itu. "Awas kau Silvie!" *** Burhan dan keluarganya sampai di rumah Silvie. Rombongan dua mobil dari Pasar Rebo itu disambut dengan ramah oleh Pak Heru, Bu Heru, Silvie, Pak Broto dan Mas Budi, satpam penjaga pintu gerbang perumahan yang sedang tidak tugas. Mas Budi memakai baju takwa, sebab bakda shalat Maghrib langsung digandeng Pak Heru. Silvie bersikap tenang dengan jilbab merah jambunya. Dalam balutan jilbab mahasiswi ekonomi UI tampak begitu anggun. Ibunda Burhan memuji kecantikan Silvie. Dan Silvie hanya tersenyum saja. Dialog dua keluarga terjadi. Di tengah dialog, Burhan minta waktu pada Silvie untuk bicara berdua. Burhan ingin melampiaskan kemarahannya. Tapi dengan halus Silvie menolak. Burhan tampak kecewa. Pembicaraan terus berlanjut, "Sebagaimana Pak Heru ketahui, Burhan dan Silvie sudah lama saling mengenal. Burhan juga, katanya, telah memberikan cincin pengikat kepada Silvie. Kedatangan keluarga kami ini ingin menguatkan ikatan itu secara resmi. Dalam bahasa t r a n s p a r a n n y a kami ingin meminang Silvie untuk Burhan." Jelas Ayah Burhan dengan sangat tenang dan penuh keyakinan. "Inilah yang kami tunggu-tunggu." Jawab Pak Heru tenang. Burhan mendengar hal itu dengan kebahagiaan yang sulit digambarkan.
136

Namun Pak Heru melanjutkan, "Sebenarnya saya dan keluarga ingin ke rumah Pak Anwar. Hanya saja ternyata kami didahului. Keluarga Pak Anwar lebih dulu datang. Kami senang dengan kedatangan ini. Karena Pak Anwar memakai bahasa transparan. Maka saya juga akan menjawab dengan bahasa transparan. Dengan segala kerendahan hati saya selaku ayah Silvie menyampaikan. Saya tidak bisa menerima lamaran Pak Anwar untuk Burhan. Karena satu dan lain hal yang semoga kita sama-sama bisa memakluminya. Mohon maaf jika keputusan ini kurang berkenan." Burhan dan keluarganya tersentak kaget bukan kepalang. "Apa saya tidak salah dengar Pak?!" seru Burhan spontan sambil berdiri. Karena yang berbicara Burhan, Silvie langsung menukas, "Tidak!" "Apa?!" Burhan mengulang dengan sedikit lebih keras. "Apa telingamu bermasalah, Bung. Ayahku cukup berbicara satu kali. Tak perlu diulang. Ini cincin dustamu itu saya kembalikan! Dasar santri bajingan!" Darah muda Silvie bergolak. la yang biasanya berbicara lembut saat itu amarahnya meledak. Pak Anwar yang sebenarnya marah mencoba meredakan suasana yang sama sekali jauh dari yang ia bayangkan itu. "Sebentar-sebentar, masalah sebenarnya apa? Kenapa Pak Heru menolak. Tolong bisa dijelaskan. Mari kita berdialog dengan kepala dingin. Mungkin ada salah paham."
137


"Saya ingin Pak Anwar menerima dan menghargai keputusan kami. Meskipun tanpa alasan sama sekali. Toh sebenarnya antara Silvie dan Burhan tak ada ikatan apaapa secara agama. Saya tidak perlu menjelaskan. Kiranya Pak Anwar pasti sudah mengerti alasan kami. Kalau kami menjelaskan nanti malah semakin tidak enak." Jawab Pak Heru tenang. "Tidak bisa Pak! Tidak bisa menolak tanpa alasan. Tolong jelaskan! Atau jangan-jangan saya tidak diterima karena Silvie sudah tidak layak bagi saya!" tukas Burhan. "Burhan, kalau bicara yang sopan! Silvie sudah tidak layak bagaimana? Apa maksudmu?" seru Pak Anwar, ayah Burhan. "Ya sekarang kan zaman edan. Bisa saja tho Silvie sudah hamil dengan pria lain misalnya?" Jawaban Burhan itu membuat emosi Silvie tak tertahankan, "Tutup mulutmu, Bajingan! Aku sudah tahu siapa kamu? Kau tak lebih dari sampah busuk! Dikeluarkan dari pesantren karena mencuri dan memfitnah orang! Dipenjara karena melukai orang. Penipu ulung, mana modal empat puluh juta yang kaupinjam untuk toko bukumu itu. Toko buku fiktif. Terus bagaimana dengan Dalmayanti? Setelah kau ditolak di Tulungagung kau lari ke sini. Jika sampah itu telah dibuang dari pesantren dan tidak diterima di mana-mana apa kami harus menerima. Bukankah lebih baik sampah itu didaurulang dulu agar berguna. Kalian ini ingin dihormati tapi tidak bisa menghormati. Dan kau Pak Anwar, sudah tahu anaknya sampah masih juga tidak tahu diri! Mungkin
138

kalian tidak percaya yang saya sampaikan! Masih ingin bukti? Ini!" Silvie melempar Koran. Koran itu mcnggeletak di meja. Ada sebuah judul yang tertera jeas: DIPENJARA KARENA KEJAHATAN DI PESANTREN. Dan terpampang jelas foto Burhan yang gundul. Melihat hal itu Pak Anwar dan isterinya langsung pucat pasi. Mereka sangat malu. "Hei, Maling, apa kaukira bisa menipu kami bahwa gundulmu itu karena umroh, bukan karena digunduli di pesantren!" Kata-kata Silvie sangat mengguncang Burhan. la tidak kuasa menahan amarahnya. "Kurang ajar kau! Berani menghina aku ya!" Dan., plak! Dengan cepat Burhan menempeleng Silvie. Kejadian itu sungguh tidak diduga. Burhan kembali Ingin menghajar Silvie. Namun Mas Budi cepat bertindak. la segera mengatasi Burhan. Burhan melawan, tapi Mas Budi yang jago karate itu dengan mudah melumpuhkannya. Mulut Silvie berdarah. Sambil meringis ia berkata, "Saya tidak terima. Ini harus diproses hukum!" Pak Anwar, dengan berlinang airmata berkata terbata, "Nak Silvie, Pak Heru dan Bu Heru maafkan kami. Sungguh kami sangat terpukul.Baru kali ini kami tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan anak kami. Selama ini kami percaya penuh padanya. Kami memang kurang kontrol dan terlalu memanjakannya. Saya tidak
139


tahu dengan apa yang telah diperbuatnya sampai dia dikeluarkan dari pesantren dan dipenjara. Saya juga tidak tahu perihal penipuannya. Maafkan kami. Tapi tolong jangan laporkan Burhan ke polisi. Saya minta..." Silvie menggeleng. "Tindak kejahatan harus diproses oleh hukum!" Silvie lalu minta Mas Budi mengamankan Burhan. Burhan langsung digelandang ke pos satpam. Di pos satpam, Burhan diberi pelajaran tambahan oleh dua orang satpam. Keluarga Burhan pulang dengan membawa malu luar biasa. Seorang lelaki berjas abu-abu berkata pada Pak Anwar dengan kesal bercampur marah, "Saya sangat malu pada Pak Heru. Pak Heru itu teman baik saya di SMA. Saya jadi tahu kenapa tadi Pak Heru pura-pura tidak kenal saya. Itu gara-gara ternyata saya mengantar seorang penjahat ke rumahnya. Mengantar seorang penjahat untuk melamar anaknya. Saya malu Pak Anwar! Sejak sekarang h u b u n g a n bisnis kita putus!" Ketika polisi datang mengambil Burhan dari pos satpam, di saat yang sama Syamsul mengambil jadwalnya dari Pak Doddy dan ia meneken kontrak tayang di televis. Tanda tangannya bersanding dengan tanda tangan orang penting di stasiun televisi itu. Angin yang bertiup spoi-spoi seolah mengalunkan firman Allah, faman ya'mal mitsqala dzarratin khairan yarah zva man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah.

Ramadhan tiba. Kaum Muslimin menyambutnya dengan penuh bahagia. Syamsul sibuk dengan jadwalnya: mendampingi kegiatan remaja masjid, imam tarawih, privat, kuliah, ceramah, dan shooting ceramah di televisi. Ia muncul di televisi dua kali selama Ramadhan. Tanggal 9 Ramadhan dan tanggal 27 Ramadhan. Ia mempersiapkan ceramahnya dengan sungguh-sungguh. Ia ajak remaja masjid untuk menyertainya latihan. Seolah-olah di studio. Mereka sebagai audiens nya. Ia minta masukan dan kritikan. Sampai menemukan bentuk dan performa terbaik. Tanggal 8 Ramadhan ia menelpon Nadia adiknya. Ia meminta untuk nonton ceramah pagidi stasiun televisi Ajam D. "Jangan sampai tidak nonton. Kakak ikut dalam pengajian itu. Ia tidak mengatakan sebagai pembicaranya. Beritahu ayah, ibu dan kakak ya." Ia juga menelpon pesantrennya. Kepada kurah Pesantren ia bilang, "Kang tolong besok seluruh santri nonton ceramah pagi distasiun televisi A jam D. Pengisinya seorang Ustadz muda alumnus pesantren kita. Jangan lupa sampaikan pada Pak Kiai." Ia tidak bilang itu dirinya. la masih mengaku sebagai Adi. Seperti di telpon sebelumnya. Pada hari H, ia tampil dengan sangat prima di televisi. Ceramahnya hidup. Direktur Program dan para kru televisi memuji. Di Pekalongan, adiknya Nadia, ibunya, ayahnya dan kedua kakaknya menangis. Demikian juga di pesantrennya.
141

140


Di Flamboyan 19 Silvie menyaksikan dengan hati penuh cinta. Tanpa sadar, ia berucap, "Orang seperti ini yang kudamba. Sederhana. Rendah hati. Namun penuh potensi!" Kata-kata Silvie itu didengar dengan baik oleh Pak Heru dan Bu Heru. "Baiklah kita datangi Ustadz Syamsul nanti sore sebelum kita terlambat. Semoga dia belum punya calon." Kata Pak Heru menukas. Silvie terkesiap mendengarnya. Lalu hatinya berbuhga-bunga. Ia mengamini doa ayahnya. Dalam hati ia b e r h a r a p di Bulan Suci R a m a d h a n ini ia mendapatkan cinta sejatinya. Sejenak pikirannya berkelebat, teringat pada pesan sebuah buku yang pernah dibacanya, "Cinta adalah sesuatu yang menakjubkan. Kamu tidak perlu mengambilnya dari seseorang untuk memberikannya kepada orang lain. Kamu selalu memilikinya lebih dari cukup untuk diberikan kepada orang lain." Silvie teringat pesan itu. Ia ingin memberikan cintanya kepada Ustadz Syamsul. Karena ia yakin, ia benar-benar memiliki cinta untuk diberikan kepada Ustadz Syamsul, ustadz idaman yang kini memenuhi ruang hatinya. *** Sidang pembaca yang dirahmati oleh Allah Swt. Bagaimanakah kisah cinta Silvie dan Syamsul selanjutnya? Akankah Syamsul menerima lamaran si Silvie? Bagaimanakah kehidupan Syamsul selanjutnya? Akankah ia makin sukses di kehidupannya mendatang? Dan Bagaimanakah kelanjutan cerita Syamsul seleng142

kapnya? Bagaimana sikap keluarga dan pesantrennya yang dulu mengusirnya? Temukan saja jawabannya di edisi romannya: DALAM MIHRAB CINTA, yang semoga bisa segera diluncurkan. M u d a h - m u d a h a n Allah memberikan kekuatan kepada kita semua untuk beramal kebaikan di dunia ini untuk bekal kelak di akhirat nanti: faman ya'mal mitsqala dzarratin khairaii yarah wa man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah. ***
Candiwesi, Salatiga-Pesantren Basmala, Semarang-Malaya University, Malaysia, 17 Agustus 2006 - 27 Desember 2006.

143


Mahkota Cinta
(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)
eBook by MR.

145


Satu

Mata pemuda itu memandang ke luar jendela. Lautan terhampar di depan mata. Ombak seolah menari-nari riang. Sinar matahari memantul-mantul keperakan. Dari karcis yang ia pegang, ia tahu bahwa feri yang ia tumpangi bernama Lintas Samudera. Tujuan feri yang bertolak dari pelabuhan Batam itu adalah pelabuhan Johor Bahru. Ia memejamkan mata seraya meneguhkan hatinya. Ia meyakinkan dirinya harus kuat. Ya, sebagai lelaki ia harus kuat. Meskipun ia merasa kini tidak memiliki siapa147


siapa lagi. Bagi seorang lelaki cukuplah keteguhan hati menjadi teman dan penenteram jiwa. la kembali menegaskan niat, bahwa ia sedang melakukan pengembaraan untuk mengubah takdir. Mengubah nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani berhijrah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang lebih baik. Feri Lintas Samudera terus melaju ke depan. Singapura semakin dekat di depan, dan Batam semakin jauh di belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak menuju Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru, Malaysia. "Baru pertama ke Malaysia ya Dik?" tanya perempuan muda yang duduk di sampingnya. Perempuan itu memakai celana jin putih dan jaket ketat biru muda. R a m b u t n y a diikat kucir k u d a . Ia menaksir usia perempuan itu sekitar tiga puluhan lebih. "Iya Mbak. Mbak juga yang pertama?" jawabnya balik bertanya. "Tidak. Saya sudah empat tahun di Malaysia." "Berarti sejak tahun 2000 ya Mbak." "Tidak. Sejak awal 2001." "Kerja ya Mbak?" "Iya Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?" Ia berpikir sejenak. Ia tidak tahu pasti. Ke Malaysia mau bekerja atau mau sekolah. Sesungguhnya selama ini ia merantau dari satu daerah ke daerah lain, selain untuk bertahan hidup juga demi mencari takdir yang lebih baik. "Kok malah bengong Dik."
148

"E... tidak, saya ke Malaysia mungkin untuk duaduanya. Ya untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi." "Baguslah. Sudah ada pandangan mau kerja di mana? Atau sudah ada agen yang mengurus semuanya." "Belum sih Mbak. Nanti saya cari di sana saja. Mbak kerja di mana?" "Saya kerja di sebuah kilang di kawasan Subang Jaya. Kalau adik mau, saya bisa bantu. Saya punya banyak teman yang bisa membantu. O ya kenalkan, nama saya Siti Martini. Biasa dipanggil Mar atau Mari." Perempuan muda itu mengulurkan tangan kanannya. Pemuda itu juga mengulurkan tangannya dan menjabat tangan perempuan muda itu. "Terima kasih. Nama saya Ahmad Zul. Oleh temanteman saya selama ini saya biasa dipanggil Zul Einstein." "Wah keren sekali. Memang namanya Zul Einstein?" "Ya tidak Mbak. Saya diberi nama tambahan Einstein oleh teman-teman saya karena mereka melihat saya banyak melamun. Ya saya terima saja. Kalau tidak terima ya tetap akan dipanggil begitu. Jadi, panggil saja saya Zul Mbak." "Ya baik. Saya panggil Dik Zul. Gitu ya," kata p e r e m p u a n m u d a itu sambil melepaskan jabatan tangannya. "Jadi Mbak kerja di kilang minyak ya Mbak?" Perempuan muda itu malah tertawa kecil. "Kamu memang masih asli Indonesia. Kilang itu artinya pabrik. Di Indonesia disebut pabrik. Sedangkan di Malaysia disebut kilang. Jadi bukan bermakna kilang
149


minyak. Saya kerja di kilang kertas di kawasan Subang Jaya. Itu maknanya saya kerja di pabrik kertas." "Obegituya." "Rencananya nanti mau ke mana? Di Malaysia sudah ada tempat yang dituju?" "Tempat yang dituju secara pasti tidak ada. Saya hanya membawa sebuah nama dan sebuah nomor telpon. Saya ingin sampai ke Kuala Lumpur dulu, baru setelah itu saya akan telpon orang itu." "Ya syukurlah. Saya pun nanti lewat Kuala Lumpur. Kalau mau kita bisa jalan bersama." la diam saja. Tidak menjawab apa-apa. Lintas Samudera terus melaju. Tidak terlalu cepat. Dan juga tidak terlalu lambat. Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, Lintas Samudera merapat di pelabuhan Johor Bahru. Begitu pintu feri dibuka, para penumpang berebutan keluar. Zul keluar dengan membawa tas cangklong hi tarn dan tas jinjing besar biru tua. la mengiringi Mari yang berjalan di depannya. Perempuan itu menenteng tas cangklong putih dan koper kecil beroda warna hijau. Mereka berjalan menuju g e d u n g p e l a b u h a n . Petugas security pelabuhan sibuk memeriksa barang b a w a a n p a r a p e n u m p a n g . Tas d a n k o p e r Mari diperiksa. Setelah beberapa saat lamanya, Mari dipersilakan langsung menuju imigrasi. Tas jinjing Zul juga diperiksa. Isinya hanyalah pakaian, beberapa makanan ringan, dan sebuah mushaf Al-Quran kecil pemberian Pak Hasan kala ia berpamitan, sebelum
150

berangkat. Petugas security itu memerintahkannya untuk terus jalan. Zul bergegas menuju imigrasi. Mari sedang serius mengisi formulir kedatangan untuk imigrasi. "Harus diisi semua ya Mbak?" tanya Zul. "Ya. Kecuali kolom yang khusus diisi petugas imigrasi," jawab Mari sambil tetap menulis. Sesekali ia mencocokkan apa yang ia tulis dengan paspornya. "Ini kolom alamat selama di Malaysia juga harus diisi Mbak." "Sebaiknya iya." "Wah saya belum punya alamat Mbak." "Pakai alamat saya juga tidak apa-apa." "Di mana Mbak?" "No. 8A, Jalan USJ 1/18, Taman Subang Permai, Subang Jaya. Nanti kalau pihak imigrasi tanya untuk apa datang ke Malaysia, bilang saja untuk melancong dan mengunjungi saudara." "Iya Mbak." Keduanya lalu masuk konter imigrasi. Tak ada masalah berarti. Petugas imigrasi sama sekali tidak bertanya apapun kepada Mari. Sebab ia masih punya visa multientry. Sedangkan Zul hanya ditanya untuk apa datang ke Malaysia. Zul menjawab seperti yang disarankan oleh Mari. Begitu keluar dari gedung, puluhan sopir taksi menawarkan jasanya. Mari menjawab tegas bahwa ia sudah ada yang menjemput. Zul agak bingung menentukan langkah. Beberapa sopir taksi menghampirinya. Ia masih ragu harus ke mana. Ia menatap ke
151


arah Mari yang melangkah dengan mantap. Mari menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan agar ikut dengannya. Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke Kuala Lumpur bersama Mari. Apalagi ia benar-benar asing di negeri Jiran ini. "Kita tunggu bus di sini. Kita akan menuju ke Stesyen Larkin. Dari Larkin kita naik bus ke Purduraya KL." Jelas Mari. Sepuluh menit kemudian bus datang. Mari, Zul dan puluhan penumpang berebutan naik. Bus itu mengantar mereka ke Stesyen Larkin. Dari Larkin Mari mengajak Zul ke loketbus Trans Nasional. "Biar saya yang bayar Dik." "Jangan begitu Mbak, saya jadi tidak enak." "Anggap saja kita bersaudara. Jadi santai saja." "Satu orangnya berapa Mbak?" "Dua puluh empat ringgit. Kita pakai bus yang ada toiletnya. Biar nyaman di perjalanan. Yuk kita segera naik. Sepuluh menit lagi bus akan berangkat." Mereka berdua naik bus Trans Nasional. Zul dan Mari duduk di kursi yang berdekatan. Selain wajah Indonesia, tampaklah wajah-wajah China, India dan Melayu menjadi penumpang bus cepat itu. Sopirnya berwajah Indonesia, dan tampaknya ia seorang Muslim, sebab sebelum menjalankan bus ia membaca basmalah. Bus berjalan keluar stesyen. Lalu melaju membelah kota Johor Bahru dengan kecepatan sedang. Setengah jam kemudian bus itu sudah meninggalkan Johor Bahru, dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Bus
152

itu membelah perkebunan kelapa sawit. Zul memandang ke kanan dan ke kiri yang tampak hanyalah rimbunan pohon kelapa sawit yang bagai berlarian ke belakang. "Dari logat adik bicara, sepertinya adik orang Jawa." Mari membuka pembicaraan sambil menaikkan resleting jaketnya sehingga benar-benar rapat sampai ke leher. Ia tampaknya agak kedinginan. "Iya Mbak benar. Saya asli Demak Mbak. Kalau Mbak?" "Saya juga Jawa Dik. Saya asli Sragen." "Maaf, e... Mbak sudah berumah tangga?" "Sudah." "Sudah punya anak dong Mbak?" "Belum. Bagaimana mau punya anak lha wong rumah tangga saya hanya berumur dua minggu." "Cuma dua minggu?" "Iya bisa dikatakan demikian." "Suami Mbak meninggal?" "Tidak. Saya minta cerai. Sejak itu saya trauma dan rasanya susah sekali untuk membina rumah tangga lagi." "Maafkan saya Mbak, jadi mengingatkan pada halhal yang tidak Mbak sukai." "Ah tidak apa-apa. Walau bagaimanapun kejadian itu telah menjadi bagian dalam sejarah hidup saya. Memang menyakitkan jika diingat." Kata Mari sambil mengambil nafas dalam-dalam. Seperti ada yang menyesak dalam dadanya.
153


Zul diam saja. la merasa tidak saatnya ia bicara. la kuatir jika salah bicara justru akan memperburuk suasana. "Mungkin ada baiknya juga ya saya cerita. Ya untuk sekadar melepas beban yang menyesak di dada. Dan daripada selama perjalan diam saja/' Mari kembali membuka percakapan. "Tidak apa-apa kan? Kau mau mendengarkan kan Dik?" lanjutnya sambil memandangi Zul. Zul jadi menoleh. Pandangan mereka bertemu. Zul mengangguk pelan, lalu kembali memandang lurus ke depan. Mari mulai bercerita, "Saat itu saya masih kuliah di UNS Solo. Saya berkenalan dengan orang yang kemudian jadi suami saya itu, ya saat kuliah itu. Sebut saja namanya W. Saya tidak mau mengingat nama lengkapnya. Saya sudah mengharamkan diri saya untuk menyebut namanya. Saya sangat membencinya hingga tujuh turunan. "Baik saya lanjutkan ceritanya. Saat itu saya adalah gadis yang masih lugu. Sekaligus gadis desa yang mudah terpikat dengan gemerlap duniawi. Agaknya W mengerti benar karakter diri saya. Sehingga dia bisa begitu mudah masuk dalam kehidupan saya. Ia begitu lihai memikat dan menawan hati saya. Jika ke kampus dia selalu memakai mobil mengkilat. Orangtua W adalah saudagar kaya di Klewer dan Tanah Abang Jakarta. Dia sering datang ke kost saya. Dan sering menyenangkan hati saya dengan limpahan hadiahnya. "Sampai akhirnya W mengatakan bahwa dia sangat mencintai saya. Dia ingin sekali menikahi saya. Saya seperti terbang di angkasa saat itu, karena sangat gembira. Saya benar-benar sudah tergila-gila padanya.
154

Ibu saya sebenarnya tidak setuju saya kawin dengan W, karena ibu saya ingin saya menikah dengan putra Pak Modin yang sedang kuliah di IAIN Walisongo Semarang. Saya sama sekali tidak mempedulikan keberatan ibu saya itu. Itulah mungkin dosa besar saya pada ibu yang membuat saya menderita dan menanggung nestapa. "Ringkas cerita, kami pun menikah. Kami menikah tahun 1998. Ia langsung memboyong saya ke Solo Baru. Ternyata ia sudah punya rumah cukup mewah di sana. Itu adalah hari yang sangat indah bagi saya. Seminggu setelah menikah, W pamit untuk pergi ke Jakarta. Dia bilang untuk urusan bisnis dengan temannya. Beberapa hari setelah itu kiamat seolah datang. Langit seperti runtuh menimpaku. W tertangkap polisi dalam keadaan over dosis dengan seorang pelacur Jakarta. Ia masuk bui. Keluarganya tidak peduli. "Kakak perempuannya bahkan terang-terangan mengatakan sangat membenci W. Dari kakak perempuannya itulah saya tahu bahwa W sesungguhnya lelaki yang sangat bejat. Bahkan lebih bejat daripada makhluk paling bejat sedunia sekalipun. Saya nyaris muntah ketika kakak perempuannya itu bercerita bahwa dirinya pernah diperkosa oleh W saat W sedang sakau. Ia tidak berdaya karena W mengancam akan membunuhnya. W itu tega memperkosa kakak kandungnya sendiri, apa tidak menjijikkan? Apa tidak melampaui batas? Seketika itu, tanpa bisa ditawar lagi saya langsung mengajukan gugatan cerai. Dan sejak itu saya benarbenar jijik dengan kaum lelaki dan saya bersumpah tidak akan menikah lagi!"
155


Ada nada amarah dalam kata-kata Mari. Ada kebencian yang luar biasa di sana. Zul merasa ngeri mendengarnya. Ia merasa bingung harus bersikap bagaimana. Bus terus melaju dengan kecepatan di atas seratus kilometer per jam. Mari diam tidak melanjutkan ceritanya. Pandangannya lurus ke depart. Jika diamati lebih seksama kedua mata itu sesungguhnya berkacakaca. Sesaat lamanya keduanya dijaga oleh diam. Akhirnya Zul memberanikan untuk membuka suara, 'Apa Mbak sampai sekarang masih jijik dengan kaum lelaki. Termasuk saya?" Mari mengambil nafas dalam-dalam, "Saat ini tidak lagi. Saya berusaha bersikap adil. Saya tidak boleh menimpakan dosa seorang W pada semua kaum lelaki. Tapi jujur saya perlu proses yang sangat panjang untuk bisa bersikap adil dan tidak jijik pada kaum lelaki. Dan disebabkan rasa jijik dan trauma pada lelaki saya pernah punya keinginan untuk h i d u p berumah tangga dengan kaum perempuan saja." "Sampai seperti itu Mbak." "Iya. Gila bukan? Tapi jangan takut. Saya katakan, saya pernah punya keinginan. Hanya p a d a taraf keinginan. Dan itu pun dulu. Sekarang sudah tidak lagi." "Sejak kapan Mbak bisa kembali normal memandang dunia. Maaf, untuk mudahnya saya katakan kembali normal memandang dunia, termasuk kaum lelakinya. Sebab menurut saya sikap jijik dan trauma pada lelaki itu sikap tidak normal."
156

"Prosesnya sangat panjang. Sampai saya bertemu dengan seorang Ustadzah. Dia lulusan pesantren. Dia ikut suaminya yang sedang mengambil program doktor. Ustadzah itu begitu sabar menyempatkan waktu untuk memberikan pencerahan kepada kami, para tenaga kerja wanita. Dan ia begitu sabar mendengarkan semua keluhan saya. Saya pernah diajak oleh Ustadzah itu tidur di rumahnya. Untuk melihat bagaimana keadaan rumah tangganya. Dan saya melihat sendiri betapa besar kasih sayang suami Ustadzah itu kepada keempat anaknya yang semuanya perempuan. Sejak itulah saya tahu bahwa ada juga lelaki baik di dunia ini." "Bukankah Mbak memiliki seorang ayah?" "Ya tentu saja punya. Namun ayah saya sudah tidak ada sejak saya berusia dua tahun. Jadi saya tidak ingat apa-apa tentang ayah. Dan ibu tidak menikah lagi. Kakak tertua saya lelaki. Tapi ia tidak begitu peduli pada saya." Bus terus melaju. Sejauh mata memandang adalah rerimbunan kebun kelapa sawit yang tampak hijau tua. "Bagaimana ceritanya Mbak bisa s a m p a i ke Malaysia. Dan apa sebenarnya yang Mbak cari?" "Kalau diceritakan semuanya panjang. Singkat saja ya. Setelah suami dipenjara dan saya tahu siapa dia sebenarnya, saya mengajukan gugatan cerai. Rumah di Solo Baru disita polisi karena ternyata suami punya piutang di beberapa bank yang cukup besar jumlahnya. Saya tidak punya apa-apa. Ibu sudah renta. Saya anak ragil. Saudara-saudara saya sudah berkeluarga. Mereka juga hidup susah. Saya tidak berani meminta bantuan mereka.
157


"Saya nekat merantau ke Jakarta untuk mencari kerja. Kebetulan ada teman yang mengajak. Alhamdulillah sebelum menikah saya sudah selasai D.3 Akuntansi. Dan dengan berbekal ijazah D.3, saya diterima bekerja di sebuah supermarket di Jakarta Selatan. Saya sudah cukup nyaman saat itu. Saya hidup damai kurang lebih dua tahun. Saya bahkan sempat nyambung kuliah, dan menyelesaikan S.l di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Jakarta. Tapi tiba-tiba entah bagaimana, mantan suami saya itu bisa tahu nomor telpon saya dan menelpon saya. Dia sudah keluar dari penjara dan meminta saya agar kembali kepadanya. Saya takut. Saya langsung pergi meninggalkan Jakarta hari itu juga. Saya bersembunyi ke Bandung. Di Bandung ada agen pengiriman tenaga kerja ke Malaysia. Saya ikut agen. Akhirnya saya mengadu nasib dan terbang ke Malaysia. Sampai sekarang saudara-saudara saya tidak saya beritahu kalau saya di Malaysia. Terakhir saya nelpon mereka saat saya masih di Bandung. Saya kuatir mantan suami saya itu akan mengejar saya." "Kenapa mesti takut Mbak. Bukankah Mbak adalah perempuan yang merdeka. Dan Mbak akan dilindungi oleh hukum?" 'Ah kamu ini Dik. Apa selama ini kamu hanya hidup di dalam kamar dan tidur, sehingga membuka jendela pun tidak!? Dunia mantan suami saya adalah dunia mafia. Dan dunia mafia tidak mengenal hukum. Lebih baik saya di Malaysia dulu, baru kalau saya sudah mendengar si W itu telah mampus, saya akan balik ke
158

Indonesia. Walau bagaimanapun saya punya saudara dan saya sangat rindu pada mereka. Saya pun ingin hidup berkeluarga dan tenang di hari tua. Saya tidak akan menyerah. Saya akan terus berusaha dan bertahan sampai Tuhan memutuskan takdir finalnya untuk saya. Semenderita dan sesengsaranya saya, saya masih percaya bahwa Tuhan itu ada. Tuhan itu adil dan Dia juga Maha Penyayang. Saya masih percaya itu Dik." Zul hanya diam mendengarnya. Ternyata tidak hanya dia yang menghadapi perjalanan hidup yang rumit dan sulit. Perempuan muda yang duduk di sampingnya bisa jadi sebenarnya menjalani hidup yang lebih rumit yang tidak sampai untuk dikisahkan kepada siapa pun. "Kalau adik, bagaimana? Bagaimana bisa sampai harus ke negeri Jiran ini? Adakah cerita yang bisa dibagi dan didengar?" Mari balik bertanya. la merasa selama ini dia yang banyak bercerita. la ingin gantian mendengarkan cerita dari Zul. "Perjalanan saya bisa sampai di dalam bus ini tak kalah berlikunya dari apa yang Mbak ceritakan. Hanya saja saya merasa tidak harus sekarang saya menceritakannya. Saya janji saya akan gantian membagi cerita saya pada Mbak. Saya yakin kita masih bisa bertemu di negeri Jiran ini. Itu p u n kalau Mbak benarbenar masih sudi menemui saya." "Masak tidak sudi. Memang saya ini siapa?" "Kuatir, Mbak masih menyisakan rasa jijik itu." "Ah, kamu ini. Ya saya akan merasa jijik sama kamu jika kelakuan kamu ternyata tidak berbeda dengan si W, mantan suami saya itu."
159


"Mbak kok seolah yakin benar kalau kelakuan saya berbeda dengan mantan suami Mbak. Kenapa Mbak tidak waspada? Kenapa Mbak justru malah mengajak saya jalan bersama?" Mari tersenyum, lalu menjawab, "Dengar ya Dik. Orang yang sudah pernah terluka seperti saya ini bisa membaca bahasa tubuh orang brengsek seperti mantan suami saya dan yang sejenisnya. Dari cara lelaki memandang dan menatap saja saya sudah tahu dia itu sebenarnya serigala atau tidak. Saya tahu mana mata yang jelalatan dan yang tidak jelalatan. Saya bisa meraba watak seseorang dari gerak dan binar matanya. Tidak hanya mata kaum lelaki. Bahkan mata kaum perempuan pun saya bisa membedakan mana mata pelacur dan bukan pelacur. Mana mata perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik!" "Jadi Mbak yakin saya ini orang baik?" sahutnya sambil melihat ke luar jendela. "Sejauh ini saya yakin. Tidak tahu satu dua jam ke depan. Bisa jadi kepercayaan saya padamu berubah." Jawab Mari tegas. Zul merasakan ketegasan itu. Kalimat dan intonasi perempuan itu seolah juga memberitahukan kepadanya agar ia jangan mencoba bersikap meremehkannya. Dari ketegasan itu, Zul mengerti bahwa perempuan muda di sampingnya adalah perempuan yang memiliki karakter kuat. Dan tidak mau diremehkan. Entah kenapa ia ingin memandang perempuan di sampingnya itu dengan lebih dalam. Keinginan itu tidak dapat dilawannya. Ia p u n memalingkan wajahnya
160

perlahan dan memandang ke arah wajah Mari. Mari ternyata sedang memandang ke arahnya. Mata keduanya bertemu sesaat. Ada getaran halus masuk ke dalam hati Zul. Wajah Mari tampak kurus, tapi ada aura ketulusan yang memancar darinya. Dan ada pesona yang mampu membuat hati Zul merasakan getaran halus yang masuk begitu saja. "Apakah ada kilatan binar serigala dalam mataku Mbak?" Mari tersenyum, dan menjawab, "Jujur saja Dik ya hampir di semua mata lelaki ada binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan untuk menjaga pandangan." Mendengar jawaban Mari, Zul diam dan tidak berkata apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia memandang rerimbunan pohon kelapa sawit yang seperti berlomba-lomba lari ke belakang. Dalam hati Zul membenarkan perkataan Mari. Sebab saat ia memandang wajah dan mata Mari dengan seksama, ia menemukan sihir yang m a m p u mengubah dirinya menjadi serigala. Tiba-tiba ia merasa menemukan kalimat untuk menjawab perkataan Mari, "Dan hampir semua wajah dan mata perempuan itu memiliki sihir yang mampu mengubah lelaki jadi serigala. Maka sebaiknya memang keduanya saling menjaga. Agar tetap menjadi manusia yang mulia dan tidak berubah menjadi manusia serigala." Mari tersenyum mendengarnya.
***

161


Dua

Menjelang Maghrib bus Trans Nasional memasuki kota Kuala Lumpur. Zul menikmati pemandangan senja di Kuala Lumpur dengan seksama. Jalan tol yang lebar dan melingkar. Gedung-gedung tinggi. Hutan kota yang masih terjaga. la harus mengakui, Kuala Lumpur jauh lebih rapi dari Jakarta. la mencari-cari gedung yang menjadi simbol Kuala Lumpur. la melongok-longok, mencari-cari Menara Kembar. la tidak melihatnya. "Menara Kembarnya mana ya Mbak, kok tidak kelihatan?" tanyanya pada Mari.
163


"Kamu jangan memandang ke arah situ. Pandanglah ke arah sana. Di sela gedung menjulang itu. Itulah Menara Kembar," jawab Mari sambil menunjuk ke arah Menara Kembar. "Wah iya. Saya penasaran ingin lihat dari dekat." "Jangan tergesa-gesa. Nanti kau akan punya waktu yang cukup untuk melihatnya. Kau bahkan bisa makan di sana. Kau juga bisa refreshing di sana. Di bawah menara itu ada tamannya yang rapi dan indah. Namanya taman KLCC. Taman itu terbuka untuk u m u m dan gratis." Zul langsung membayangkan nyamannya berjalanjalan di bawah Menara Kembar dan nyantai di taman KLCC. Tiba-tiba ia teringat Najibah. Gadis satu desa dengannya yang pernah menjadi tambatan hatinya. Najibah pernah minta padanya untuk rekreasi ke Taman Kiai Langgeng. Dan ia berjanji pada gadis itu akan mengajaknya ke Taman Kiai Langgeng suatu kali. Namun sampai saat ini ia tidak bisa memenuhi janji itu. Dan tidak mungkin rasanya memenuhi janjinya itu. Sebab, gadis yang punya lesung pipi indah itu, kini telah menikah dengan orang lain. Ah, seandainya ia kaya, tentulah ia bisa menikahi gadis itu dan mengajaknya jalan-jalan ke Taman Kiai Langgeng. Bahkan mengajaknya ke Kuala Lumpur dan berjalan-jalan di taman KLCC itu. Karena kemiskinannyalah, akhirnya Najibah memutuskan menikah dengan orang lain setelah tiga kali. Itu pun setelah Najibah memintanya untuk segera menikahinya dan ia merasa tidak mampu. Ia minta
164

ditangguhkan beberapa tahun lagi. Ia tidak bisa memberi jawaban pasti. Dan Najibah merasa tidak bisa bergantung pada ketidakpastian. "Maaf, Mas Zul, bukan saya tidak cinta sama Mas. Orang tua saya minta saya segera menikah. Tahun ini. Jika Mas mau ya tahun ini. Jika tidak ya anggap saja kita tidak berjodoh. Ini demi kebaikan saya dan Mas." Itulah kata-kata Najibah yang masih ia ingat terus. Katakata yang tidak mungkin ia lupakan, karena saat itu ia tidak berdaya apa-apa sebagai seorang lelaki. Ia sama sekali tidak bisa m e m e n u h i h a r a p a n orang yang dicintainya. Jangankan biaya untuk menikah, biaya untuk makan sehari-hari saja ia sering tidak punya. Ia benar-benar merasakan betapa susah jadi orang tidak punya. Sampai untuk menikahi orang yang dicintai saja tidak bisa. Ia benar-benar sedih dan menderita jika mengingatnya. Sesungguhnya Najibah itu bukanlah gadis yang materialistis, ia tidak minta apa-apa, selain akad nikah. Namun akad nikah itu ada biayanya. Dan itu yang ia tidak punya saat itu. Ia benar-benar tidak punya. Ia merasa dirinya adalah orang paling miskin papa sedunia. Ah, ia berusaha melupakan peristiwa itu. Namun belum juga bisa. Bahkan sampai ia sudah di Kuala Lumpur pun peristiwa itu masih saja teringat olehnya. Ia yang mengalami peristiwa yang tak setragis Mari saja masih dibayangi oleh peristiwa itu, apalagi Mari. Wajar jika perempuan muda itu sampai mengalami trauma. "Heh, melamun apa! Kita sudah sampai di Purduraya! Ayo siap-siap turun!"
165


Zul kaget dan tersadar dari lamunannya. "Kita sudah sampai Mbak?" "Iya. Ayo turun. Itu orang-orang sudah pada turun." Mereka berdua lalu turun dari bus. Lalu naik ke lantai dua. Tempat dimana para p e n u m p a n g berkumpul menunggu bus. Tempat dimana penumpang datang dan pergi. Di lantai dualah puluhan waning penjual oleh-oleh dan makanan dibuka. Juga di lantai dualah puluhan agen bus membuka konter. "Mbak ini sudah Maghrib ya?" tanya Zul. "Iya sudah. Gini saja. Kita shalat dulu gantian. Tempat shalat dan tandas ada di lantai tiga. Kita naik ke sana." "Tandas itu apa Mbak." "Toilet. Kalau bahasa orang Demak kakus." "Wah kok nadanya agak menghina orang Demak thoMbak." "Kamu ini lelaki kok sentimentil begitu. Ayo kita naik!" Mereka berdua lalu naik ke lantai tiga. Mereka ke tandas dahulu, baru ke surau. Mereka shalat bergantian. Selesai shalat Zul bingung. la baru sadar kalau ia tidak memiliki tujuan yang jelas. Mari hanyalah teman bertemu di perjalanan. "Inilah Kuala Lumpur Dik Zul. Ya selamat datang di Kuala Lumpur. Semoga nasibmu berubah di sini. Berubah jadi baik. Tidak sebaliknya. O ya, jadi kau mau menginap di mana?" "Wah jujur saja Mbak. Saya tidak tahu harus menginap di mana."
166

"Katanya kau mengantongi sebuah nama dan nomor telpon itu bagaimana?" "Ya, saya coba telpon dulu Mbak." "Pakai hp saya saja Dik, tak usah pakai telpon umum. Tuh telpon u m u m antrenya kayak gitu," Mari mengulurkan hand phone-nya.. Zul menerima hand phone itu dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sobekan kertas. Lalu memanggil nomor yang tertulis di kertas itu. Beberapa saat ia menunggu tidak ada jawaban. Lalu ia ulangi lagi. Empat kali ia memanggil dan tidak ada yang mengangkat. "Bagaimana Dik?" "Tidak ada yang mengangkat Mbak." "Mungkin sedang shalat. Kalau gitu ayo kita cari makan dulu. Saya lapar. Setelah makan ditelpon lagi." "Boleh." Mari berjalan di depan. Ia sangat hafal seluk beluk Terminal P u r d u r a y a . Dan bisa dipastikan b a h w a pekerja Indonesia yang bekerja di sekitar Kuala Lumpur sangat akrab dengan terminal bus paling padat di Kuala Lumpur ini. Mari memilih makan di Kak Long Cafe. Sebuah cafe milik seorang Muslimah keturunan China. "Bisa jadi kita nanti akan sulit bertemu. Bahkan mungkin akan tidak bertemu. Namun siapa tahu adik perlu bertemu dengan saya suatu hari nanti. Atau perlu bantuan saya. Saya akan kasih nomor telpon saya. Bisa ditulis?" kata Mari selesai makan.
167


"Bisa Mbak. Terima kasih ya atas segalanya. Berapa Mbak nomornya?" jawab Zul. "0176767676. Bacanya mudah 01 terus tujuh enam empatkali." "Wah mudah diingat Mbak." "Coba orang yang kautuju itu dikontak lagi." Zul langsung menelpon nomor yang ia telpon sebelumnya. Beberapa kali ia telpon tapi tidak juga berhasil. "Tetap tidak ada yang mengangkat Mbak." "Mmm...." g u m a m Mari sambil mengerutkan keningnya. "Saya coba lagi Mbak." Zul kembali melakukan panggilan. Tidak juga berhasil. "Bagaimana, tidak berhasil juga?" tanyaMari. "Iya." "Kau di sini asing. Kalau tidak ada teman kasihan. Kalau kau mau kau bisa ikut saya menginap di tempat saya." "Menginap di tempat Mbak?" "Iya. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Di tempat saya ada tiga kamar. Kau bisa menginap di salah satu kamarnya. Paling tidak untuk sekadar melepas lelah. Besok kau bisa mencari orang yang kautuju itu. Itu kalau kau mau." Zul terdiam sesaat. Ia memang tidak kenal siapasiapa di Kuala Lumpur ini. Nama yang ada dalam
168

sobekan kertasnya pun sebenarnya tidak kenal. Nama itu adalah nama kenalan Pak Hasan. Katanya ia adik kelas Pak Hasan sewaktu kuliah di Jogja yang sekarang bekerja di Kuala Lumpur. Dan jujur ia memang perlu istirahat. Perjalanan dari Batam sampai Kuala Lumpur cukup membuatnya lelah. Apalagi dua hari sebelum berangkat ia kerja lembur di sebuah bengkel. "Bagaimana Dik? Kalau kau mau ayo kita berangkat. Mumpung belum terlalu malam. Atau kau mau tidur di bangku itu, ya tidak apa-apa. Tapi jangan kaget kalau nanti ada operasi polisi dan kau dianggap gelandangan. O ya bisa juga kau menginap di hotel Purduraya ini. Tinggal kau jalan ke atas. Tapi ongkosnya ya lumayan." Mari menjelaskan beberapa pilihan untuk Zul. Zul masih belum mantap menentukan salah satu pilihan. Hati kecilnya ingin menginap di hotel. Tapi uang yang ia miliki benar-benar pas-pasan. Ia sebisa mungkin harus menghemat. "Sudahlah Dik ayo ikut saya saja. Besok kau bisa pergi ke mana kau suka. Ayo!" Kata Mari dengan tegas seraya bergegas ke luar terminal. Ketegasan kata-kata Mari membuat Zul seolah menemukan pilihan terbaik. Ia p u n m e n g i k u t i langkah Mari. Mereka keluar menyeberangi jalan raya. Mari berjalan dengan cepat meskipun ia harus menyeret tas kopornya. Zul berusaha mengimbangi di sampingnya. "Kita mampir di supermarket sebentar. Lalu kita ke Terminal Pasar Seni cari bus Rapid KL yang ke Subang." "Iya Mbak. O iya Mbak ini hand phone-nya nanti lupa."
169


"Ayo cepat.dikit." Mereka berjalan menyusuri trotoar. Mari masuk sebuah supermarket dan belanja makanan, sikat gigi, odol, dan sabun mandi cair. Zul menunggu di depan supermarket. Tak lama kemudian mereka kembali berjalan. Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai di Pasar Seni. Mari langsung naik Rapid KL jurusan Subang. Zul ikut di belakangnya. Setelah membayar karcis mereka duduk. Bus berjalan perlahan. "Jangan kaget, nanti kau akan tinggal di tengahtengah tenaga kerja wanita. Artinya penghuni rumah itu semuanya wanita. Saya salah satu di antaranya. Rumah saya dihuni enam orang. Ada tiga kamar. Satu kamar berdua. Kebetulan ada dua orang yang sedang pulang ke Indonesia. Jadi saat ini dihuni empat orang. Kau nanti bisa tidur di kamar saya saja. Kebetulan di kamar saya ada kamar mandinya. Jadi kau tidak akan mengganggu teman-teman saya yang lain." Mari menjelaskan kondisi rumahnya. Zul mendengarkan dengan seksama. la merasa sudah terlalu banyak berhutang budi pada perempuan muda yang baru dikenalnya itu. "Mbak baik sekali. Entah bagaimana saya harus membalas budi Mbak. Saya malu pada Mbak." "Jangan berpikir begitu. Kita ini sebagai manusia sudah semestinya saling tolong menolong. Iya tho. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Iya tho Dik. Apalagi kita sama-sama orang Jawa, dan sama-sama orang Indonesia dan sama-sama orang Islam. Sudah jadi kewajibanku membantu adik. Ya anggap saja aku ini kakakmu."
170

"Iya Mbak. Terima kasih Mbak." Rapid KL membelah kota Kuala Lumpur. Karena kelelahan Zul tertidur. Cukup pulas. Mari mengamati dengan seksama, anak muda yang duduk di sampingnya itu. Wajah polos khas Jawa. Wajah yang tampak begitu muda. Ada guratan derita di sana. Namun ada juga gurat keberanian dan kenekatan. Mari memperkirakan umur pemuda ini lima tahun lebih muda darinya. la telah masuk dua puluh tujuh. la perkirakan Zul tak lebih dari dua puluh dua. Setelah satu jam berjalan akhirnya mereka sampai di Subang. Mari membangunkan Zul. Zul bangun dengan tergagap, "Sudah sampai tho Mbak?" "Sudah Dik." Mari turun diikuti Zul. "Kita perlu jalan kira-kira dua ratus meter baru tiba di rumah. Tak apa ya?" "Tidak apa Mbak." Mereka berjalan memasuki kawasan Taman Subang Permai. Selama dalam perjalanan Mari bercerita tentang teman-temannya. "Rumah saya rumah teras. Rumah teras artinya ya rumah biasa seperti rumah-rumah di Indonesia yang ada terasnya. Bukan rumah apartemen. Saya menyewa bersama teman-teman dari orang China. Rumah itu ada tiga kamar. Kamar paling depan ditempati oleh Linda dan Sumiyati. Linda asli Sukabumi, ia lahir di Amsterdam. Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati
171


jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus jaga iman kalau berhadapan dengannya! Terus teman sekamarnya adalah Sumiyati, asli Blitar. Sumiyati juga sudah bersuami. Kamar tengah saya yang menempati. Saya sekamar dengan Iin. Kami memanggilnya Iin. Nama aslinya Mutmainah. la asli Pati. Iin sudah bersuami dan punya dua anak di Pati. Kamar yang paling belakang saat ini kosong. Yang tinggal di situ adalah Reni dan Watik. Keduanya sedang pulang kampung. Mereka berasal dari satu kampung di Kendal Jawa Tengah. Sebetulnya kau bisa tidur di kamar Reni dan Watik yang kosong. Tapi di kamar itu tidak ada kamar mandinya. Lebih baik nanti kau tidur di kamar saya saja. Biar saya dan Iin yang tidur di kamar Reni." "Iya Mbak." "O ya jangan kaget ya. Jika nanti mereka itu banyak bicara. Mereka itu perempuan-perempuan yang paling suka ngobrol dan banyak cerita. Jika kau tidak ingin ngobrol kau nanti langsung saja tidur." "Iya Mbak." Lima belas menit berjalan akhirnya mereka sampai di sebuah rumah, yang tak jauh berbeda dengan perumahan di Indonesia. Hanya pintunya dirangkapi dengan pintu besi. Mari langsung membuka pintu. Dan begitu ia masuk ia langsung disambut histeris temantemannya. "Oi, Mbak Mar pulang!" teriak seorang perempuan muda yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong.
172

"Hei kau bawa teman ya Mar?" tanya perempuan berdaster panjang. "Iya. Ini, anggap saja adik saya. Namanya Zul. Dia mungkin numpang cuma semalam saja/' jelas Mari. "Adik apa adik?" ledek perempuan bercelana pendek. Mari hanya tersenyum kecut. "Kenalkan saya Zul, dari Demak." "Saya Sumiyati, dari Blitar." Sahut perempuan bercelana pendek. "Aku Iin. Soko Pati Mas."1 Perempuan berdaster memperkenalkan diri denganbahasa Jawa. "Yo anggep wae, iki ning ngomahe dewe. Anggep wae ning ngomahe keluargane dewe."2 "Inggih matur nuwun Mbak."3 Jawab Zul. "Si Linda mana?" tanya Mari. "Seperti biasa Mbak ke KL. Seperempat jam yang lalu ia dijemput sama si Chong Tong," jelas Sumiyati. "Tak ada kapoknya anak itu!" sahut Mari dengan nada tidak suka. "Yo mugo-mugo4 Gusti Allah membukakan jalan baginya untuk taubat," lirih Iin. "Amin!"tukas Mari. "E... Mas Zul kok berdiri di situ saja. Silakan duduk Mas. Monggo5 Mas." Sumiyati mempersilakan Zul untuk duduk di kursi.
'Aku lin. Dari Pati Mas. Ya anggap saja ini di rumah sendiri. Anggap saja di rumah keluarga sendiri. 3 lya, terima kasih Mbak. 4 Semoga 5 Mari, silakan
2

173


"Ya Mbak terima kasih." Jawab Zul seraya duduk. Sumiyati lalu bergegas ke dapur membuat minuman. Sementara Mari dan Iin masuk ke kamar mereka. Mari meminta Iin membantu merapikan kamar dan tempat tidur. Dan menjelaskan sebaiknya Zul tidur di kamar yang ada kamar mandi di dalamnya. Iin sepakat. Dengan cepat mereka merapikan dan menyimpan pakaian dan perkakas milik kaum perempuan yang tidak sepatutnya dilihat kaum lelaki. Setelah mereka lihat rapi dan mereka teliti tidak ada yang tidak patut, mereka kembali ke ruang tamu dan mempersilakan Zul membawa tasnya ke kamar. Zul menurut. Ia membawa tasnya ke kamar. Ia masuk dan menutup pintu. Zul mencium bau wangi di kamar itu. Kamar yang bersih dan rapi. Jauh sekali bedanya dengan kamarnya dan teman-temannya saat bekerja di Batam. Zul mencopot jaketnya. Beberapa menit kemudian kamarnya diketuk. Ternyata Mari. Membawa nampan berisi teh hangat dan satu piring roti donat yang tadi dibeli di supermarket. "Istirahat saja. Ini minumnya. Di kamar mandi ada sikat gigi yang masih baru, juga sabun cair, bisa kamu pakai jika mau mandi. Handuknya sudah saya siapkan di kamar mandi." Jelas Mari sambil meletakkan nampan itu di atas meja rias. "Terima kasih Mbak." "Jika perlu apa-apa bisa mengetuk kamar belakang. Saya ada di sana." "Iya Mbak."
174

"Baik. Selamat istirahat." Kata Mari dengan tersenyum. Ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar dengan pelan. Zul merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk itu. Terasa nyaman. Tapi ia merasa kulitnya seperti lengket dengan pakaiannya. Sangat tidak nyaman. Ia lalu beranjak ke k a m a r m a n d i d a n m a n d i . Air yang mengguyur sekujur tubuhnya itu serasa meremajakan seluruh syaramya. Barulah setelah mandi iabisa istirahat dengan nyaman. Sesaat sebelum tidur kilatan senyum Mari yang tulus terbayang di mata. Ia tersenyum. Tibatiba ia teringat perkataan Mari tadi siang, "Jujur saja Dik ya, hampir di semua mata lelaki ada binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan untuk menjaga pandangan." Ia kembali tersenyum. Lalu terlelap tidur.
* X*

175


Tiga

eBook by MR.

Pukul tujuh pagi, Zul baru bangun tidur. la kaget karena bangun terlalu siang. Sinar matahari telah menerobos jendela dan masuk ke dalam kamarnya. la langsung bangkit dan mengambil air wudhu dengan tergesa-gesa. la belum shalat Subuh. Ketika hendak shalat ia bingung arah kiblat. Terpaksa ia keluar kamar untuk menanyakan arah kiblat. Di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang santai, Sumiyati dan Iin sedang asyik nonton televisi. "Waduh arah kiblat mana ya? Waduh kok saya tidak dibangunkan. Jadi terlambat shalat Subuh!" Kata Zul
177


setengah menggerutu. Tidak jelas kepada siapa kata-kata itu ia tujukan. Pada Sumiyati atau pada Iin, atau pada kedua-duanya. "Maaf Dik, kami segan mau membangunkan. Kiblat ke arah jendela Dik." Jawab Iin kalem sambil memandang ke arah Zul yang masih jelas bekasnya dari tidur. Zul kembali ke kamar dan shalat. Setelah itu ia kembali ke ruangan tamu. Ia tidak melihat Mari. "Lha Mbak Mar ke mana? Apa masih tidur juga?" "Ya tidak. Mbak Mar itu orang paling disiplin di rumah ini. Ia sudah bangun sejak jam empat tadi. Biasanya shalat Tahajjud. Terus nyuci pakaian. Tadi setelah shalat Subuh ia langsung berangkat kerja." Jelas Sumiyati santai sambil mengambil kacang tanah yang ada di depannya. Lalu mengeluarkan isinya dan memasukkan ke dalam mulutnya. "O ya sebelum berangkat tadi Mar nitip pesan. Kalau kamu sudah bisa menghubungi orang yang kamu tuju dan mau pergi pagi ini atau siang ini tidak apa-apa. Kalau masih betah dan mau menginap barang satu dua hari lagi ya tidak apa-apa. Hanya saja Mar minta kalau siang ini orang itu tidak juga bisa kauhubungi kau sebaiknya menginap semalam lagi. Siang ini dia akan mencoba mencarikan informasi tentang tempat yang lebih pas, sekaligus informasi tentang pekerjaan jika ada/' Iin menyahut. "Sebaiknya, siang ini Mas istirahat saja dulu di sini. Kan baru datang. Sambil menunggu informasi dari Mbak Mar jika nanti ia kembali," sambung Sumiyati memberi saran.
178

"Saya mau keluar sebentar Mbak. Sekalian lihat-lihat lingkungan. Saya mau coba telpon orang yang harus saya hubungi itu sekali lagi," kata Zul. "Ya, hati-hati Dik. Jangan lupa bawa paspor ya," tukas Iin Zul keluar mencari telpon. Lima puluh meter dari rumah itu ia menemukan warung kelontong, namun di situ tertulis kedai runcit. Di warung itu ada wartelnya. Dari wartel itu ia mencoba menelpon nomor yang ia catat dari Pak Hasan. Berulang-ulang ia menelpon, tapi tidak juga berhasil. Ia mencoba menelpon Pak Hasan yang ada di Batam juga tidak berhasil. Nomor Pak Hasan sedang tidak aktif. Ia kembali ke rumah dan mendapati dua perempuan itu telah rapi dan siap pergi. "Dik kami harus berangkat kerja. Ini kunci rumah, siapa tahu kamu mau keluar. Jika nanti kamu mau pergi meninggalkan rumah, tolong rumah dikunci. Dan kuncinya letakkan saja di bawah pot bunga itu. Oh ya sarapannya sudah kami siapkan di dapur. Makan saja yang banyak. Maaf seadanya." Dengan lembut Iin menjelaskan. "O ya Mas, kalau mau lihat film-film Malaysia. Nyalakan saja DVD player itu. DVD-nya ada di rak biru itu," sahut Sumiyati. "Kami pergi dulu ya. Yah demi mencari sesuap nasi Mas." Imbuhnya sambil membuka pintu. Mereka berdua lalu bergegas meninggalkan rumah. Ketika mereka sampai di halaman hendak membuka pintu gerbang, sebuah mobil sedan Proton Wira berhenti tepat di h a d a p a n mereka. Seorang perempuan berpakaian sangat ketat keluar dari mobil
179


itu. la melambaikan tangan pada pengendara mobil yang bermata sipit. "Baru pulang Lin?" sapa Iin. "Iya Mbak. Tadi ketiduran di hotel," jawab perempuan itu santai. Zul melihat dari pintu yang masih terbuka. "Kamu itu mbok ya ingat akhirat meskipun sedikitsedikitlah Lin? Ingatlah hari akhir kelak Lin!" Iin menasihati dengan suara lembut. "Aduh Mbak, kalau mau ceramah di masjid saja. Saya sedang capek nih. Sory ya Mbak. Saya harus istirahat. Lha itu kok ada cowok di rumah kita. Siapa dial?" ketus Linda. "Itu adik saya dari Demak," jawab Iin. "Orangnya baik kok Lin. Namanya Zul. Jangan takut santai saja," timpal Sumiyati. "Siapa yang takut. Saya tak pernah takut sama lelaki. Apalagi lelaki Indonesia kurus kaya gitu. Lelaki dari Amerika, Rusia bahkan Nigeria sekalipun saya tidak pernah takut! Kenapa kalian masih mematung saja di sini. Nanti kalian terlambat didamprat sama majikan baru tahu rasa!" sengit Linda. "Ya udah kami berangkat dulu. Jaga rumah baikbaik ya Lin." "Ya," jawab Linda singkat sambil beranjak masuk rumah. Ketika masuk rumah dan melewati Zul yang berdiri di samping pintu Linda menyapa datar, "Halo Mas, baru datang dari Indonesia ya?"
180

"Iya," jawab Zul singkat. Linda l a n g s u n g m a s u k ke dalam k a m a r n y a . Sementara Zul masih berdiri di samping pintu memandang lurus ke depan, ke halaman dan jalan. la mendengar dengan jelas percakapan tiga perempuan itu. Dan ia bisa meraba, kira-kira apa pekerjaan perempuan muda bernama Linda yang baru saja menyapanya itu. Dan siang itu ia bisa jadi hanya akan berdua bersama Linda di rumah yang sepi itu. Ia berpikir apa yang akan ia kerjakan seharian di rumah itu. Apakah ia akan hanya tidur di kamar? Bagaimana kalau Linda mengajak berbincang-bincang? Apakah ia akan bersikap cuek saja terhadap Linda? Ataukah ia akan berpura-pura bersikap baik kepadanya. Sebab ia paling tidak suka dengan perempuan yang memiliki tanda-tanda sebagai perempuan tidak benar. Dari cara Linda berpakaian dan dari pembicaraan yang baru saja ia dengar, ia memiliki firasat kuat bahwa Linda adalah jenis perempuan tidak benar. Zul mengambil nafas panjang. Ia belum bisa memutuskan akan bersikap bagaimana. "Mas pintunya ditutup saja. Di sini tidak lazim membuka pintu lama-lama." Seru Linda dari kamarnya yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat Zul berdiri. Secara reflek Zul menengok ke arah suara. Pintu kamar Linda terbuka lebar dan Linda merebahkan tubuhnya begitu saja di tempat tidurnya, dengan sepatu hak tingginya masih terpasang di kedua kakinya. Zul merasakan getaran dalam dadanya. Ia langsung m e n u t u p pintu dan bergegas masuk ke dalam kamarnya.
181


Sementara Iin dan Sumi masih berjalan ke arah hentian bus. Dalam hati Iin memanjatkan doa agar Linda kembali ke jalan yang benar. Ada yang meleleh dari kedua matanya yang berkaca-kaca. la sangat sayang pada gadis cantik—yang sudah tidak gadis lagi—itu. la ingat bagaimana awal perjumpaannya dengan Linda di pagi yang cerah di KBRI Kuala Lumpur. Linda yang berwajah Indo itu m e m p e r k e n a l k a n diri sebagai karyawati sebuah kantor maskapai penerbangan di Kuala Lumpur. Pagi itu Linda ada sedikit urusan di bagian konsuler. la tidak menanyakan detil urusan Linda sebenarnya. la sendiri punya urusan yang membuatnya pusing, gajinya selama lima bulan tidak dibayar oleh majikan. la hendak melaporkan hal itu ke pihak KBRI. Dari yang tak lebih dari dua puluh menit itu ia tahu Linda memiliki cita-cita yang tinggi. Linda bercerita tentang keinginannya melanjutkan kuliah sampai S.3 di negeri tempat ia dilahirkan, yaitu Belanda. "Saya harus cari uang dulu. Ibu saya tidak mungkin membiayai saya kuliah. Ayah saya, saya tidak mengenalnya sejak kecil. Ibu hanya cerita ia orang Belanda dan sudah menikah lagi di sana. Sudah jadi orang penting di Belanda. Ibu saya tidak meridhai jika saya minta uang sepeser pun pada ayah saya. Kata ibu saya, saya boleh ke Belanda, tapi tidak boleh mengemis pada ayah saya, atau keluarga ayah saya. Ibu saya sangat dendam pada ayah saya, dan dendamnya itu telah diwariskan pada saya. Saya tidak akan menceritakan perihal dendam itu. Pokoknya dendam yang sangat menyakitkan. Intinya ayah saya pernah memperlakukan ibu saya dengan
182

sangat tidak manusiawi di Belanda. Dan itu saat mengandung saya. "Ya alhamdulillah, berkat peluh dan keringat ibu saya, akhirnya saya bisa selesai kuliah di Jakarta dan langsung mendapat pekerjaan. Sekarang saya bisa kerja di Kuala Lumpur ini dengan gaji yang lumayan. Saya akan menabung. Kalau bisa saya akan lanjut kuliah S.2 di sini baru nanti S.3 di Belanda. Jika saya sudah sukses, kaya dan bermartabat, saya akan ajak ibu saya menemui ayah saya dengan kepala tegak. Bahkan saya bercitacita harus kaya hingga saya nanti bisa punya perusahaan besar di Belanda. Harus lebih kaya dari Mr. Van Braskamp. "Van Braskamp itulah nama ayah saya. Dia seorang Belanda. Tapi saya sama sekali tidak kenal budaya Belanda. Saya sejak umur dua tahun sudah di Sunda. Hidup bersama kakek dan nenek saya. Ayah saya tidak meninggalkan apa-apa kepada saya kecuali warna kulitnya yang membuat saya lebih putih dari ibu saya. Itu saja. Tapi saya akan membuktikan pada ayah saya itu, suatu saat saya bisa lebih terhormat dari ayah saya di negeri ayah saya. Itulah cita-cita saya Mbak Iin. Kalau Mbak Iin punya cita-cita apa? Untuk apa kerja di Malaysia ini?" Iin masih ingat saat itu ia hanya menggelengkan kepala lalu menjawab, "Saya tidak punya cita-cita yang tinggi seperti Dik Linda. Saya hanya ingin dapat uang. Bisa membiayai suami saya yang sedang sakit dan bisa membiayai dua anak saya yang masih kecil-kecil yang sekarang diasuh
183


oleh adik saya. Itu saja. Juga punya tabungan untuk buka warung di kampung. Itu saja Dik Linda." Saat itu Linda tersenyum dan mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, "Semoga cita-cita Mbak Iin dikabulkan oleh Allah. Amin." Dalam hati ia ikut mengamini. Di pertemuan yang singkat itu, ia sempat bertukar nomor hand phone dengan Linda. Linda yang memberi nomornya dulu. "Mbak ini nomor hope saya. Siapa tahu Mbak atau teman Mbak ada yang ingin pulang liburan. Bisa pesan tiketkesaya." Sejak itulah ia sering berkomunikasi dengan Linda. Beberapa kali ia bertemu dengan Linda tanpa sengaja di Menara Kembar Petronas KLCC. Seringkali Linda mentraktirnya makan. Selesai makan biasanya mengajak shalat di surau yang ada di sana. Ia melihat Linda begitu agamis. Dan dalam balutan jilbab muka Indo itu bagai bidadari surga yang turun ke bumi. Ia sangat takjub pada keelokan dan kebaikan Linda. Dari rasa takjub itulah rasa sayangnya pada Linda terbit. Sejak kenal dengan Linda, ia sering membayangkan alangkah enaknya bisa kerja seperti Linda. Duduk tenang di kantor yang ber-AC dengan bayaran yang tinggi. Kerjanya cuma m e n g a n g k a t telpon. Lihat layar komputer. Dan nulis nota. Tidak seperti dirinya yang harus kerja di Warung Runcit6 dengan majikan yang
6

kasar dan pelit. Itulah yang ia pikirkan pada waktu itu. Dan ia merasa alangkah beruntungnya Linda. Cantik, pintar, masih sangat muda, dan berpenghasilan tinggi. Tapi ia segera menyadari siapakah dirinya dan siapakah Linda. Dirinya tak lebih hanya lulusan MTs dengan penampilan sangat biasa, sementara Linda sudah sarjana dan cantik pula. Pekerjaan kantor sepertinya tidak boleh dikerjakan oleh orang desa—dengan wajah pas-pasan— yang hanya lulusan MTs seperti dirinya. Tapi jika melihat kehidupan Linda saat ini, ia yang hanya orang desa dan cuma lulusan MTs seperti dirinya merasa lebih bahagia daripada Linda. Buat apa pandai, sarjana dan cantik jika hanya menjadi budak nafsu dan setan. Dan hidup dalam lembah kehinaan. Baginya, sebagai wanita, kehormatan diri dan kesucian diri adalah harta paling berharga setelah iman kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Entah sudah berapa kali ia berusaha mengingatkan Linda, baik dengan cara yang paling halus maupun cara yang sangat terangterangan. Baik dengan sindiran maupun ancaman siksa neraka jahanam. Tapi ia melihat Linda sama sekali tidak ada perubahan. Bahkan shalat pun sudah ia tinggalkan. Ia sudah jarang melihat wajah blesteran Sunda Belanda itu berbalut mukena putih. Ia merasa bidadari surga yang turun ke bumi itu telah hilang. Jika menghayati apa yang terjadi pada Linda, hatinya sering miris dan merinding. Betapa berbedanya Linda yang dulu dengan sekarang. Alangkah mudahnya ketakwaan itu sirna dan iman itu hilang lenyap di akhfr zaman seperti sekarang. Tidak sedikit orang yang dulu
185

Semacam warung kelontong.

184


dikenal karena ketakwaannya tiba-tiba dalam waktu tak lama dikenal karena kedurhakaannya. "Na'udzubillahi min dzalik. Ya Rabbi, jauhkanlah hamba dari itu semua. Jangan Kaubiarkan iman ini lepas dari hati hamba sedetik pun." Doanya dalam hati sambil mengusap airmatanya. "Kenapa menangis Mbak Iin?" tanya Sumiyati. "Tidak apa-apa. Aku hanya kasihan sama Linda. Jauh-jauh merantau ke sini, siang malam hanya untuk menjual kehormatan dan bermaksiat. Kalau tidak mau bertaubat sungguh kasihan. Rugi di dunia, rugi di akhirat." "Iya Mbak. Aku masih ingat awal-awal Linda hidup bersama kita, ia masih shalat dan masih mau membaca Yasin. Tapi sekarang sepertinya dia tidak memiliki Tuhan." "Hus. Jangan bilang begitu Sum!" bentak Iin, "Semoga saja semaksiat-maksiatnya Linda, dia masih mengakui Allah sebagai Tuhannya," lanjutnya. "Semoga saja Mbak. Hidup di perantauan seperti kita ini memang tidak mudah. Keimanan kita benar-benar dipertaruhkan. Mbak tolong doakan saya ya. Itu, si Karan kawan kerja saya di restoran sering menggoda saya. Saya takut tergoda Mbak." "Kau harus kuat Sum. Imanmu harus terus kaupupuk. Kita harus sating menguatkan dan mengingatkan. Kita harus sating mengingatkan bahwa perzinahan itu termasuk dosa besar. Dan sekali orang berzina, orang itu akan sulit lepas dari belenggu dosa itu. Sangat memungkinkan ia akan melakukan yang
186

kedua, ketiga dan seterusnya. Dan itulah yang dikehendaki setan. Jangan kita biarkan diri kita terperangkap oleh kesempatan melakukan dosa besar itu. Sebisa mungkin kesempatan itu jangan dibiarkan ada. Aku sendiri Sum, aku mengakui diriku tidak cantik. Tetapi aku juga mengalami apa yang kaualami. Banyak yang menggoda. Tapi aku berusaha untuk kuat dan berusaha menjaga agar jangan sampai setan menciptakan kesempatan melakukan perbuatan dosa besar itu. Sebab, jika kesempatan itu tercipta, aku kuatir imanku tidak kuat untuk mencegahnya. Di antara caraku menjaga diri adalah dengan tidak pernah meladeni segala bentuk keisengan mereka yang menggodaku. Termasuk SMS yang hanya iseng. Aku selalu berangkat tepat waktu dan begitu saatnya pulang aku langsung pulang. Tidak berlama-lama ngobrol di tempat kerja." "Gitu Mbak ya?" "Iya." "Wah, u n t u n g Mbak kasih tahu. Si Karan itu inginnya ngajak ngobrol terus selesai kerja. Ia bahkan sering ngajak nonton film." "Kalau ingin selamat, jangan kautanggapi sedikit pun." "Iya Mbak." "Linda pernah cerita, ia menjadi seperti sekarang ini bermula dari menanggapi SMS iseng teman kerjanya, seorang pria muda asal Singapura." "Cerita detilnya bagaimana Mbak?" "Aku juga tidak tahu Sum. Linda hanya pernah menyinggung bahwa semuanya bermula dari SMS iseng
187


seorang teman kerja asal Singapura. Seorang pria muda yang menawan. Itu saja." "Eh Mbak itu busnya datang. Ayo cepat!" teriak Sumiyati. "Wah iya Sum, itu bus kita! Sahut Iin dengan mata berbinar. Mereka berdua langsung mempercepat langkah. Bus Rapid KL semakin mendekat, merapat di halte, lalu m e n u r u n k a n dan menaikkan p e n u m p a n g . Kedua perempuan itu mengejar dengan setengah berlari, takut ketinggalan.
* **

Zul tidur di kamarnya, yang tak lain adalah kamar Mari. Kedua matanya memandang langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Sementara pikirannya melayang ke mana-mana. Melayang ke perjalanan dari Batam hingga ketemu Mari. Dan sampai di rumah yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia masih juga berpikir apa yang harus ia lakukan siang itu. Apakah tetap diam di rumah itu menunggu Mari pulang. Sehingga ia bisa mendapat informasi dari Mari. Ataukah ia nekat saja pergi dari rumah itu. Kenapa ia mesti menunggu informasi dari Mari. Bukankah ia bisa nekat, sebagaimana selama ini ia selalu nekat. Dan bukankah sebenarnya ia pergi ke Malaysia juga berbekal nekat. Kalau ia nekat pergi dari rumah itu, siang itu juga, lalu ia mau pergi ke mana? Ia tidak hafal Kuala Lumpur dan sekitarnya. Apa asal pergi saja. Yang penting jalan. Seperti waktu ia dulu nekat ke Jakarta. Tapi ia nyaris mari
188

di Jakarta karena dikeroyok berandalan jalanan. Apa ia akan mengulangi nasib yang sama. Dan jika ia nekat, berapa lama ia akan bisa bertahan? Uang yang ia bawa sangat pas-pasan. Tak lebih dari seratus lima puluh ringgit. Berapa lama ia bisa bertahan dengan seratus lima puluh ringgit? Ia lalu berpikir realistis, apa salahnya menunggu Mari pulang. Ia bisa dapat informasi yang lebih jelas. Mungkin informasi ada pekerjaan yang membuatnya bisa bertahan bahkan bisa memperbaiki nasib. Apa salahnya menunggu sampai sore hari. Ia bisa tidur seharian di kamar itu dengan pintu terkunci. Toh di kamar itu ada kamar mandi dan WC-nya. Ia tidak perlu keluar. Juga, tidak baik rasanya meninggalkan rumah itu tanpa terlebih dulu pamitan pada Mari, yang begitu baik padanya. Ia akhirnya mantap untuk tetap di rumah itu siang itu, sampai Mari pulang. Jika Mari pulang dan ia telah m e n d a p a t k a n informasi dan petunjuk yang mungkin sangat penting baginya, maka ia bisa pergi. Zul mencoba berkonsentrasi memejamkan kedua matanya, ia ingin tidur lagi. Namun konsentrasinya buyar begitu telinga mendengar suara orang mandi. Ia langsung yakin yang mandi itu adalah Linda. Sejurus kemudian ia mendengar televisi dinyalakan. Ia lalu mendengar lagu-lagu India dibunyikan dengan sedikit keras. Ia benar-benar tidak bisa memejamkan kedua matanya. Ia lalu bangkit dari kasur. Ia yakin tidak bisa tidur. Ia lalu melihat-melihat isi kamar itu, ia mencari sesuatu yang bisa dibacanya. Di samping meja rias ia melihat
189


setumpuk majalah dan koran. Juga ada beberapa buku. Ia lihat buku-buku itu. Buku-buku ekonomi berbahasa Inggris. Ia ambil satu. Judulnya International Monetary and Financial Economics. Ia buka buku itu. Di halaman paling depan ia menemukan nama pemilik buku itu tertulis dengan tinta biru. Liew Su Ying. Nama China. Di bawah buku itu ada buku bersampul biru tua. Ia ambil. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game Theory with Applications to Economics. Ia menggelenggelengkan kepala. Orang yang bisa memahami buku seperti itu pastilah bahasa Inggrisnya mantap. Ia buka halaman depan. N a m a pemilik b u k u dan tanda tangannya tertulis di situ. Laila Binti Abdul Majid, TTDI, Kuala Lumpur. Ia yakin itu nama perempuan Melayu. Ia jadi bertanya-tanya, kenapa buku ekonomi seperti itu bisa ada di dalam kamar Mari dan Iin? Siapakah yang selama ini membaca buku itu? Mari kah? Atau Iin kah? Apakah mungkin mereka berdua bisa memahami buku berbahasa Inggris? Tiba-tiba ia tersenyum, mengapa ia bisa sebodoh itu. Bisa jadi orang China yang namanya tertulis sebagai pemilik buku itu adalah orang yang memiliki rumah ini. Bukankah ini rumah sewa? Dan bukankah Mari mengatakan pemiliknya adalah orang China? Ia menduga pemiliknya adalah orang China yang menikah dengan perempuan Melayu. Sangat mungkin, pemilik rumah itu tidak mengemasi bukunya dan membiarkan buku-bukunya tergeletak begitu saja di kamar itu. Lalu Mari dan Iin menatanya jadi satu dengan majalah dan koran di samping meja , rias. Atau entahlah, yang jelas ia menafikan jika yang
190

p u n y a dan y a n g m e m b a c a b u k u - b u k u ekonomi berbahasa Inggris itu adalah Mari atau Iin. Melihat tampang dan penampilan mereka sangat meragukan, dan sangat tidak meyakinkan. la lalu melihat-lihat beberapa majalah. Ada yang terbitan Indonesia, Malaysia, Singapura dan bahkan Hongkong. la mengambil yang terbitan Indonesia. la bawa ke kasur. la baca sambil tiduran. Tak berapa lama kemudian ia merasa mengantuk. Entah kenapa setiap kali ia membaca rasa kantuk itu menyerang dengan cepat. Saat ia berada di antara sadar dan tidak sadar karena mulai masuk ridur, sayup-sayup ia mendengar pintu kamarnya diketuk beberapa kali. Ia tidak jadi memejamkan mata. "Mas! Mas! Halloo! Buka dong!" Itu jelas suara Linda. "Iya. Sebentar!" sahutnya sambil bangkit menuju pintu. Begitu pintu ia buka, tampaklah wajah Linda yang sangat berbeda dengan wajah yang tadi ia lihat saat Linda baru datang. Wajah Linda yang ada di hadapannya tampak segar, dan menawan. Linda menyungging senyum yang membuat dadanya berdesir. Ia sepertinya belum pernah melihat pesona sesegar wajah Indo yang ada di hadapannya. "Hallo Mas, maaf mengganggu. Tadi kita belum kenalan. Kenalkan namaku Linda. Lengkapnya Linda Van Braskamp. Aku kerja di sebuah hotel berbintang di Kuala Lumpur." Sapa Linda sambil mengacungkan tangan kanannya mengajak berjabat tangan. Zul
191


langsung menjabat tangan itu sambil memperkenalkan dirinya, "E... nama saya Ahmad Zul. Saya berasal dari Demak. Mbak Linda orang Belanda ya?" "Ya. Ada darah Belanda. Tepatnya blesteran SundaBelanda. Tapi aku tetap merasa sebagai orang Indonesia. O ya kapan Mas Zul sampai?" "Tadi malam." "Berarti bareng Mbak Mar?" "Ya." "Tadi Mbak Iin cerita, Mas adiknya Mbak Iin, benar?" Zul tersenyum mendengarnya, ia lalu menjawab, "Dikatakan adiknya Mbak Iinjuga boleh." "Lho kok gitu. Kok ada juga bolehnya. Jadi sebenarnya bukan adiknya Mbak Iin?" "Ah itu tidak penting. Tadi baru pulang kerja ya?" "Iya saat ini aku kena sif malam. Jadi manusia kelelawar. Malam jadwalnya kerja, siang jadwalnya istirahat." "Jadi siang ini mau di rumah saja?" "Lha iya lah. Kan harus istirahat. Tapi aku lapar sekali. Mau keluar cari makanan rasanya malas sekali. Aku tengok di dapur ada nasi goreng. Itu pasti disedikan untuk Mas Zul. Boleh saya minta sedikit Mas. Atau kita makan bareng. Bagaimana? Mas Zul belum sarapan kan?" "Belum."
192

"Ayo kalau begitu kita makan bersama. Kita makan di ruang tamu saja. Sambil ngobrol. Oh ya Mas Zul mau minum apa? Aku bikinkan." "Teh panas boleh." "Baik. Mas Zul tunggu di ruang tamu saja ya, sambil nonton televisi." "Baik." Linda ke dapur membuat minuman dan mengambil makanan. Zul melangkah ke ruang tamu lalu duduk di sofa sambil membaca majalah yang tadi ia baca. Tak lama kemudian Linda muncul dengan membawa nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh manis. Zul mendongakkan muka dan melihat ke arah Linda yang datang. Barulah ia memperhatikan pakaian yang dipakai Linda, yang tadi tidak ia perhatikan. Linda memakai gaun yang hanya pantas dipakai di kamar tidurnya saja. Zul seperti terpaku dan terbelenggu di tempat duduknya. Tubuhnya terasa kaku. Linda meletakkan nampan di meja dan langsung duduk di samping Zul. Bau wangi parfum Linda tercium jelas oleh hidung Zul. Zul tidak bisa konsentrasi makan, ia masih menata pikirannya yang ia rasakan mulai kacau. "Kok bengong saja Mas. Ayo dimakan. Tadi nasinya sudah saya hangatkan. Kalau dingin tidak enak." "E... iya Mbak." Zul mengambil piring berisi nasi goreng dan mulai menyantapnya pelan-pelan. Ia masih terus berjuang menata kembali pikirannya yang mulai berpikir yang

193


"Rencana siang ini Mas Zul mau ke mana? Kalau tidak ada rencana, di rumah saja menemani aku. Aku bawa film Hollywood terbaru. Kita nonton berdua saja di rumah. Kalau nonton film sendirian rasanya tidak seru." "Saya belum ada rencana. Tidak tahulah. Saya sebenarnya ingin jalan-jalan." "Sebenarnya aku ingin sekali nemani jalan-jalan. Tapi kurasa, aku harus istirahat dan nyantai di rumah. Kalau Mas mau jalan-jalan sendiri tidak apa-apa. Kebetulan aku ada kunci dobel. Sebentar ya." Linda menghentikan makannya dan beranjak ke kamarnya. Lalu keluar dengan membawa kunci. "Ini bawa saja. Yang ini kunci gembok pintu besi dan yang ini kunci pintu. Kalau Mas keluar dan saat pulang aku sedang tidur tidak perlu membangunkan aku. Bawa saja kunci ini selama Mas di sini." "Terima kasih." "O ya ngomong-ngomong Mas mau kerja di mana? Sudah ada agen yang mengatur?" "Belum tahu. Masih mencari." "O jadi belum dapat kerja. Begini Mas, ini kalau Mas mau. Bagaimana kalau kerja di hotel tempat aku kerja. Tapi kerjanya malam sih. Kalau mau, bisa aku coba hubungkan ke pihak personalia. Aku kenal baik dengan penanggung jawabnya. Gajinya lumayan kok. Bagaimana?" "Nanti saya pikirkan." "Sejak jumpa pertama kali tadi, kulihat Mas memang banyak berpikir dan merenung. Jangan terlalu dibuat serius hidup ini Mas, cepat tua nanti. Itu Mbak Mar, coba
194

nanti kalau ketemu kauamati dia baik-baik, karena ia juga terlalu serius memikirkan hidup jadi kelihatan jauh lebih tua dari umurnya. Padahal ia hanya selisih satu tahun saja dariku." "Benarkah?" "Serius. Mbak Mar itu terlalu banyak mikir. Semuanya dia pikir. Mau makan saja dia mikir, ini halal tidak, haram tidak. Kalau aku sih selama enak kenapa tidak? Sekarang aku menemukan agama baru. " "Agama baru?" "Ya. Aku kasih nama agama enak. Pokoknya segala yang enak-enak itu jadi ajarannya. Itulah agamaku sekarang. Tuhannya adalah Tuhan yang maha membebaskan manusia untuk berenak-enak." "Astaghfirullah. Meskipun yang kelihatannya enak itu dilarang agama." "Agama yang mana? Kalau agamaku tadi ya jelas tidak melarang. Kalau agama Islam seperti agamamu, aku yakin kau Islam, ya aku tidak tahu." "Wah itu namanya agama hawa nafsu." "Terserah, aku tidak peduli. Yang jelas aku merasa enak, merasa bebas, merasa merdeka." "Kalau di KTP apa agamamu?" "Ya Islam." "Lho kok Islam?" "Ya untuk formalitas saja. Biar tidak membuat sedih banyak orang. Termasuk kakek dan nenek saya yang sangat fanatik dengan agama Islamnya."
195


"Itu berarti kamu munafik." "Kalau munafik itu enak kenapa tidak?" Zul jadi pusing memikirkan makhluk di hadapannya. la tidak mengira akan pernah menjumpai manusia seperti itu dengan cara berpikir seperti itu. "Baiklah Mas, saya akan cerita sedikit tentang pekerjaan saya. Daripada nanti Mas mendengar cerita yang sinis dari orang lain. Lebih baik Mas langsung mendengar dari saya. Lebih baik saya jujur daripada saya disebut munafik lagi. Sudah saya katakan agama saya adalah agama enak. Pokoknya yang enak-enak itulah inti ajarannya. Maka saya cari profesi adalah juga profesi yang menurut saya paling enak. Dalam ajaran agama saya, profesi saya tidaklah sebuah kejahatan. Tapi di agama lain bisa jadi profesi saya disebut sebuah kejahatan bahkan dosa besar. Aku tak peduli, aku punya agama sendiri. "Profesi saya adalah menyenangkan orang-orang penting. Orang-orang yang memerlukan hiburan. Pekerjaan saya adalah menghiburnya. Tapi orang-orang awam menyebut orang seperti saya ini sebagai pelacur. Ada juga yang menyebut sebagai perempuan sundal. Macammacamlah sebutannya. Tapi saya, berpegang pada keyakinan saya, maka saya menyebut diri saya adalah seniwati. Saya menjual jasa. Dan jasa saya adalah seni dan keindahan. Itulah saya Mas. Bagaimana menurut Mas?" "Aku hanya merasa kasihan padamu?" "Kasihan, kenapa kasihan?" "Entahlah, hanya merasa kasihan saja. Aku ini orang awam juga. Tidak tahu apa-apa. Agama juga tidak tahu.
196

Hanya mendengar apa yang kaukatakan nuraniku mengatakan orang seperti kamu ini sebenarnya bukan hidup enak dan hidup senang. Tapi hidup dalam keadaan sangat memprihatinkan. Dan perlu dikasihani." "O ya?" "Terserah. Cuma aku yakin, yang tadi bicara bukan nuranimu tapi nafsumu. Nanti suatu ketika saat engkau menderita sakit, coba aku ingin dengar apa yang akan kaukatakan dan kauucapkan?" "Kau ini jahat. Masak berharap aku sakit dan menderita." "Kau salah sangka. Sama sekali aku tidak berharap. Tapi manusia yang normal terkadang ada saatnya sakit juga. Saat sakit itulah manusia lebih banyak berbicara dengan nuraninya daripada dengan nafsunya. Lha saya ingin tahu apa yang akan kaukatakan saat kau dalam keadaan seperti itu. Apakah berarti saat kau sakit kau sudah tidak beragama lagi. Karena rasa enak itu sudah tidak ada lagi. Atau bagaimana?" "Saya akan bertahan dengan agama saya. Saya yakin dengan temuan saya." "Yah kalau begitu, bagimu agamamu dan bagiku agamaku."
* * *

197


Empat

Selesai makan Zul memutuskan untuk jalan-jalan ke pusat kota. la merasa imannya tidak kuat jika di rumah itu terus, dan berduaan dengan Linda. la menyadari dirinya hanyalah pemuda biasa yang masih lemah imannya. Yang masih sering kalah melawan hawa nafsunya sendiri. Tingkat ketakwaannya belumlah sampai p a d a tingkatan Nabi Yusuf yang m a m p u menepis godaan Zulaikha. la merasa setan yang ada dalam dirinya lebih kuat dari dirinya. Maka ia harus mengambil tindakan penyelamatan dan waspada. Ia tidak ingin membuat dirinya celaka. Ia baru sampai di
199


negeri orang. Mau tinggal di mana saja belum jelas. Pekerjaan juga belum jelas. Melangkahkan kaki mau ke mana saja belum jelas. Maka ia tidak mau terjebak dalam situasi yang mengakibatkan penyesalan. Ia teringat pesan Mar saat menyebut nama Linda pertama kalinya, "Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus jaga iman kalau berhadapan dengannya!" Tak ada jalan lain baginya kecuali pergi dan menjauh dari sumber petaka. Api jika tidak bisa dilawan dan dipadamkan maka jalan selamat adalah lari menjauh dari api itu. Jika tidak maka api itu akan membakar dan menghancurkan. "Maaf Mbak Linda, rasanya saya harus keluar jalanjalan. Saya ingin melihat-lihat suasana. Bosan di rumah terus. Nanti malam habis Maghrib mungkin saya datang lagi. Tas danbarang-barang saya masih di kamar," kata Zul pada Linda. "O ya. Hati-hati di jalan. Sudah bawa paspornya?" sahut Linda "Sudah. Kalau mau ke pusat kota Kuala Lumpur naik apa ya?" "Tadi malam datang pakai apa?" "Bus " "Rapid KL ya?" "Iya." "Kalau begitu naik saja dari tempat kau tadi malam turun dan naik bus yang sama."
200

"Baik. Terima kasih. Salam buat Mbak Mar, Mbak Iin, dan Mbak Sumiyati." "Baik. Kalau ada apa-apa bisa telpon kami ya. Sudah tahu nomor hp saya?" "Belum." "Kalau nomor Mbak Mar sudah tahu?" "Sudah." "Ya sudah. Itu cukup." "Sekali lagi terima kasih. Saya pergi dulu." "Ya, sekali lagi hati-hati di jalan. Jangan sampai tidur di bus ya," canda Linda. Zul menjawab d e n g a n s e n y u m lalu beranjak meninggalkan Linda sendirian. Ia pergi hanya membawa tas cangklong hitam berisi map dokumen-dokumennya, sepotong sarung, dan kaos panjang. Itu saja. Ia merasa mantap. Jika ia bisa menaklukkan Jakarta dan Batam, maka ia sangat yakin ia pun bisa menaklukkan Kuala Lumpur. Sepintas ketika ia tiba di Purduraya, ia melihat suasana terminal bus paling padat di Kuala Lumpur itu tidak seganas Pulogadung dan Kampung Rambutan Jakarta. Ia pernah berkelahi dengan preman Pulogadung dan tetap bisa hidup. Ia juga pernah ditodong preman Kampung Rambutan dan bisa lolos. Jika ia terpaksa harus bertemu dengan preman Kuala Lumpur ia merasa tak perlu gentar. Orang Demak tidak boleh gentar berhadapan dengan situasi apapun juga. Dari Subang Jaya ia naik bus Rapid KL ke terminal KL Sentral. Di KL Sentral ia sempat bingung mau ke mana. Ia berinisiatif untuk mencoba menghubungi lagi
201


nama yang diberi oleh Pak Hasan sekali lagi. Setelah bertanya kepada seorang lelaki India ia menemukan telpon umum. Dari telpon umum ia menghubungi dan masuk. Ia sangat berbahagia seperti mendapatkan rejeki nomplok yang tiada terkira jumlahnya. "Ini Pak Rusli ya?" tanyanya. "Iya benar. Ini siape?" "Saya Zul Pak. Saya mendapat nama dan nomor Bapak dari Pak Hasan Batam." "O ya ya. Pak Hasan sehat ya?" "Alhamdulillah Pak. Bagaimana caranya saya bisa bertemu Bapak? Saya baru datang tadi malam dan tidak banyak tahu tentang Kuala Lumpur. Terus terang saya perlu sedikit bantuan Bapak." "Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu Saudara. Adik sekarang di mana?" "Di KL Sentral Pak." "Begini saja Dik. Dari KL Sentra adik naik KTM ke Stesyen Mad Valley. Saya jemput di sana. Baru nanti kira bicarakan segalanya dengan lebih leluasa." "Apa tadi Pak, KTM ya?" "Ya KTM, atau kereta listrik. Ingat ke Mad Valley! Turun di Mad Valley. Saya memakai baju koko hijau lumut." "Baik Pak. Terima kasih." Tidak sulit baginya untuk naik KTM dan tidak sulit untuk mencapai Mad Valley. Siang itu, ia merasa bahagia, sebab disambut dengan hangat oleh Pak Rusli, yang tak lain adalah seorang murid Pak Hasan saat belajar di Padang. Pak Hasan pernah mengajar di sebuah
202

pesantren di Padang sebelum berdakwah di Batam. Pak Rusli mengajaknya makan siang di restoran Saji Selera yang letaknya tak jauh dari Mad Valley Plaza. "Jadi yang mendorong adik ke Kuala Lumpur ini Pak Hasan?" "Iya Pak." "Itu maknanya adik diminta untuk belajar. Menuntut ilmu. Saya tahu persis siapa Pak Hasan. Tapi adik tidak akan bisa melanjutkan studi di sini, kalau tidak dengan bekerja. Dari mana uang untuk membayar kuliah kalau tidak dicari dengan bekerja? Iya kan?" "Iya Pak." "Jangan kuatir. Di sini banyak kok mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Nanti kau akan aku temukan dengan mereka. Insya Allah mereka akan banyak m e m b a n t u . Terutama b e r k e n a a n d e n g a n u r u s a n pendaftaran di kampus. O ya kaubawa ijazah kan?" "Bawa Pak." "Dulu kuliah di mana?" "Di IKIP PGRI Semarang Pak." "Jurusan apa?" "Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Pak." "Ya ya ya. G a m p a n g nanti bisa diatur u n t u k dicarikan jurusan yang pas. Yang penting kau serius lanjut kuliah kan?" "Iya Pak." "Bagus. Pak Hasan itu sebenarnya mendorongmu untuk memiliki modal paling mahal untuk sukses dan jaya."
203


"Apa itu Pak?" "Ilmu. Hanya orang-orang berilmulah yang akan diangkat derajatnya oleh Allah. Banyak orang tidak berilmu kaya, namun derajatnya tidak diangkat oleh Allah. Tidak sedikit orang kaya yang jadi hina karena kekayaannya. Sebab ia tidak memiliki ilmu bagaimana menjadikan kekayaannya sebagai jalan beribadah dan menggapai kemuliaan. Setelah ini kau akan aku bawa ke rumah teman-teman mahasiswa. Agar kau kembali hidup dalam barakah lingkungan para penuntut ilmu." "Iya Pak." Berulang kali Zul hanya menjawab: Iya Pak, iya Pak. Agaknya Pak Rusli memperhatikan jawaban Zul. "Kamu ini dari tadi kok cuma bilang; Iya Pak, Iya Pak. Jawa betul kamu ini. Apa tidak ada kata-kata yang lain?" "Mmm, aduh bagaimana Pak ya?" "Sudah jangan dipikirkan. Ini hanya gurauan saja. Ayo kita jalan." "Iya Pak." "Lha diulang lagi kan!" Seru Pak Rusli sambil tersenyum lebar. Zul langsung meringis. Ia jadi heran sendiri, kenapa terus mengulang-ulang kata-kata itu pada Pak Rusli. Namun suasana jadi sangat cair. Sikap Pak Rusli yang low profile membuatnya seolah sudah lama mengenal lelaki berumur empat puluhan itu. Padahal belum ada tiga jam ia bertemu dengannya. Keluar dari Saji Selera, Pak Rusli membawanya masuk kampus Universiti Malaya. Zul terkagum-kagum
204

dengan keindahan dan kerapian kampus perguruan tinggi tertua di Malaysia itu. "Universiti ini masuk dalam jajaran 100 perguruan tinggi terbaik dunia. Kau harus tahu itu. Semoga saja kau nanti diterima lanjut S.2 di sini. Aku yakin orang seperti kau akan meraih kecemerlangan di masa yang akan datang." Ujar Pak Rusli menyemangati. "Doanya Pak." "Allah memberkati, insya Allah." Setelah mengelilingi kampus Universiti Malaya, Pak Rusli mengajak Zul shalat Ashar di masjid Akademi Pengajian Islam. Setelah itu langsung memacu mobilnya ke kawasan Pantai Dalam. Setelah keluar dari kawasan kampus UM, di sepanjang perjalanan, tepatnya di samping kiri, Zul melihat rel KTM. Sesekali ia berpapasan dengan KTM yang melaju ke arah KL Sentral. Sepuluh menit kemudian Pak Rusli memperlambat laju mobilnya. Mobil itu memasuki daerah yang terkesan agak kumuh. Setelah melewati jalan di bawah jembatan layang, mobil itu belok kanan. Di hadapan Zul tampak apartemen putih yang tinggi dan kusam. "Inilah Pantai Dalam, banyak mahasiswa Indonesia di sini. Kita akan berkunjung ke rumah salah seorang di an tar a mereka." Mereka berdua turun dari mobil dan bergegas ke arah apartemen. Di tengah jalan mereka bertemu dengan anak muda yang gayanya khas Indonesia. "Assalamu'alaikum. Geng, mau ke mana?" sapa Pak Rusli
205


"Anu Pak mau beli minyak goreng," jawab anak muda itu. "Geng, kenalkan ini namanya Zul. Dari Demak. la baru datang tadi malam," kata Pak Rusli memperkenalkan. Anak muda itu langsung menyalami Zul sambil memperkenalkan diri, "Saya Sugeng, dari Purworejo Jawa Tengah. Selamat datang di Kuala Lumpur Mas." "Iya Mas. Terima kasih," jawab Zul. "Namanya Zul ya? Zul siapa lengkapnya?" tanya Sugeng lagi. "Aslinya Ahmad Zul. Tapi teman-teman di SMA sering memanggil Zul Einstein." "Zul Einstein. Wah keren juga. Rencana mau masuk UM?" "Jika Allah mengijinkan." "Nanti saya bantu, insya Allah." "Terima kasih Mas Sugeng." "Pak Rusli saya jalan dulu ya. Saya cuma sebentar kok. Langsung ke rumah saja Pak. Di rumah ada si Arif sama si Yahya," terang Sugeng. "Baik Geng. Jangan lupa beli yang segar-segar ya," tukas Pak Rusli renyah. "Beres Pak. O ya Pak jangan lupa lagi. Lantai sepuluh Iho. Bukan lantai sembilan." "O ya terima kasih. Namanya juga sudah tua sering lupa. Ayo Zul kita jalan."
206

Pak Rusli dan Zul berjalan melewati samping apartemen menuju apartemen berikutnya. Lalu masuk lift yang mengantarkan mereka berdua sampai lantai sepuluh. Keluar dari lift mereka berjalan ke arah kanan. Di pintu flat tempat tinggal Sugeng dan teman-temannya itu ada sriker bendera merah putih. Di bawahnya ada tulisan: "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!" Menandakan bahwa mayoritas penghuninya adalah orang Indonesia dari Jawa. Pak Rusli mengetuk pintu dan dibukakan oleh seorang pemuda gempal berambut tipis. la hanya memakai sarung dan kaos putih. Pemuda itu menyambut dengan senyum. "O Pak Rusli. Silakan Pak." Pak Rusli dan Zul masuk. Pemuda itu memperkenalkan diri pada Zul. Namanya Yahya. Ia berasal dari Malang. "Tesisnya bagaimana, Ya. Sudah selesai?" tanya Pak Rusli. "Alhamdulillah sudah Pak. Minggu depan submit, insya Allah," jawab Yahya dengan wajah cerah. "Langsung lanjut Ph.D., Ya?" "Insya Allah Pak, tapi saya mesti laporan ke pihak UIN Malang dulu. Semoga saja diijinkan untuk langsung lanjut Ph.D. Doanya." "Allah memudahkan insya Allah." Akhirnya Zul tahu bahwa Yahya dulu kuliah di Pakistan jurusan sejarah dan peradaban. Sepulang dari Pakistan ia diterima jadi dosen di UIN Malang. Lalu melanjutkan S.2 di UM, dan sebentar lagi selesai. Setelah itu akan langsung melanjutkan S.3.
207


la juga tahu flat itu terdiri atas tiga kamar. Dua kamar mandi. Dapur. Dan ruang tamu. Yang tinggal di situ lima orang; Sugeng, Yahya, Arif, Rizal, dan Pak Muslim. Yahya dan Pak Muslim sudah menikah. Sedangkan yang lainnya masih bujang. Sewa flat itu enam ratus ringgit per bulan, atau sekitar satu juta enam ratus ribu per bulan. Baginya itu sangat mahal. Enam ratus ringgit ditanggung oleh penghuni rumah itu yang berjumlah lima. Sehingga masing-masing orang kena beban 120 ringgit per bulan. Jika berjumlah enam, maka masing-masing orang kena beban seratus ringgit. Yahya juga bercerita, bahwa awal-awal di Kuala Lumpur ia sempat bekerja mencuci piring di restoran dengan gaji yang sangat mepet. Ia juga pernah kerja di sebuah kedai foto copy. Bahkan ia pernah bekerja sebagai tukang bersih-bersih WC di Gedung Putra World Trading Centre atau biasa disingkat PWTC. "Apa saja saya lakukan u n t u k bisa h i d u p dan membayar uang kuliah. Meskipun diterima jadi dosen, tapi saya belajar ini tanpa beasiswa. Saya dulu sempat membawa isteri, tapi saya rasakan berat. Akhirnya sementara ini isteri tinggal di Malang dulu. Semoga saja nanti keadaan membaik. Dan saya bisa membawa isteri lagi kemari untuk menemani membuat disertasi Ph.D." jelas Yahya pada Zul. "Intinya tidak boleh malu. Tidak boleh menyerah. Dan harus terus bergerak. Saya dulu awal-awal kuliah di sini juga sama seperti Yahya. Hidup prihatin. Kerja apa pun asal halal dan bisa membuat saya semakin kaya saya l a k u k a n . Alhamdulillah s e k a r a n g saya bisa
208

membuka usaha bekerjasama dengan orang Malaysia. Cukup untuk menghidupi anak dan isteri. Begitu selesai doktor saya langsung akan pulang ke Indonesia." Pak Rusli menambahi. Tak lama kemudian Sugeng datang. Dan Arif yang tadi tidur, terbangun. Pertemuan itu jadi semakin hangat. Semua memberi semangat p a d a Zul. Zul merasa menemukan orang-orang yang baik dan tulus. Yahya bahkan menawarkan agar Zul tinggal saja di flat itu dan bisa tinggal satu kamar dengannya. "Tapi kamar saya agak sempit. Bagi saya tidak masalah dihuni dua orang. Jika hati dan jiwa kita lapang maka semua akan jadi lapang." Ucap Yahya dengan wajah cerah. Tak ada keraguan bagi Zul untuk memutuskan tinggal di flat itu bersama Yahya, Sugeng dan temantemannya. Sore itu ia memutuskan untuk langsung menginap di situ dan tidak kembali ke Subang Jaya. Setelah mantap bahwa Zul tidak akan terlantar, Pak Rusli mohon diri. Sebelum keluar pintu ia masih sempat berkata pada Zul "Saya akan coba mencari informasi. Jika ada lowongan nanti saya beritahukan. Yang jelas optimislah, bahwa Allah itu Mahakaya. Allah sudah mengatur jatah rejeki hamba-Nya. Tergantung bagaimana hamba-Nya itu memungutnya. Jika ada apa-apa. Perlu bantuan apaapa, telpon saya saja. Tak usah sungkan ya Zul." "Iya Pak. Terima kasih atas segala kebaikannya."
* * *

209


Malam itu Zul bertemu dengan seluruh penghuni flat itu. la tidak merasa menjadi orang asing di rumah itu. Malam itu juga ia mendapatkan saran-saran yang sangat membantunya dalam menentukan langkah selanjutnya di Malaysia. Semua yang ada di rumah itu ingin memberikan bantuan semampunya. Sugeng menawarkan diri untuk membantunya mengurus pendaftaran di UM. Karena Zul masuk ke Malaysia tanpa single entry maka urusan imigrasi pasti akan sedikit ada masalah. Rizal yang sudah punya pengalaman dalam masalah ini bersedia mendampingi Zul jika nanti harus berurusan dengan masalah visa. Yahya dan Arif akan membantu mencarikan informasi kerja. Dan Pak Muslim, yang paling tua di rumah itu, menawarkan sepeda motornya jika akan digunakan Zul. Pak Muslim akan mengadakan penelitian di Sabah selama tiga minggu. Berarti sepeda motornya bisa dipakai selama itu. "Ini masih bulan April. Awal semester bulan Juli. Masih ada waktu sekitar tiga bulan. Sebaiknya Zul daf tar dulu saja. Selama tiga bulan bekerja sungguh-sungguh agar bisa membayar awal semester. Yang pasti jumlahnya agak lumayan. Besok kita lengkapi syarat-syaratnya. Dan lusa kita m a s u k k a n berkas ke IPS. 7 U n t u k u a n g pendaftaran yang 30 dollar itu biar saya talangi dulu. Jadi, dua hari kita targetkan berkas sudah masuk. Setelah itu baru konsentrasi cari kerja. Bagaimana?" Jelas Sugeng. "Saya ikut saja." Lirih Zul. "Coba lihat, mana ijazahmu? Kau bawa kan?"
7

Zul mengangguk dan mengambil tas hitamnya. la keluarkan map berisi berkas-berkas pribadinya dari tas itu. la berikan m a p itu pada Sugeng. Sugeng lalu membuka dan meneliti dengan seksama. Ijazah SD sampai S.l ada di situ. Sugeng lalu melihat ijazah S.l itu dengan kening berkerut. "Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia ya?" "Iya Mas." Jawab Zul pelan "Pak Muslim, sini Pak!" Seru Sugeng pada Pak Muslim yang sedang asyik menulis di depan layar komputer di kamarnya. Pak Muslim langsung mendekat. "Iya ada apa Geng?" tanya Pak Muslim sambil membenarkan gagang kaca matanya. "Zul ini, S.l-nya jurusan pendidikan bahasa Indonesia. Sebaiknya kalau masuk S.2 UM di fakultas apa, jurusan apa, Pak?" Pak Muslim berpikir sejenak. Lalu berkata, "Lha Dik Zul sendiri ingin masuk fakultas apa?" "Fakultas pendidikan, Pak." Jawab Zul seraya mendongakkan kepalanya ke arah Pak Muslim yang berdiri di samping Sugeng. "Kalau gitu ya masuk fakultas pendidikan saja. Jurusannya, kalau saya boleh menyarankan sosiologi pendidikan saja." Sahut Pak Muslim. "Bagaimana dengan saran Pak Muslim, Zul?" tanya Sugeng. "Boleh. Saya sepakat." Malam itu Zul merasa menemukan sctitik cahaya yang bisa dijadikan sedikit penerang bagi jalan masa
211

IPS : Institute Postgraduate Studies.

210


depannya. la kembali mendapatkan gairah hidup yang baru. la merasakan kedamaian seperti rasa damainya saat dulu bisa melanjutkan pendidikan setelah lulus SD. la tetap bisa lanjut ke SMP meskipun harus dengan bekerja membantu Pakdenya di Pasar Sayung sepulang sekolah. la merasa bahagia saat itu, sebab banyak temantemannya yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Mereka selesai SD langsung bekerja di sawah atau kerja di pabrik-pabrik yang ada di Kawasan LIK Semarang. Malam itu, untuk pertama kalinya ia tidur dalam keadaan lebih nyaman dan tenteram. Dadanya terisi cahaya optimisme dan semangat. Bertahun-tahun sebelumnya ia selalu tidur dalam bayang kekuatiran, rasa takut dan ketidakpastian hidup. Ia mengalami itu sejak Pakdenya, orang yang merawatnya sejak kecil, meninggal saat ia masih di bangku kelas 3 SMA. Sejak itu ia seperti merasakan ketidakpastian hidup. Dengan berusaha tetap tegar ia akhirnya berhasil juga menyelesaikan SMA-nya bahkan bisa tetap kuliah. Dan selesai juga kuliahnya. Namun selesai kuliah ia belum juga mantap menapakkan kakinya. Hal itulah yang membuatnya merantau. Dari Semarang ke Jakarta. Lalu ke Batam. Dan akhirnya ke Malaysia. Dan malam itu, setelah ia bertemu dengan orangorang yang b e r p e n d i d i k a n dan tulus, ia banyak mendapatkan pencerahan. Kisah hidup Yahya yang begitu rendah hati mau bekerja apa saja saat menuntut ilmu membuatnya kembali terlecut. Ia dulu, saat kuliah di Semarang, juga pernah mengalami apa yang Yahya alami. Saat kuliah ia pernah bekerja menjadi tukang
212

becak, kuli panggul di Pasar Genuk, satpam di LIK, dan terakhir penjaga parkir di Pasar Johar. Yang ia rasakan, bedanya Yahya dengan dirinya adalah Yahya begitu mantap dan bahagia dengan apa yang dilakukannya. Yahya menganggap hal itu bukan beban, tapi suatu kenikmatan. Yahya memasukkannya sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian. Tapi dia selama ini bekerja, selalu saja menganggap sebagai beban. Dalam hatinya selalu saja masih ada rasa kuatir dan merasa tertekan. Dan malam itu ia mendapatkan pencerahan yang membuatnya merasa lebih tenang. Malam itu ia tidur dengan bibir menyungging senyum optimis. Ia optimis telah menemukan jalan untuk memperbaiki masa depan. Ia tidur dengan sama sekali tidak mengingat Mari, Iin, Sumiyati dan Linda di Subang Jaya. Sementara di Subang Jaya sana, Mari berangkat tidur dengan perasaan kehilangan. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang dari hatinya. Ia telah mendapatkan informasi pekerjaan untuk Zul. Dan ia pulang dengan perasaan bahagia, sebab ia yakin Zul masih ada di rumahnya. Dan ia akan memberikan informasi pekerjaan itu pada pemuda itu. Ia akan melihat pemuda itu bahagia lalu mengucapkan terima kasih padanya. Namun ia kecewa saat ia dapati Zul tidak ada. Ia masih berharap, malam itu Zul akan kembali ke rumah itu. Namun ia kembali kecewa. Sampai pukul satu malam ia menunggu Zul tidak juga muncul. Akhirnya ia tidur dengan perasaan masygul.
***

213


Lima

eBook by MR.

Dua hari pertama di Pantai Dalam Kuala Lumpur, Zul sibuk mengurus berkas-berkas pendaf tarannya ke Universiti Malaya. Dengan sabar Sugeng menemani dan mengantar ke sana kemari. Sugeng juga yang mengusahakan rekomendasi dari dua orang guru besar di Universiti Malaya (UM). Dan di hari ketiga berkas itu berhasil dimasukkan ke Institute Postgraduate Program (IPS). Zul mengambil program kerja kursus dan tesis di Fakultas Pendidikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. "Kita tinggal menunggu surat panggilan dari UM. Jika diterima nanti pihak IPS UM akan mengirim offer
215


letter ke alamat kita. Dengan offer letter itulah nanti kamu mengurus registrasi dan lain sebagainya." Jelas Sugeng pada Zul setelah berhasil memasukkan berkas ke IPS. "Berapa lama kita menunggu offer letter Mas?" "Mungkin dua bulan lagi sudah kita terima. Sekarang yang paling penting kamu mempersiapkan biaya untuk registrasi jika diterima nanti. Jika ditotal paling tidak nanti kamu harus keluar uang tiga ribu ringgit lebih." "Besar sekali ya Mas." "Ini untuk pertama kali saja. Setelah itu tiap semester biaya SPP-nya terus turun. Kalau ditotal biaya kuliah di sini dengan di Indonesia kurang lebih sama. Namun jika kita bandingkan f asilitasnya, rasanya di sini lebih murah. Hanya saja biaya hidupnya di sini cukup tinggi. Tetapi dengan menyempatkan diri sambil bekerja, semua biaya bisa ditutupi. Sekali lagi yang agak berat itu memang biaya masuk awalnya." "Saya harus menyiapkan tiga ribu ringgit lebih ya Mas." "Iya." Zul mengerutkan keningnya. Dalam waktu sekitar tiga bulan ia harus mencari uang sebanyak itu. Ia agak gamang, apakah ia bisa. "Jangan kuatir, yang penting Zul berusaha dulu. Jika nanti masih kurang, saya akan bantu mencarikan pinjaman dulu. Yang penting, Zul bisa mulai kuliah untuk sesi Juli yang akan datang." "Iya Mas, terima kasih atas segalanya. Saya akan berusaha keras. Tadi pagi setelah shalat Subuh Mas Rizal
216

mengajak saya untuk kerja lembur di restoran sebuah hotel nanti malam." "Kalau begitu ayo kita pulang sekarang Zul. Kau perlu istirahat untuk persiapan nanti malam. Sementara nanti pukul dua saya ada jadwal mengajar budak-budak 8 Malaysia di Damansara." "Ayo Mas, berarti kita shalat Zuhur di surau di bawah flat kita." "Iya." * * * Sore itu menjelang Maghrib, Zul telah siap-siap untuk mulai kerja pertama kalinya di negeri Jiran. Ia begitu bersemangat. Sebab ia punya tujuan yang jelas untuk apa bekerja. Rizal senang melihat Zul bersemangat. Ia senang, sebab malam itu ada yang menemaninya. Selama ini ia biasanya sendirian saja. "Kita harus sampai di Hotel Grand Season sebelum pukul setengah delapan. Pesta ulang tahun selebriti Malaysia ini akan berlangsung dari pukul delapan sampai pukul sebelas malam. Kita mungkin akan pulang sekitar pukul satu malam. Sebab selain kita bertugas menjadi pelayan yang menghidangkan makanan. Kita juga bertugas membersihkan peralatan setelah acara itu. Bagaimana kau siap Zul?" "Siap Mas." "Ayo kita berangkat."

8

Anak-anak. Orang Malaysia menyebut anak dengan kata budak.

217


Mereka berdua lalu turun dari flat. Lalu dengan sepeda Honda tua tahun tujuh puluhan mereka meluncur menyisiri jalan raya Kuala Lumpur. "Kenapa tadi tidak memakai motornya Pak Muslim saja Mas? Lebih cepat." Kata Zul saat melihat Rizal berkali-kali melihat jam tangannya sambil mengendari sepeda motor tuanya. "Memakai milik sendiri meskipun tua seperti ini rasanya lebih nyaman. Insya Allah tidak terlambat kok." Jawab Rizal. "Semoga Mas." Mereka berdua akhirnya sampai di Hotel Grand Season yang berada di kawasan Chow Kit tepat pukul 19.15. Mereka langsung shalat Maghrib. Selesai shalat Maghrib mereka mendapat briefing dari penanggung jawab restoran. Dan malam itu Zul bekerja dengan penuh hati-hati dan dedikasi. Ia begitu semangat, seolah tidak terasa lelah. Dalam acara yang serba mewah dan glamour itu ia bisa melihat dari dekat selebritis-selebritis papan Malaysia. Termasuk diva pop Malaysia yang sangat terkenal di Indonesia. Hanya saja ia tidak berani kenalan, minta tanda tangan atau minta foto bersama. Dalam hati kecil ada juga sebenarnya keinginan untuk sekadar m e n y a p a b a h k a n minta t a n d a tangan. Ia hanya membayangkan jika bisa foto bersama artis paling populer di Malaysia dan Indonesia itu, lalu bisa memasang foto itu di kamarnya, atau mengirim foto itu pada temantemannya di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia. Namun ia tak memiliki keberanian untuk melakukan itu
218

semua. la juga merasa, sebagai pelayan, sangat tidak etis jika sampai berani melakukan hal itu. Di akhir acara, ia sempat diajak bicara oleh seorang wartawati sebuah stasiun televisi Malaysia. Cantik. Ia sangat tersanjung. Wartawati itu, entah iseng entah serius menanyakan ia berasal dari mana? Lulusan apa? Dan apa motivasinya kerja di restoran hotel itu? Ia menjawab semuanya dengan jujur. Bahwa ia berasal dari Indonesia. Lulus S.l dari sebuah universitas di Semarang. Dan kerja di situ karena harus survive dan harus bisa membayar biaya SPP-nya di UM. Wartawati itu agak terkejut. "Jadi awak sekarang sedang buat master di UM?" "Iya." "Dan awak ini bekerja untuk bayar studi awak?" "Iya." "Wah boleh. Awak boleh dikata seorang wira 9 sejati. Saya takjub sama awak. Kalau boleh tahu ambil fakulti apa?" "Fakulti Pendidikan, spesialisasi Sosiologi Pendidikan." "Terima kasih. Saya sangat kagum dengan awak. Semoga berjaya. Ini kad nama saya. Suatu masa nanti kita lanjutkan pembualan kita ya? O ya lupa lagi, siapa nama awak tadi?" "ZulHadi." "Zul Hadi. Ada number yang bisa dikontak tidak?" "Wah tak ada. Tapi saya ada alamat email mau?"
9

Kesatria, pahlawan.

219


"A...boleh,boleh." Zul lalu menyebutkan alamat emailnya. Wartawati itu mencatatnya di note book-nya. Lalu wartawati itu pergi sambil menganggukkan kepala dan melempar s e n y u m kepadanya. Zul balas m e n g a n g g u k dan tersenyum. Pengalaman pertamanya kerja di Kuala Lumpur malam itu sangat mengesankan. Malam itu, ia pulang pukul setengah dua malam. Di tengah perjalanan hujan deras turun. Rizal nekat menerobos hujan itu. Dan malangnya, rantai sepeda motor tua itu putus. Jadilah mereka berdua jalan kaki sepanjang empat kilometer sambil menunrun motor. Mereka sampai di Pantai Dalam pukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul, "Sorry Zul ya. Jika pakai sepeda Pak Muslim, mungkin kita tidak perlu jalan kaki sejauh itu." "Tak apa-apa Mas. Malah jadi kenangan indah tak terlupakan." "Ya. Nanti bisa kita ceritakan ini pada anak cucu kita hahaha." "Hahaha." Begitulah. Sejak itu Zul larut dalam dunia kerjanya. Ia benar-benar mati-matian bekerja. Siang dan malam. Demi bertahan hidup dan demi bisa membayar uang kuliahnya. Selain bekerja insidentil di hotel-hotel kalau ada acara-acara besar, secara rutin siang hari Zul bekerja di pom bensin selama enam jam. Rizal jugalah yang mencarikan kerja di pom bensin itu. Dan malam hari ia ikut Arif bekerja sebagai pelayan Jamaliah Cafe di daerah
220

Taman Seputeh. Biasanya ia berangkat pukul tujuh malam dan pulang pukul tiga pagi. Nyaris ia hanya istirahat beberapa jam saja setiap hari. Karena kesibukannya itu, ia belum juga sempat mengambil barangbarangnya yang ia tinggal di rumah Mari, di Subang Jaya. Ia bahkan nyaris melupakannya. Suatu hari ia hanya bisa mengirim SMS kepada Mari:
"Assalamu'alaikum Mbak Mari. Maaf ya, sy blm bs ke tmpt Mbak. Juga maaf pada wkt itu tdk smpt pamitan. Alhamdulillah sy sdh dpt kerja. Dan sdh dpt t m p t tnggl yg nyaman. Trs trng sy sdng sngt sibuk. Nnti jk sdh agak longgar sy k t m p t mbak untk ambil barang insya Allah. Terima kasih atas sgl kebaikannya ya. Dari adikmu: Zul."

Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari. Karena ia merasa Mari m e m a n g tepat dijadikan kakaknya. Dan saat bertemu untuk pertama kali ia merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari menganggap dirinya sebagai adiknya. Smsnya itu langsung dibalas oleh Mari,
"Wassalamu'alaikum wr wb. Alhdulillah kau ternyata masih hidup :) Aku smpat khwtir krn kau pergi dan dua bulan tdk ada kbrnya. Ya, smg sehat dan sukses. Barangbarangmu masih terjaga dgn baik di sini. Oh ya skdr informasi, jk nnti ke sini mngkn tak akan bertm Mbak Iin lagi. Dia sdh pulang ke Indonesia tiga hari yang lalu. Dan kemngkinan besar tidak akan kembali lagi ke sini. Terima kasih t e l a h m e n g a n g g a p k u sebagai k a k a k . Selamat bekerja. O ya apakah ini nomor hpmu? Salam sayang dari kakakmu: Mari."

Ia bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan bahwa Mari memang orang yang tulus. Menolong dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit dalam pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya
221


lebih muda darinya. la merasa bisa jatuh cinta padanya. Cepat-cepat ia menepis pikiran yang tidak-tidak itu. la lalu menjawab pertanyaan Mari,
"Mbak ini bukan nomor hp saya. Tapi nomor teman s a y a . Tapi saya p u n y a a l a m a t e m a i l . Jika i n g i n m e n g a b a r k a n s e s u a t u k p d sy, ini a l a m a t n y a : zoel_guanteng@okaymail.com. Terima kasih."

Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan. Begitulah Al-Quran membahasakan. Apa yang kaualami sekarang ini pernah saya alami. Kau masih lebih b e r u n t u n g Zul, sebab bisa bayar registrasi tanpa berhutang. Saya dulu sampai berhutang. Mari kita petakan apa yang kauhadapi satu per satu. "Jika kau aktif kuliah artinya waktumu untuk bekerja di siang hari sangat sedikit. Tapi kau bisa bekerja Sabtu dan Minggu. Sebab masa aktif kuliah cuma lima hari. Tapi saya sering lihat juga, bahwa untuk pascasarjana fakulti pendidikan sering masuk sore hari. Sebab mahasiswa dari pribumi Malaysia banyak yang dari kalangan guru. Pagi mereka mengajar, baru mereka bisa masuk kuliah sore hari. Yang paling penting, kau harus pastikan jadwal kuliah secepatnya. Baru bisa menata kapan dan di mana kau bisa kerja. Dan ada lagi yang juga sangat penting Zul, yaitu mulai sekarang kau harus memiliki sepeda motor sendiri. Selama ini kau bisa pinjam Rizal, Pak Muslim, atau siapa saja yang sepeda motornya nganggur. Tapi sekarang tidak bisa Zul. Kau sudah punya jadwal kuliah. Dan kau akan punya jadwal kerja sendiri, yang berbeda dengan Rizal sekalipun. Kalau kemarin kau bisa berangkat kerja bersama Rizal, sekarang belum tentu bisa. "Menurut saya, sepeda motor sudah kebutuhan primer bagi mahasiswa UM. Tidak sekunder lagi. Bahkan kalau disuruh memilih penting mana sepeda motor sama komputer? Saya akan langsung jawab; penting sepeda motor. Kita tidak akan leluasa bergerak tanpa sepeda motor. Tapi kita masih bisa mengerjakan tugas dengan
223

Ia lalu menerima jawaban singkat dari Mari,
"Ya. Baik."

*** Zul terus berjuang dan bekerja. Suatu hari datanglah surat dari Universiti Malaya. Zul benar-benar diterima di perguruan tinggi tertua di Malaysia itu. Dan setelah mati-matian bekerja siang dan malam selama tiga bulan, ia bisa membayar registrasi pascasarjananya. Namun uangnya habis untuk registrasi dan mengurus student pass. Padahal ia harus segera aktif kuliah. Ia tidak bisa lagi kerja full time seperti dulu. Tapi pemasukannya harus tetap seperti dulu. Ia agak bingung menyikapi hal itu. Apalagi jika ia harus naik bus setiap hari dari Pantai Dalam ke UM. Ongkos hidupnya jadi semakin bertambah. Apa yang ia hadapi itu ia sampaikan kepada Yahya, orang saat ini ia anggap paling dekat dengannya. Sebab Yahya tinggal satu kamar dengannya. Yahya menyimak apa yang disampaikan Zul dengan penuh perhatian. Ia menjadi pendengar yang baik. Setelah Zul menyampaikan masalahnya secara tuntas, Yahya menanggapi, "Bisa disiasati. Sesungguhnya setiap kali Allah menghadapkan manusia pada satu masalah, sebenarnya Allah juga menyiapkan jalan keluarnya. Inna ma'al 'usriyusra.
222


baik meskipun tidak memiliki komputer. Sebab di kampus fasilitas komputer sangat berlebih. Di mana-mana ada komputer dan internet. Itu yang bisa saya sarankan Zul." Zul memikirkan dan merenungi saran Yahya benarbenar. Apa yang disarankan Yahya ia rasakan banyak benarnya. Ia harus punya sepeda motor meskipun tua dan butut. Akhirnya dengan memberanikan diri, ia meminjam uang pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor. Ia membeli sepeda motor yang murah, Suzuki tahun tujuh puluhan akhir. "Yang penting bisa jalan dan mengantarkan sampai tujuan." Gumamnya dalam hati. Setelah itu ia melihat jadwal kuliahnya. Dan menata jadwal kerjanya. Dengan terpaksa kerja di pom bensin ia tinggalkan. Sebab kerja di pom bensin itu banyak bertabrakan dengan jadwal kuliahnya. Sebagai gantinya ia kerja di warung runcit. Berangkat pukul delapan sampai pukul dua siang. Setiap hari. Jadwal kuliahnya banyak di sore hari. Mulai pukul tiga atau pukul empat. Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai Jamaliah Cafe. Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul setengah sepuluh sampai pukul dua belas malam. Ia hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat Subuh. Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh ia tidak belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk belajar. Maka baginya waktu setelah shalat Subuh sangat mahal. Ia merasa beruntung tinggal satu kamar bersama Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar setelah shalat Subuh.
224

"Saya belajar setelah shalat Subuh ini sejak di SD. Saya ini aneh, untuk buku-buku yang serius saya hanya bisa konsentrasi jika membacanya pada pagi hari. Ya setelah shalat Subuh itu. Biasanya kalau yang saya baca setelah shalat Subuh itu banyak melekatnya di otak." Kata Yahya pada Zul suatu ketika. "Dan lagi setelah shalat Subuh itu waktu yang penuh barakah. Baginda Nabi sudah menjelaskan bahwa barakah untuk umatnya diturunkan pada waktu pagi. Jika kita ingin dapat banyak barakah ya berarti kita harus menghidupkan waktu pagi kita. Waktu Subuh dan setelah Subuh kita." Sambung Yahya. "Wah cocok sekali apa yang Mas Yahya sampaikan dengan fenomena yang saya amati. Itu orang-orang China yang kaya-kaya. Baik di Indonesia atau di Malaysia, mereka itu selalu m e m b u k a toko d a n dagangannya pagi-pagi sekali. Saya punya teman di Batam, dia pernah menjadi pembantunya orang China di Jakarta. Dia cerita, tuannya itu sudah bangun pagi sejak pukul empat pagi. Begitu bangun pagi langsung melihat siaran televisi dunia. Melihat indeks harga saham dunia. O jadi nyambung sama barakahnya waktu pagi." "Iya Zul. Semestinya kita harus bangun lebih pagi dari orang China." "Benar Mas." ***

225


Enam

Tak terasa Zul telah melewati satu semester. Selama itu ia seperti tidak mengenal siang dan malam. Hariharinya ia lewati dengan bekerja dan belajar. Bekerja dan belajar. Ia tampak lebih kurus dari hari pertama saat ia tiba di Malaysia. Hidup setengah tahun lebih bersama Yahya membuatnya lebih banyak tahu tentang ajar an agamanya. Ia yang selama ini tidak mendapat pengajaran agama secara mendalam, banyak mendapat masukan-masukan tentang keindahan Islam. Sedikit demi sedikit Yahya memberikan pencerahan, tanpa terasa.
227


Tidak ada waktu khusus mengaji pada Yahya. Cukuplah interaksi harian menjadi tempatnya menimba ilmu. Malam itu Kuala Lumpur hujan deras. Zul bangun dan shalat Tahajjud. Di keheningan malam itu ia memuhasabahi dirinya sendiri. Ia merenungi perjalanan hidupnya selama ini. Banyak sekali tingkah lakunya yang jauh dari perilaku yang dibenarkan oleh agama. Ia jadi teringat masa SMA-nya dulu. Ia pernah pacaran dengan anak SMA tetangga desa. Ia pacaran diam-diam. Pakdenya, yang menjadi pengasuhnya, tidak pernah tahu. Ia pernah pergi dengan pacamya itu malam mingguan di Simpang Lima Semarang. Dan astaghfirullah ia bergandeng tangan dan duduk berpelukan mesra dengan pacarnya itu sambil nonton ramainya kawasan Simpang Lima. Ia putus dengan pacarnya, setelah lulus SMA. Pacarnya itu dikawinkan paksa oleh orangtuanya. Dan ia tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Tahu-tahu ia mendapat kabar pacarnya sudah kawin dan hidup bersama suaminya di luar Jawa. Ia sempat sakit hati. Lalu saat kuliah di IKIP ia sempat pacaran lagi. Hanya bertahan dua bulan. Ia putuskan pacarnya itu setelah ia tahu pacarnya itu temyata punya pacar selain dia. Ia sakit hati. Setelah itu ia tidak pernah pacaran lagi. Dua kali ia dikhianati perempuan, dan baginya itu cukup. Ia tak mau lagi. Ia bersyukur kepada Allah yang menjaganya, hanya dua kali saja pacaran. Dan tidak sampai melakukan yang lebih dari sekadar bergandeng tangan dan berpelukan. Ia tidak bisa membayangkan jika Allah tidak menjaganya. Mungkin ia telah berbuat maksiat yang lebih besar lagi madharatnya.
228

Dari Yahya ia tahu bahwa tidak halal menyentuh tubuh perempuan yang bukan mahramnya. Tidak halal berasyik-masyuk dengan perempuan yang bukan isterinya. Pacaran adalah cara setan menggiring umat manusia agar jatuh pada perbuatan nista yang dikutuk semua agama, yaitu zina. Banyak orang melakukan pacaran yang—karena masih disayang Allah—diselamatkan oleh Allah dari dosa besar itu. Namun tidak terhitung jumlahnya manusia yang melakukan pacaran dan akhirnya jatuh ke lembah nista itu, yaitu melakukan perzinahan berulang-ulang kali. Zul jadi merinding mengingat hal itu. Berulang-ulang kali ia mengucapkan istighfar. Ia membayangkan seperti apa besar dosanya. Berapa kali ia bermesraan dan berpelukan dengan perempuan yang tidak halal baginya. "Astaghfirullahal adhim. Ya Allah ampuni dosadosaku. Ampuni kebodohanku. Ampuni perbuatanperbuatan jahiliyahku." Ia menangis bila mengingat yang terjadi pada teman satu kelasnya di SMA. Dua sejoli si Fulan dan si Fulanah. Mereka berpacaran dan kebablasan. Si Fulanah hamil. Keduanya mengakui perbuatan keji itu pada pihak sekolah. Akhirnya keduanya dinikahkan oleh keluarga mereka. Dan tepat satu minggu sebelum ujian akhir keduanya dikeluarkan dari sekolah. Sebelum pergi ke Jakarta ia mendengar kabar keduanya cerai. Lebih menyedihkan lagi si Fulanah kabarnya bekerja di Sunan Kuning10 dan si Fulan dipenjara karena terlibat curanmor.
10 Sunan Kuning adalah nama sebuah lokalisasi di Kota Semarang, lebih dikenal dengan singkatan SK.

229


Jika Allah tidak mengasihinya, bisa jadi nasibnya lebih buruk dari si Fulan dan si Fulanah. Sebab saat ia pacaran ia nyaris pernah melakukan perbuatan yang dilarang itu dengan pacarnya. Zul kembali menangis mengingat hal itu, "Ya Allah kalau tidak Kauselamatkan diriku. Akan jadi apakah diriku ini? Akan jadi budak setankah? Akan jadi makhluk yang durhaka kepada-Mu kah? Ya Allah, terima kasih ya Allah telah menyelamatkan diriku. Ya Allah aku ingin hidup lurus di jalan-Mu. Ampunilah dosadosaku yang telah lalu. Limpahkanlah hidayah-Mu dan jagalah diriku dari perbuatan maksiat dengan penjagaanMu yang tidak pernah luput sekejap pun juga." Di akhir muhasabahnya ia teringat kebersamaannya dengan Man dan teman-temannya. Juga perjumpaannya dengan Linda. Ia mohon ampun kepada Allah jika ada perbuatannya yang dosa, juga memintakan ampun kepada Allah untuk Mari, Iin, Sumi dan Linda. Walau bagaimanapun Mari telah memberikan pertolongan padanya. Pagi harinya entah kenapa ia merasa ingin bersilaturrahmi ke rumah Mari di Subang Jaya. Beberapa kali ia menepis keinginan itu. Ia katakan pada dirinya bahwa besok-besok masih ada waktu untuk mengambil barangbarangnya. Namun keinginannya untuk pergi ke rumah Mari entah kenapa terus mendesaknya. Pada akhirnya ia tetap merasa harus bersilaturrahmi hari itu dan pagi itu juga. Ya, bersilaturrahmi sekadarnya saja. Sambil mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal di sana. Ia belum mengucapkan terima kasih
230

secara langsung pada Mari. Selain itu ia masih memegang kunci rumah itu. Ia benar-benar lupa kalau memegang kunci milik Linda. Ia harus mengembalikan kunci itu segera. Pagi itu tepat jam delapan, setelah sarapan roti canai ia langsung ke stasiun KTM. Ia tidak membawa apa-apa. Kecuali tas cangklong hitamnya. Ia bahkan tidak memakai sepatu, hanya memakai sandal jepit hitam. Dari stasiun Pantai Dalam ia ke KL Sentral. Lalu dari KL Sentral ia naik bus ke Subang Jaya. Di tengah perjalanan ketika bus baru keluar dari KL Sentral hujan turun dengan deras. Bus tetap melaju dengan tenang. Zul menikmati indahnya kota Kuala Lumpur dalam siraman air hujan. Air mengalir dengan teratur ke selokan-selokan yang diatur rapi. Paru-paru kota yang ada di hampir setiap sudut kota menyerap air hujan dengan segera. Tak ada banjir tak ada air menggenang. Zul boleh salut pada tata kota Kuala Lumpur. Bus melaju dengan kecepatan sedang dan sampai di Subang Jaya pukul sepuluh siang. Zul turun dari bus. Hujan masih turun rintik-rintik. Ia menutup kepalanya dengan tas hitamnya. Iaberjalan sambil mengingat-ingat jalan menuju rumah Mari. Sambil berjalan ia meraba saku celananya u n t u k meyakinkan bahwa kunci yang dulu dipinjamkan oleh Linda telah terbawa. Ia meraba dan menemukannya. Ia melangkah dengan cepat. Ia telah memasuki kawasan Taman Subang Permai. Ia ingat jalan depan belok kanan. Rumah keempat dari ujung jalan itulah rumah Mari. Tiba-tiba hatinya berdegup kencang. Ia teringat Linda. Yang ada di rumah itu pada waktu siang biasanya
231


adalah Linda. Yang lain pergi kerja. Dan hujan-hujan begini ia akan mengetuk rumah itu dan bertemu Linda. Yang bisa jadi ia akan mengenakan pakaian yang tidak menjaga susila seperti dulu lagi. Ia jadi ragu. Antara meneruskan langkah atau pulang. Sementara rinai hujan masih terus turun. Akhirnya ia nekat tetap maju meneruskan langkah. Niatnya adalah mengembalikan kunci, mengambil barang-barangnya, dan menyampaikan rasa terima kasih. Bukan yang lain. Ia meniatkan diri untuk tidak lama di rumah itu. Mungkin cuma dua atau tiga menit saja. Ia bisa beralasan sibuk pada Linda. Sejurus kemudian Zul sudah sampai di depan rumah Mari. Ada mobil Proton Saga berwarna merah hati di depan gerbang. Pintu besi rumah itu terbuka. Namun pintu kayunya tertutup rapat. Artinya ada orang di dalam. Tiba-tiba ia mendengar suara barang dibanting. Seperti piring. Hujan kembali turun semakin lebat. Ia mempercepat langkah menuju teras. Bersama suara guntur yang menggelegar ia mendengar suara perempuan menjerit-jerit minta tolong dari dalam rumah. Ia kaget. Spontan ia lari ke pintu. Ia menggedor-gedor pintu. Pintu terkunci. Ia ingat, bahwa ia membawa kunci rumah itu. Suara perempuan dari dalam rumah kembali menjerit-jerit minta tolong. "Toloong, tolooong! Jangan! Jangan!" Halilintar kembali menyambar. Ia menyangka suara itu adalah suara Linda yang mungkin hendak dianiaya oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Walaupun ia tidak suka dengan perbuatan dan cara berpikir Linda,
232

tapi ia merasa perempuan itu tetap harus ditolong. la membuka pintu. Dan... Alangkah terkejutnya ia. Di ruang tamu itu ia melihat Mari tengah bergelut melawan seorang lelaki gundul bertubuh besar yang hendak merogolnya.11 Mari merontaronta sekuat-kuatnya. Kedua kakinya menendangnendang. Pakaiannya bagian atas tidak sempurna lagi menutupi tubuhnya. Ia melihat Mari mati-matian mempertahankan celana jeansnya yang hendak dilepas paksa. Melihat kemungkaran itu emosi Zul tidak tertahankan lagi. Darahnya mendidih. Ia langsung membentak dengan sekeras-kerasnya, "Hai bajingan! Berhenti kau! Kurang ajar!" Bersama dengan meluncurnya bentakan keras dari mulutnya ia langsung melompat menendang lelaki itu, tepat saat lelaki itu kaget dan menoleh ke arahnya. Tendangan itu mengenai muka lelaki gundul itu. Tepat di h i d u n g n y a . Tak ayal t u b u h lelaki g u n d u l itu terpelanting dari atas tubuh Mari. Mari langsung bangkit dan lari ke pojok ruangan sambil mendekap tubuhnya yang gemetar ketakutan. "Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusanku!" Lelaki itu berdiri dengan amarah memuncak di ubunubunnya. Ia memegangi hidungnya yang terasa sakit. Zul tidak gentar. Ia pernah dikeroyok oleh preman Pulo Gadung dan tidak m a t ! meskipun saat itu tidak bisa dikatakan ia menang atau kalah. Yang jelas ia tidak mati. Zul balik menggertak,
11

Merogol = memperkosa.

233


"Justru seharusnya aku yang harus bertanya. Siapa kau bajingan berani kurang ajar sama kakakku!" "Apa? Mari itu kakakmu! Dasar penjahat. Rupanya kau ya yang membawa lari Mari kemari. Ketahuilah aku adalah Warkum, suami Mari yang sah. Aku ingin membawa dia kembali ke rumahku!" "Dasar bajingan iblis! Kau bukan suamiku lagi! Aku tidak sudi melihatmu apalagi kembali padamu!" "Tutup mulutmu perempuan sundal! Mau tidak mau kau tetap isteriku! Dan kau kucing alas, jangan ikut campur urusan rumah tangga orang lain ya! Atau...." "Atau apa? Aku sudah tahu semuanya. Kau dan Mari tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kau boleh bawa Mari ke mana saja asal bisa melangkahi mayatku!" "Kurang ajar!" Lelaki botak itu mengayunkan pukulan tangannya dengan sekuat tenaga. Jika pukulan itu mengenai dada Zul, bisa jadi dada yang tipis itu akan rontok. Tapi Zul yang sudah pernah belajar karate saat kuliah dan pernah berkelahi dengan preman dengan tenang mengelit sambil menyarangkan tendangan ke perut Warkum. Warkum terhuyung. Emosinya semakin menghebat. "Setan alas!" Ia langsung mengambil kursi plastik dan mengayunkan ke kepala Zul. Zul menghindar. Warkum terus memburu. Satu sabetan Warkum mengenai pelipis Zul. Langsung berdarah. Di pojok ruangan Mari menjerit histeris. Zul berusaha tetap tenang. Ia mencopot sandalnya yang ia rasa mengganggu gerakannya. Ia
234

mencari peluang untuk menyarangkan serangan yang telak. Warkum terus memburunya dengan ganas. Melihat darah mengalir di pelipis Zul, semangat Warkum untuk membunuh semakin membara. Pada saat Warkum merasa bisa menghantam Zul dengan kursi plastiknya ia langsung mengerahkan segenap tenaganya. Sabetan itu sangat keras. Pada saat menyabet kaki Warkum tidak kokoh menapak di bumi. Dengan gesit Zul mengelak dengan menjatuhkan diri ke lantai. Lalu ia melakukan tendangan memutar sekeras-kerasnya ke arah kemaluan Warkum. Tendangan itu sangat cepat dan keras. Tendangan itu yang tak lain adalah jurus buaya mengibaskan ekor yang pernah ia pelajari dari Mbah Tarmidi yang dikenal sebagai guru silat di desanya. Kekuatan yang digunakan menyerang dalam tendangan itu adalah kekuatan putaran kaki dan senjata untuk melakukan serangan adalah kerasnya tumit kaki. Tendangan Zul sangat akurat. Akibatnya... "Plakk!" Tendangan Zul tepat mengenai sasaran. Tumitnya menghantam kemaluan Warkum dengan sekeraskerasnya. Warkum langsung terjengkang dan mengerang kesakitan. Kursi plastik itu terlepas dari tangan Warkum. Zul tidak mau membuang kesempatan. Ia langsung menyarangkan tendangan keras ke rahang Warkum. Warkum kembali mengaduh.' Ia berusaha bangkit. Namun Zul langsung memukulnya dengan kursi kayu sekeras-kerasnya. Warkum mengerang sambil mengucapkan kata-kata kotor. Zul melihat televisi yang
235


telah hancur. la angkat televisi itu dan ia tumpukkan ke muka Warkum. Muka itu langsung luka dan berdarah. Seketika itu Warkum mengaum minta ampun. "Sudan aku m e n g a k u kalah! Aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Tolong maafkan aku!" teriak Warkum sambil memegangi kemaluannya. Zul melihat ke arah Mari. "Mbak mau memaafkan dia?" tanya Zul. Mari menggelengkan kepala. Zul melangkah ke kamar Mari yang terduduk gemetar di pojok ruangan. Ia pernah melihat ada palu di bawah meja rias. Jika tidak dipindah palu itu pasti masih ada di sana. Dan benar palu itu masih ada di sana. Zul langsung m e m u n g u t n y a . Sementara Mari masih mematung di pojok ruang tamu. Warkum berusaha bangkit. Pada saat ia mau bangkit Zul telah kembali ke ruang itu dan langsung menendang kepala Warkum yang gundul itu sekeras-kerasnya. Warkum langsung mengaduh, "Ampun tolong. Aku mengaku kalah! Biar aku pergi! Ampuni aku!" Kini tangan kanan Zul memegang palu erat-erat. "Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?" Mari menggelengkan kepala. Begitu langsung kanannya kerasnya. melihat Mari menggelengkan kepala, Zul m e m u k u l k a n palu yang ada di tangan itu ke jari kaki kanan Warkum sekerasZul memukulnya dengan cepat tiga kali
236

berturut-turut. Warkum merasakan tulang jari kakinya remuk. Ia menjerit sekuat-kuatnya minta ampun. "Bagaimana Mbak Mari mau memberi ampun?" tanya Zul. Mari diam saja. Warkum memandang Zul yang saat itu berwajah sangat dingin. Ia berusaha menyeret tubuhnya ke belakang. "Berhenti di tempat! Atau aku pukul gundulmu sampai pecah. Aku tahu kau bajingan dan punya anak b u a h banyak. Tapi kau h a r u s tahu aku ini tahu bagaimana cara memecah dan meremuk tulang kepala seorang penjahat seperti kamu. Tahu!" Zul membentak. Warkum seketika diam tak berani bergerak. Ia sudah benar-benar tidak berdaya. "Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?" Zul kembali bertanya pada Mari. Mari kembali menggelengkan kepala. Zul langsung mendekati Warkum. Warkum mengaduh minta ampun. "Letakkan tangan kananmu di lantai!" Perintah Zul. Warkum malah menggenggam tangan kanannya dan tangan kirinya seolah-olah hendak melindunginya. "Dengar, sekali lagi letakkan tangan kananmu di lantai atau aku akan menghancurkan kemaluanmu dan kau akan mampus saat ini juga!" Gertak Zul dengan muka merah padam. Warkum yang tak punya nyali itu dengan tubuh gemetar meletakkan tangan kanannya di lantai. "Hmm itu ya tangan yang selama ini digunakan untuk menjahati dan menodai kaum perempuan. Baik nihrasakan!"
237


Zul memukulkan palunya ke jari-jari Warkum dengan keras beberapa kali. Warkum merasakan sakit luar biasa. Sampai ia tidak bisa lagi menjerit. "Ini pertanyaan saya terakhir, Mbak Mari mau mengampuni penjahat ini? Jika tidak palu ini akan mengeluarkan otak penjahat ini dari batok kepalanya. Biar dia mampus di sini dan tidak akan mengganggu Mbak Mari lagi!" Mendengar kata-kata itu Warkum kembali memohon ampun. Warkum melihat bahwa ancaman Zul bukan gertak sambal saja. Ia melihat pemuda kurus yang menghajarnya ini punya nyali yang luar biasa dan jika nekat matanya seolah buta. "Mari, to... tolong maafkan aku! Aku tak ingin mari. A... aku khilaf. A... aku janji tidak akan mengganggumu lagi dan tidak akan menampakkan wajah di hadapanmu lagi!" Kata Warkum mengiba dengan suara terbata-bata. "Bagaimana Mbak Mari? Ini pertanyaan saya terakhir!" tanya Zul dengan wajah dingin. Mari bangkit dan melangkah lalu meludahi Warkum. "Saat ini aku belum bisa memaafkan dia Zul. Tapi biarkan dia pergi. Biarkan dia hidup. Jika kau bunuh dia nanti urusannya panjang!" "Aku tahu dunia preman. Urusannya tidak akan panjang Mbak. Kalau mau biar kubereskan dia. Sampah seperti dia inilah yang merusak kesucian anak gadis di mana-mana. Dia tak pantas hidup!" "Biarkan dia pergi Zul!" "Baik Mbak."
238

Warkum langsung berkata, "Te... terima kasih Mari!" "Hei, cepat pergi. Sebelum aku berubah pikiran! Ingat, hari ini kau berhutang nyawa pada Mbak Mari. Sebab jika tidak karena dia menyuruh membiarkanmu pergi, gundulmu itu pasti sudah hancur! Cepat pergi!" Bentak Zul dengan mata dipelototkan. Dengan susah payah Warkum bangkit. Zul mengambil kain penutup meja dan melempar ke muka Warkum. "Hei, usap lukamu dengan ini!" Warkum berdiri. Ia mengusap darah yang mengalir dimukanya. Juga darah yang keluar dari jari-jari tangan kanannya yang hancur. Dengan langkah pincang tertatihtatih ia berjalan keluar rumah. Di luar hujan tinggal menyisakan gerimis. Zul mengikuti sampai di pintu. Ia mengamati Warkum dengan pandangan dingin. Susah payah Warkum masuk ke dalam mobilnya. Ia lalu menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Begitu deru mobil itu tidak terdengar lagi Zul masuk dan langsung duduk di sofa. Mari langsung menghambur bersimpuh menangis di kaki Zul. Mari menangis terisak-isak mengucapkan rasa terima kasih dengan terbata-bata. Zul terpana sesaat seakan hilang kesadaran. Ia mematung tak tahu harus berbuat apa menerima luapan keharuan Mari yang ditumpahkan sepenuhnya kepadanya. Beberapa saat kemudian kesadarannya pulih kembali. "Mbak Mari sudahlah. Tolong Mbak bangkit ke kamar dan merapikan pakaian Mbak!" Ucap Zul pelan.
239


Mari menghentikan isakannya. la melihat tubuhnya sendiri. Barulah ia menyadari ada bagian tubuhnya yang seharusnya tertutupi tapi tidak tertutupi. Baju yang seharusnya menutupi aurat itu sobek. Dan penutup aurat di bawah baju telah putus dan tidak lagi menempel di badannya. Ia tidak menyadari hal itu sebelumnya karena ketegangan dan ketakutan luar biasa. Begitu sadar muka dan perasaannya berubah seketika, dari haru menjadi malu. Mari langsung melindungi bagian itu dengan menutupkan bajunya yang sobek, lalu menyilangkan kedua tangannya ke dada. Kemudian ia bangkit dan bergegas ke kamarnya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menunjukkan bahwa ia malu luar biasa. Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia memejamkan kedua matanya. Punggungnya ia sandarkan sepenuhnya ke sofa. Ia tak membayangkan akan pernah berkelahi dengan penjahat yang hendak memperkosa seorang wanita seperti yang baru saja terjadi. Ia jadi teringat keinginannya yang sangat kuat untuk pergi ke rumah ini. Keinginan yang tidak bisa ditepisnya sama sekali. Rupanya ia harus datang untuk membela orang yang pernah berbuat baik padanya. ***

240


Tujuh

eBook by MR.

Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memejamkan kedua matanya sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Inilah untuk kedua kalinya ia bertarung dengan penjahat. Dan kali ini ia menang. Ia merasa puas karena bisa memberi ganjaran setimpal pada penjahat berkepala gundul itu. Mari masih berada di dalam kamarnya. Zul kembali menarik nafas. Tiba-tiba ia merasa ada yang mengalir di ujung mata kanan turun ke pipi. Ia raba. Darah. Darah itu mengalir dari pelipisnya yang
241


luka. Namun ia yakin luka itu tidak parah. Paling hanya sobek beberapa senti saja. Ia merasa itu hanya luka kecil yang dalam beberapa hari akan sembuh. Mari keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih cerah. Pakaiannya rapi. Blues merah muda lengan panjang dengan bawahan celana kulot merah marun. Jika diperhatikan dengan sedikit serius penampilannya tampak anggun. Ia menggelung rambutnya dengan sederhana. Sehingga tidak lagi awut-awutan. Tampaknya ia telah membasuh mukanya, dan telah berusaha menghapus bekas-bekas tangis dari wajahnya. Meskipun tidak benar-benar berhasil. Zul masih memejamkan mata sehingga tidak menyadari ketika Mari keluar dari kamarnya dan memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul membelakangi pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak melihat Zul dari depan. Mari mendekat. Dan ketika melihat wajah Zul ia kaget. "Zul, kau luka Zul! Kau berdarah Zul, ya Allah ya Rabbi!" Ucap Mari setengah berteriak. Zul mengerjapkan matanya. Dan langsung menyahut, "Ah tidak apa-apa kok Mbak. Cuma luka kecil saja." "Tapi darahnya sampai mengalir ke dagu begitu. Harus segera diusap dan dibersihkan. Sebentar Zul." Mari kembali ke kamarnya. Ia mengambil kapas dan obat merah. "Sini Zul biar aku bersihkan dan aku obati!" Kata Mari lagi sambil membawa kapas dan obat merah.
242

"Tidak usah Mbak. Sini kapas dan obat merahnya biar aku obati sendiri. Sekalian aku mau ke kamar kecil." Sergah Zul. Mau tidak mau Mari menyerahkan kapas dan obat m e r a h p a d a Zul. Saat itu Mari ingin sekali mengusapkan dan membersihkan darah orang yang telah membela kehormatannya. Ia rasanya ingin langsung membalas segala kebaikan Zul. Mari memandangi Zul yang melangkah ke kamar kecil dengan pandangan yang susah u n t u k diartikan. P a n d a n g a n merasa berhutang budi, sayang, kagum, kasihan, juga cinta. Zul mengusap lukanya dengan kapas. Lalu membasuh dengan air. Darah dari lukanya mulai berhenti. Setelah mengeringkan lukanya itu dengan kapas, ia mengobatinya dengan obat merah. Setelah itu ia keluar. Mari menunggunya di sofa. Ia duduk tak jauh dari Mari. "Harus bagaimana aku berterima kasih padamu Zul?" Mari mengawali pembicaraan. "Tak perlu berterima kasih pada saya Mbak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Itulah kewajiban manusia jika melihat kemungkaran." Tiba-tiba Mari terisak-isak, "Kau telah menyelamatkan kehormatanku Zul. Kalau tadi tidak ada kau, entah apa jadinya diriku saat ini. Mungkin aku telah bunuh diri Zul!" "Berterima kasihlah pada Allah Mbak. Allahlah yang menggerakkan kedua kaki saya untuk bertandang ke sini pagi ini."
243


Mari sepertinya tidak mendengar kalimat yang diucapkan Zul. la menundukkan mata dan larut dalam tangisnya. Dadanya dipenuhi rasa haru dan rasa syukur yang membuncah-buncah. Beberapa saat lamanya hanya isak tangis Mari yang terdengar. Zul hanya bisa diam di tempatnya. "Terima kasih Zul, kau telah menyelamatkan kehormatan dan kesucianku. Kehormatan yang selama ini aku jaga mati-matian. Tanpa kehormatan itu aku merasa akan hidup sia-sia. Aku sangat berhutang budi padamu." Mari kembali mengucapkan rasa terima kasih dengan sepenuh jiwanya pada Zul. Zul bisa merasakan itu. la hanya bisa menjawab pelan, "Ingatlah Allah Mbak. Berterima kasihlah pada Allah." "Iya Zul, iya. Allah masih menyayangiku Zul. Allah masih menyayangiku." "Iya Allah masih menyayangi Mbak. Dan semoga terus menyayangi Mbak." "Allahlah yang mengatur kau datang tepat pada wakrunya." "Iya Allahlah pengatur kehidupan ini Mbak." "Aku tak pernah menyangka penjahat itu bisa datang ke rumah ini. Sungguh aku sama sekali tidak menyangka." Guman Mari sambil mengangkat muka dan menghapus airmatanya. "Bagaimana ceritanya, semua ini bisa terjadi Mbak. Dan Mbak kok di rumah? Apa Mbak sedang libur?"
244

"Begini lho Zul ceritanya. Sebenarnya aku tidak libur. Pagi ini aku mencuci sampai jam delapan. Aku mau berangkat kerja jam sembilan. Teman-teman sudah berangkat p u k u l setengah delapan. Kira-kira jam sembilan kurang seperempat aku sudah siap untuk berangkat. Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Aku mencari-cari payung tidak ada. Aku baru ingat kalau payungku dipinjam sama temanku yang tinggal di Kelana Jaya. Akhirnya aku telpon ke kantor tempat aku kerja untuk dijemput. Ternyata tidak ada mobil yang nganggur. Semuanya sedang dipakai. Tapi pihak kantor juga bilang, jika ada mobil nganggur akan segera menjemputku. "Karena hujan sangat deras, aku diminta tetap di rumah saja. Jika terpaksa tidak ada mobil, aku diberi ijin untuk datang setelah Zuhur. Bahkan boleh libur. Akhirnya aku santai di ruang tamu ini dengan tetap memakai pakaian yang biasa aku gunakan kerja. Pukul sepuluh kurang sepuluh menit aku mendengar mobil menderu. Lalu orang mengetuk pintu. Aku tidak curiga sedikit pun. Kukira itu adalah orang kantor yang datang menjemputku. "Tanpa curiga, aku langsung membuka pinta lebarlebar. Alangkah terkejutnya diriku ternyata yang datang adalah si Warkum. Aku hendak menutup pintu kembali, tapi sudah terlambat. la berhasil menerobos masuk bahkan langsung mengunci pintu itu. Lalu ia memintaku untuk menuruti keinginan nafsunya. Jelas aku menolak. Aku lebih baik mati daripada menyerahkan kehormatanku padanya. Ia kalap. Amarahnya memuncak.
245


Pandanganya buas bagaikan serigala liar yang kelaparan. la berusaha memangsaku. Aku terus melawan sekuat tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku sekuat tenaga. Prinsipku lebih baik mati daripada diperkosa. "Aku terus melawan. Namun aku adalah seorang perempuan, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya. Kekuatanku tak mampu menandingi kekuatannya. Aku nyaris tidakberdaya karena kehabisan tenaga. Dan dia nyaris mendapatkan apa yang diinginkannya. Tiba-tiba kau datang. "Kau datang dan membuat bajingan itu terpelanting. Awalnya aku kira kau adalah malaikat utusan Tuhan yang menyambar penjahat itu dengan cemeti mahasaktinya. Malaikat yang diturunkan Tuhan karena rintihan doaku di saat paling kritis. Malaikat dalam arti sebenarnya. Ternyata bukan, yang datang bukan malaikat tapi manusia. Mahakuasa Allah." Mari kembali terisak-isak. Zul diam mematung di tempatnya. "Dik bagaimana ceritanya kok kau bisa kemari pagi ini dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu? Dengan apa kau membukanya?" Zul menarik nafas, lalu dengan tenang menceritakan kronologisnya bisa sampai di rumah itu. Tentang keinginannya untuk datang ke rumah itu. Keinginan yang muncul tiba-tiba pagi itu dan seolah tidak bisa ditolaknya. la juga bercerita tentang kunci Linda yang masih di tangannya. Mari mendengarkan cerita Zul dengan seksama dan dengan mata berkaca-kaca. la
246

merasakan kasih sayang yang dicurahkan oleh Allah kepadanya. "Siapakah yang menghadirkan keinginan untuk datang kemari itu kalau bukan Allah Mbak? Dan siapakah yang menghadirkan keberanian dalam dada ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan Allah? Dan siapa yang menolong saya memenangkan pertarungan tadi kalau bukan Allah?" Airmata Mari kembali meleleh. Zul diam. Sesaat lamanya ruangan itu diselimuti kesunyian. "Tetapi Zul, walau bagaimana pun aku sangat berhutang budi padamu Zul. Bagaimana aku harus membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari, lalu menarik pandangannya ke lantai. "Sudahlah Mbak. Aku merasa tidak berbuat apa-apa selainmelakukan kewajibanku sebagai seorang manusia yang melihat kezaliman di depan mata. Mbak jangan mengatakan hal seperti itu lagi." "Kau harus tahu sesuatu Zul. Agar kau tahu betapa aku sangat berhutang padamu." "Sesuatu itu apa Mbak?" "Si W tadi itu, ia d a t a n g m e n g a t a k a n ingin meminta haknya sebagai seorang suami. Haknya yang katanya belum pernah aku berikan padanya setelah dia menikahi aku dan membayar mas kawin padaku." "Aku tidak paham maksudnya Mbak."
247


"Maaf, biar aku perjelas. Pada hari aku menikah dengannya itu, aku sedang datang bulan. Jadi ia tidak menjamah kesucianku. Biasanya aku datang bulan lebih satu minggu. Lha seminggu kemudian, artinya seminggu setelah akad nikah ia pergi ke Jakarta, dan saat itu aku masih dalam kondisi datang bulan. Jadi ia sama sekali belum menjamah kesucianku. "Seperti yang dulu pernah kuceritakan kepadamu. Kalau tidak salah aku pernah cerita padamu Zul. Dia pergi ke Jakarta dengan alasan bisnis. Ternyata beberapa hari kemudian ia tertangkap dalam kondisi over dosis di sebuah hotel. Ia masuk penjara. Dan aku kemudian tahu semua kejahatannya. Saat itu aku mengajukan gugatan cerai. Tak bisa ditawar lagi, karena aku tidak mau punya suami seorang penjahat yang kejahatannya benar-benar telah melampaui batas. Jadi meskipun aku telah menikah sejatinya kesucianku belum pernah dijamah oleh suamiku. Dan sampai hari ini mahkota kesucianku belum tersentuh oleh siapapun. Statusku memang janda, tapi kesucianku masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu. "Kau harus tahu Zul, selama ini betapa mati-matian aku menjaga mahkota ini. Betapa mati-matian aku menjaga iman ini. Godaan, bujuk rayu datang setiap saat. Alhamdulillah aku kuat. Tiba-tiba si W itu datang mau merenggut mahkota itu. Dan mahkota kesucian yang lebih berharga dari nyawaku sendiri itu nyaris ternistakan, kalau saja kau tidak datang. Inilah Zul sesungguhnya yang aku alami. Inilah Zul yang kau harus tahu, kau telah menyelamatkan kesucianku, kegadisanku. Aku benar-benar berhutang padamu."
248

Mendengar cerita Mari, hati Zul bergetar. Tanpa ia sadari airmatanya meleleh. Ada rasa kebahagiaan yang sangat halus yang menyusup begitu saja ke dalam hatinya. Rasa bahagia sekaligus rasa bangga karena ia bisa menyelamatkan kesucian seorang wanita. Ia berharap apa yang dilakukannya itu dinilai ibadah oleh Allah. Dan apa yang dilakukannya itu bisa menghapuskan dosa-dosanya saat ia masih remaja dulu. Ia kembali teringat saat SMA, saat ia pacaran dengan gadis tetangga desa. Saat itu ia nyaris melakukan perbuatan yang menistakan kesucian gadis itu. Untunglah saat itu tidak terjadi, karena terhalang oleh keadaan yang tidak memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum ternista. "Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu aku akan memenuhinya." Ucap Mari dengan suara jelas tanpa isak tangis. 'Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia." "Baik Zul, aku akan berusaha sebisanya. O ya sampai lupa, aku buatkan minuman ya? Mau minum apa Zul?" "M...tidak usah repot-repot Mbak." 'Ah tidak repot kok Zul." Zul melihat jam di dinding. Ia merasa sudah terlalu lama di rumah itu. Ia teringat bahwa ia harus ke kampus.
249


Ada janji dengan seorang teman. la bangkit dan memanggil Mari yang sudah melangkah ke dapur. "Mbak Mari!" "Ya." Mari menghentikan langkah dan menoleh. "Tak usah bikin minum Mbak. Saya harus pamitan. Saya ada janji dengan seorang teman habis Zuhur." "Tidak bisa ditunda barang satu dua menit Zul." "Maaf Mbak. Saya benar-benar harus pamit. O ya saya hampir lupa saya mau mengambil barang-barang saya. Dan ini kuncinya Linda." "Ya sudah kalau begitu. Sebentar saya ambilkan barang-barangmu." Mari masuk ke dalam dan mengeluarkan barangbarang milik Zul dari kamarnya. "Ini kan Zul? Ada yang lain?" "Tidak Mbak, itu saja." Zul mengambil tas jinjing yang berisi kekayaan pribadinya yang sebenarnya jika dilihat tidaklah terlalu berharga. Hanya beberapa pakaian, handuk, dan mushaf kecil Al-Quran pemberian Pak Hasan. "Aku tidak akan pernah melupakan jasamu ini Zul." "Ah Mbak, kok bicara seperti itu lagi. Sudah lupakan saja Mbak, anggap saja saya tidak pernah berjasa apaapa pada Mbak. Baik, saya pamit dulu ya Mbak. Jaga diri baik-baik." Zul melangkah keluar rumah. Mari mengikuti sampai pintu. Ketika Zul sampai di gerbang, Mari memanggil namanya.
250

"Zul!" Zul menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mari memandanginya lekat-lekat. Zul memandang Mari. Wajah Mari tampak pucat dan sayu. "Ya ada apa Mbak?" Mari ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan. la lalu pura-pura bertanya, "M..m...kau ada nomor hp Zul?" "Pakai nomor teman saya yang dulu saya gunakan SMS Mbak saja. Masih tersimpan kan?" "Ya baik. Masih tersimpan." "Ada yang lain Mbak?" "Zul, aku takut." "Takut apa? Takut kalau dia datang lagi?" "Iya." "Percayalah padaku Mbak, dia tidak akan berani datang lagi. Dia sudah kapok! Dia menganggap aku ini juga preman seperti dia. Jari-jari tangan kanan dan kaki kanannya sudah hancur! Kalau pun berniat datang mungkin satu bulan lagi, setelah ia sembuh dari lukanya." "Tapi aku kuatir dia punya teman." "Dan dia juga anggapan aku punya teman banyak. Mbak tidak usah kuatirlah. Kalau Mbak kuatir, kunci rumah baik-baik. Dan siapkan nomor telpon polisi. Atau Mbak pindah saja dulu ke rumah teman yang aman. Maaf Mbak ya saya buru-buru." "Iya Zul, terima kasih ya."
251


"Ya. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Mari berdiri memandangi Zul sampai hilang dari pandangan. Setelah itu ia memandang ke arah langit yang mulai terang. Hujan telah reda. Gerimis pun sudah tiada. Mendung mulai pudar. Dan matahari seolah ingin menyibak awan. Mari berulang kali memuji kekuasaan Tuhan. Ia lalu masuk rumah. Menutup pintu dengan rapat. Sayup-sayup, dari surau lirih terdengar suara azan
* * *

Delapan

Zul mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur. Malam itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul selalu terbayang wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan Mari, ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya. Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa
252 253


yang ia kenal di jalan. Tapi setelah kejadian siang itu. Setelah apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa. Bahwa Mari begitu teguh menjaga kesuciannya itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya. Sudah menjadi rahasia u m u m bahwa tidak sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang12 juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas bekerja. Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan kesuciannya. Dengan label janda yang dilekatkan pada dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek, tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin, bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari. Ia bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari. Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah tahu hukum bermain hati pada perempuan yang tidak halal dari Yahya. Itu dosa. "Hati pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya.
12

Tapi bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur. Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya. Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai. Ia jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau nanti punya anak. Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun bisa, tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga ialah yang harus m e n a n g g u n g sepenuhnya sewa rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama temantemannya saja, masih terasa berat membayarnya. Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor juga belum lunas. Ia sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami. Andai pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga tidak tahu sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya hamil. Ia sampai sudah begitu jauhnya memikirkan jika Mari hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja. Mengerjakan pekerjaan r u m a h tangga lazimnya
255

Kilang = pabrik

254


perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang benar. Ia juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia. Buat apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya seolah mencercanya habis-habisan: "Buat apa susah payah datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak harus berdarah-darah melewati pergulatan hidup di Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau pulang dengan belum meraih kegemilangan yang dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis; 'Kakek kita gagal menyelesaikan studinya karena tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia. Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib lebih baik! " Zul termenung. Dialog batinnya tidak membuat bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang dalam. Itu semua sangat membekas di dalam hatinya. Jarum jam dinding di ruang tamu menunjukkan p u k u l dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem256

bangunkan Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia ingin menelpon Mari. Ia tidak kuasa membendung bara cinta yang membuncah di dalam dadanya. Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya. "Ada apa Zul?" "Hand phone-mu mana? Aku mau pinjam?" "Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang." "Hilang?" "Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Purduraya. Pinjam Mas Yahya saja." "Segan." "Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok pagi." "Iya dah." Zul kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondarmandir di ruang tamu. Sesekali membuka koran usang yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang sudah lusuh, yang ia h a m p i r hafal isinya. Itulah yang dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba.
* **

Setelah shalat Subuh Zul langsung mencari wartel yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi ia segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke mana saja ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah merencanakan untuk membeli hand phone tapi belum
257


juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul bicara. "Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau sedang sakit Zul?" "Tidak ada apa-apa kok Mas?" "Kalau kau tidak menganggapku sebagai orang lain bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah tidak ada masalah padaku." Yahya langsung terus terang. Akhirnya Zul berterus terang bahwa ia sedang merasakan rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan. "Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?" "Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi tapi seorang karyawati sebuah perusahaan." "TKW maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas. Pertanyaan itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan. "Iya Mas." "O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu. Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?" "IyaMas." "Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih TKW?"
258

Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya. Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami dengan Mari pada sahabatnya yang paling dekat itu. Ia tidak sampai hati untuk membuka kejadian kemarin siang di rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan jawaban yang klasik, "Tidak tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku melihat diabaik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang TKW, m u n g k i n kelak jadi o r a n g yang m e m b e r i penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan cuma label-label saja Mas." Yahya tersenyum, "Kau memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa dinilai dari label atau julukan yang disandangnya. Yang menentukan manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya sambil menunjuk dadanya. "Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya. "Itu tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas terkenal di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu. Keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu itu sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk
259


Allah maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar. "Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu Mas?" "Jatuh cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan yang diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar siap untuk menikah Zul? Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan hatinya. Antara mantap dan tidak mantap. Halhal yang berkelebat dalam hati dan pikirannya ia sampaikan kepada Yahya. "Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?" "Iya, mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal di sana?" "Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh cinta?" Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi. Yahya malah tersenyum.
260

"Kau sedang terkena sihir Zul." "Terkena sihir apa Mas?" "Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara dengan dia. Aku yakin itu." "Benar." "Wajar." "Maksudnya wajar, wajar bagaimana?" "Setan telah menghiasi perempuan itu sehingga tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya, kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu p e r e m p u a n ia berpenyakit sekalipun bisa luntur imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang ada dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi." "Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?" "Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu, iya kan?" Zul malu mengakuinya. "Ingat Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya. Jika ia perempuan yang cantik, yang kecantikannya itu menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat
261


yang harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusny a ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu itu adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau tidak jauh berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar ayam betina setelah melihat keelokan ayam betina." "Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu Mas?" "Ya benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof m e n y e b u t m a n u s i a sebagai hayawanun nathiqun. Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang, hanya saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi manusia yang hanya mengutamakan nafsunya saja. Nafsu jadi panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja. Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia. Al-Quran menjuluki manusia yang seperti itu dengan kalimat: 'Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.'13 Orang-orang yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran penuh. Orang seperti itu yang akan rugi di mana pun dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya oleh setan untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan kenestapaan." "Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang benar menurut Sampeyan?"
13

"Mencintai dengan timbangan fithrah dan bashirah. Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan paras wajahnya dan keelokan benruk tubuhnya. Bukan karena tersihir oleh matanya yang berkilat-kilat indah seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan. Bukan karena hartanya yang melimpah ruah. Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar." "Tapi sulit rasanya Mas aku memakai timbangan fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan dan terbelenggu oleh sihir Mari." "Ya aku tahu. Memang sangat susah membebaskan diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat Allah aku mungkin saat ini sudah hancur berbaur tanah di kubur." "Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi cambuk bagiku."
263

QS. Al A'raaf (Tempat Tertinggi) [7]: 179.

262


"Malu aku mengingatnya." "Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan ingin aku binasa Mas?" "Singkat saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan. Akhirnya aku u n g k a p k a n padanya. Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis. Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman. Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus terang padaku, bahwa selama ini cuma main-main. Sebenarnya dia sudah punya tunangan di Surabaya. Hatiku seperti dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orangorang menganggap aku sakit terkena santet. Aku seperti orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul." "Terus sembuhnya bagaimana Mas?" "Akhirnya orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja
264

di Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh setelah aku dibawa ke sebuah pesantren. Di pesantren itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir, olah raga dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F hilang. Dan sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan." Mendengar cerita Yahya, Zul merasa mendapat sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang menerangi gulitanya akal pikirannya karena diselimuti bayangan Mari.
***

Nun jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih parah. Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya p e n d a m p i n g dan tempat u n t u k m e n g u n g k a p k a n gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya sibuk bekerja dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang pemah diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari menelpon Zul jadi sia-sia. Mari hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul.
265


Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya, ia berjanji akan menjadi abdi bagi Zul selama hidupnya. Ia merasa hanya Zul-lah yang paling berhak mendapatkan pengabdiannya. Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya." Zul saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia." Kata-kata Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan diri k e p a d a Allah dan menjadi wanita salehah yang sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya dengan jilbab. Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun masih modis. Masih memakai celana jeans dan kaos ketat. Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya. Berminggu-minggu setelah itu, ia masih terus berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak pula menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap berusaha untuk sedekat mungkin dengan Allah. Sesuai dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat dalam relung hatinya.
* **

266


Tujuh

eBook by MR.

Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memejamkan kedua matanya sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Inilah untuk kedua kalinya ia bertarung dengan penjahat. Dan kali ini ia menang. Ia merasa puas karena bisa memberi ganjaran setimpal pada penjahat berkepala gundul itu. Mari masih berada di dalam kamarnya. Zul kembali menarik nafas. Tiba-tiba ia merasa ada yang mengalir di ujung mata kanan turun ke pipi. Ia raba. Darah. Darah itu mengalir dari pelipisnya yang
241


luka. Namun ia yakin luka itu tidak parah. Paling hanya sobek beberapa senti saja. Ia merasa itu hanya luka kecil yang dalam beberapa hari akan sembuh. Mari keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih cerah. Pakaiannya rapi. Blues merah muda lengan panjang dengan bawahan celana kulot merah marun. Jika diperhatikan dengan sedikit serius penampilannya tampak anggun. Ia menggelung rambutnya dengan sederhana. Sehingga tidak lagi awut-awutan. Tampaknya ia telah membasuh mukanya, dan telah berusaha menghapus bekas-bekas tangis dari wajahnya. Meskipun tidak benar-benar berhasil. Zul masih memejamkan mata sehingga tidak menyadari ketika Mari keluar dari kamarnya dan memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul membelakangi pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak melihat Zul dari depan. Mari mendekat. Dan ketika melihat wajah Zul ia kaget. "Zul, kau luka Zul! Kau berdarah Zul, ya Allah ya Rabbi!" Ucap Mari setengah berteriak. Zul mengerjapkan matanya. Dan langsung menyahut, "Ah tidak apa-apa kok Mbak. Cuma luka kecil saja." "Tapi darahnya sampai mengalir ke dagu begitu. Harus segera diusap dan dibersihkan. Sebentar Zul." Mari kembali ke kamarnya. Ia mengambil kapas dan obat merah. "Sini Zul biar aku bersihkan dan aku obati!" Kata Mari lagi sambil membawa kapas dan obat merah.
242

"Tidak usah Mbak. Sini kapas dan obat merahnya biar aku obati sendiri. Sekalian aku mau ke kamar kecil." Sergah Zul. Mau tidak mau Mari menyerahkan kapas dan obat m e r a h p a d a Zul. Saat itu Mari ingin sekali mengusapkan dan membersihkan darah orang yang telah membela kehormatannya. Ia rasanya ingin langsung membalas segala kebaikan Zul. Mari memandangi Zul yang melangkah ke kamar kecil dengan pandangan yang susah u n t u k diartikan. P a n d a n g a n merasa berhutang budi, sayang, kagum, kasihan, juga cinta. Zul mengusap lukanya dengan kapas. Lalu membasuh dengan air. Darah dari lukanya mulai berhenti. Setelah mengeringkan lukanya itu dengan kapas, ia mengobatinya dengan obat merah. Setelah itu ia keluar. Mari menunggunya di sofa. Ia duduk tak jauh dari Mari. "Harus bagaimana aku berterima kasih padamu Zul?" Mari mengawali pembicaraan. "Tak perlu berterima kasih pada saya Mbak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Itulah kewajiban manusia jika melihat kemungkaran." Tiba-tiba Mari terisak-isak, "Kau telah menyelamatkan kehormatanku Zul. Kalau tadi tidak ada kau, entah apa jadinya diriku saat ini. Mungkin aku telah bunuh diri Zul!" "Berterima kasihlah pada Allah Mbak. Allahlah yang menggerakkan kedua kaki saya untuk bertandang ke sini pagi ini."
243


Mari sepertinya tidak mendengar kalimat yang diucapkan Zul. la menundukkan mata dan larut dalam tangisnya. Dadanya dipenuhi rasa haru dan rasa syukur yang membuncah-buncah. Beberapa saat lamanya hanya isak tangis Mari yang terdengar. Zul hanya bisa diam di tempatnya. "Terima kasih Zul, kau telah menyelamatkan kehormatan dan kesucianku. Kehormatan yang selama ini aku jaga mati-matian. Tanpa kehormatan itu aku merasa akan hidup sia-sia. Aku sangat berhutang budi padamu." Mari kembali mengucapkan rasa terima kasih dengan sepenuh jiwanya pada Zul. Zul bisa merasakan itu. la hanya bisa menjawab pelan, "Ingatlah Allah Mbak. Berterima kasihlah pada Allah." "Iya Zul, iya. Allah masih menyayangiku Zul. Allah masih menyayangiku." "Iya Allah masih menyayangi Mbak. Dan semoga terus menyayangi Mbak." "Allahlah yang mengatur kau datang tepat pada wakrunya." "Iya Allahlah pengatur kehidupan ini Mbak." "Aku tak pernah menyangka penjahat itu bisa datang ke rumah ini. Sungguh aku sama sekali tidak menyangka." Guman Mari sambil mengangkat muka dan menghapus airmatanya. "Bagaimana ceritanya, semua ini bisa terjadi Mbak. Dan Mbak kok di rumah? Apa Mbak sedang libur?"
244

"Begini lho Zul ceritanya. Sebenarnya aku tidak libur. Pagi ini aku mencuci sampai jam delapan. Aku mau berangkat kerja jam sembilan. Teman-teman sudah berangkat p u k u l setengah delapan. Kira-kira jam sembilan kurang seperempat aku sudah siap untuk berangkat. Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Aku mencari-cari payung tidak ada. Aku baru ingat kalau payungku dipinjam sama temanku yang tinggal di Kelana Jaya. Akhirnya aku telpon ke kantor tempat aku kerja untuk dijemput. Ternyata tidak ada mobil yang nganggur. Semuanya sedang dipakai. Tapi pihak kantor juga bilang, jika ada mobil nganggur akan segera menjemputku. "Karena hujan sangat deras, aku diminta tetap di rumah saja. Jika terpaksa tidak ada mobil, aku diberi ijin untuk datang setelah Zuhur. Bahkan boleh libur. Akhirnya aku santai di ruang tamu ini dengan tetap memakai pakaian yang biasa aku gunakan kerja. Pukul sepuluh kurang sepuluh menit aku mendengar mobil menderu. Lalu orang mengetuk pintu. Aku tidak curiga sedikit pun. Kukira itu adalah orang kantor yang datang menjemputku. "Tanpa curiga, aku langsung membuka pinta lebarlebar. Alangkah terkejutnya diriku ternyata yang datang adalah si Warkum. Aku hendak menutup pintu kembali, tapi sudah terlambat. la berhasil menerobos masuk bahkan langsung mengunci pintu itu. Lalu ia memintaku untuk menuruti keinginan nafsunya. Jelas aku menolak. Aku lebih baik mati daripada menyerahkan kehormatanku padanya. Ia kalap. Amarahnya memuncak.
245


Pandanganya buas bagaikan serigala liar yang kelaparan. la berusaha memangsaku. Aku terus melawan sekuat tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku sekuat tenaga. Prinsipku lebih baik mati daripada diperkosa. "Aku terus melawan. Namun aku adalah seorang perempuan, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya. Kekuatanku tak mampu menandingi kekuatannya. Aku nyaris tidakberdaya karena kehabisan tenaga. Dan dia nyaris mendapatkan apa yang diinginkannya. Tiba-tiba kau datang. "Kau datang dan membuat bajingan itu terpelanting. Awalnya aku kira kau adalah malaikat utusan Tuhan yang menyambar penjahat itu dengan cemeti mahasaktinya. Malaikat yang diturunkan Tuhan karena rintihan doaku di saat paling kritis. Malaikat dalam arti sebenarnya. Ternyata bukan, yang datang bukan malaikat tapi manusia. Mahakuasa Allah." Mari kembali terisak-isak. Zul diam mematung di tempatnya. "Dik bagaimana ceritanya kok kau bisa kemari pagi ini dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu? Dengan apa kau membukanya?" Zul menarik nafas, lalu dengan tenang menceritakan kronologisnya bisa sampai di rumah itu. Tentang keinginannya untuk datang ke rumah itu. Keinginan yang muncul tiba-tiba pagi itu dan seolah tidak bisa ditolaknya. la juga bercerita tentang kunci Linda yang masih di tangannya. Mari mendengarkan cerita Zul dengan seksama dan dengan mata berkaca-kaca. la
246

merasakan kasih sayang yang dicurahkan oleh Allah kepadanya. "Siapakah yang menghadirkan keinginan untuk datang kemari itu kalau bukan Allah Mbak? Dan siapakah yang menghadirkan keberanian dalam dada ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan Allah? Dan siapa yang menolong saya memenangkan pertarungan tadi kalau bukan Allah?" Airmata Mari kembali meleleh. Zul diam. Sesaat lamanya ruangan itu diselimuti kesunyian. "Tetapi Zul, walau bagaimana pun aku sangat berhutang budi padamu Zul. Bagaimana aku harus membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari, lalu menarik pandangannya ke lantai. "Sudahlah Mbak. Aku merasa tidak berbuat apa-apa selainmelakukan kewajibanku sebagai seorang manusia yang melihat kezaliman di depan mata. Mbak jangan mengatakan hal seperti itu lagi." "Kau harus tahu sesuatu Zul. Agar kau tahu betapa aku sangat berhutang padamu." "Sesuatu itu apa Mbak?" "Si W tadi itu, ia d a t a n g m e n g a t a k a n ingin meminta haknya sebagai seorang suami. Haknya yang katanya belum pernah aku berikan padanya setelah dia menikahi aku dan membayar mas kawin padaku." "Aku tidak paham maksudnya Mbak."
247


"Maaf, biar aku perjelas. Pada hari aku menikah dengannya itu, aku sedang datang bulan. Jadi ia tidak menjamah kesucianku. Biasanya aku datang bulan lebih satu minggu. Lha seminggu kemudian, artinya seminggu setelah akad nikah ia pergi ke Jakarta, dan saat itu aku masih dalam kondisi datang bulan. Jadi ia sama sekali belum menjamah kesucianku. "Seperti yang dulu pernah kuceritakan kepadamu. Kalau tidak salah aku pernah cerita padamu Zul. Dia pergi ke Jakarta dengan alasan bisnis. Ternyata beberapa hari kemudian ia tertangkap dalam kondisi over dosis di sebuah hotel. Ia masuk penjara. Dan aku kemudian tahu semua kejahatannya. Saat itu aku mengajukan gugatan cerai. Tak bisa ditawar lagi, karena aku tidak mau punya suami seorang penjahat yang kejahatannya benar-benar telah melampaui batas. Jadi meskipun aku telah menikah sejatinya kesucianku belum pernah dijamah oleh suamiku. Dan sampai hari ini mahkota kesucianku belum tersentuh oleh siapapun. Statusku memang janda, tapi kesucianku masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu. "Kau harus tahu Zul, selama ini betapa mati-matian aku menjaga mahkota ini. Betapa mati-matian aku menjaga iman ini. Godaan, bujuk rayu datang setiap saat. Alhamdulillah aku kuat. Tiba-tiba si W itu datang mau merenggut mahkota itu. Dan mahkota kesucian yang lebih berharga dari nyawaku sendiri itu nyaris ternistakan, kalau saja kau tidak datang. Inilah Zul sesungguhnya yang aku alami. Inilah Zul yang kau harus tahu, kau telah menyelamatkan kesucianku, kegadisanku. Aku benar-benar berhutang padamu."
248

Mendengar cerita Mari, hati Zul bergetar. Tanpa ia sadari airmatanya meleleh. Ada rasa kebahagiaan yang sangat halus yang menyusup begitu saja ke dalam hatinya. Rasa bahagia sekaligus rasa bangga karena ia bisa menyelamatkan kesucian seorang wanita. Ia berharap apa yang dilakukannya itu dinilai ibadah oleh Allah. Dan apa yang dilakukannya itu bisa menghapuskan dosa-dosanya saat ia masih remaja dulu. Ia kembali teringat saat SMA, saat ia pacaran dengan gadis tetangga desa. Saat itu ia nyaris melakukan perbuatan yang menistakan kesucian gadis itu. Untunglah saat itu tidak terjadi, karena terhalang oleh keadaan yang tidak memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum ternista. "Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu aku akan memenuhinya." Ucap Mari dengan suara jelas tanpa isak tangis. 'Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia." "Baik Zul, aku akan berusaha sebisanya. O ya sampai lupa, aku buatkan minuman ya? Mau minum apa Zul?" "M...tidak usah repot-repot Mbak." 'Ah tidak repot kok Zul." Zul melihat jam di dinding. Ia merasa sudah terlalu lama di rumah itu. Ia teringat bahwa ia harus ke kampus.
249


Ada janji dengan seorang teman. la bangkit dan memanggil Mari yang sudah melangkah ke dapur. "Mbak Mari!" "Ya." Mari menghentikan langkah dan menoleh. "Tak usah bikin minum Mbak. Saya harus pamitan. Saya ada janji dengan seorang teman habis Zuhur." "Tidak bisa ditunda barang satu dua menit Zul." "Maaf Mbak. Saya benar-benar harus pamit. O ya saya hampir lupa saya mau mengambil barang-barang saya. Dan ini kuncinya Linda." "Ya sudah kalau begitu. Sebentar saya ambilkan barang-barangmu." Mari masuk ke dalam dan mengeluarkan barangbarang milik Zul dari kamarnya. "Ini kan Zul? Ada yang lain?" "Tidak Mbak, itu saja." Zul mengambil tas jinjing yang berisi kekayaan pribadinya yang sebenarnya jika dilihat tidaklah terlalu berharga. Hanya beberapa pakaian, handuk, dan mushaf kecil Al-Quran pemberian Pak Hasan. "Aku tidak akan pernah melupakan jasamu ini Zul." "Ah Mbak, kok bicara seperti itu lagi. Sudah lupakan saja Mbak, anggap saja saya tidak pernah berjasa apaapa pada Mbak. Baik, saya pamit dulu ya Mbak. Jaga diri baik-baik." Zul melangkah keluar rumah. Mari mengikuti sampai pintu. Ketika Zul sampai di gerbang, Mari memanggil namanya.
250

"Zul!" Zul menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mari memandanginya lekat-lekat. Zul memandang Mari. Wajah Mari tampak pucat dan sayu. "Ya ada apa Mbak?" Mari ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan. la lalu pura-pura bertanya, "M..m...kau ada nomor hp Zul?" "Pakai nomor teman saya yang dulu saya gunakan SMS Mbak saja. Masih tersimpan kan?" "Ya baik. Masih tersimpan." "Ada yang lain Mbak?" "Zul, aku takut." "Takut apa? Takut kalau dia datang lagi?" "Iya." "Percayalah padaku Mbak, dia tidak akan berani datang lagi. Dia sudah kapok! Dia menganggap aku ini juga preman seperti dia. Jari-jari tangan kanan dan kaki kanannya sudah hancur! Kalau pun berniat datang mungkin satu bulan lagi, setelah ia sembuh dari lukanya." "Tapi aku kuatir dia punya teman." "Dan dia juga anggapan aku punya teman banyak. Mbak tidak usah kuatirlah. Kalau Mbak kuatir, kunci rumah baik-baik. Dan siapkan nomor telpon polisi. Atau Mbak pindah saja dulu ke rumah teman yang aman. Maaf Mbak ya saya buru-buru." "Iya Zul, terima kasih ya."
251


"Ya. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Mari berdiri memandangi Zul sampai hilang dari pandangan. Setelah itu ia memandang ke arah langit yang mulai terang. Hujan telah reda. Gerimis pun sudah tiada. Mendung mulai pudar. Dan matahari seolah ingin menyibak awan. Mari berulang kali memuji kekuasaan Tuhan. Ia lalu masuk rumah. Menutup pintu dengan rapat. Sayup-sayup, dari surau lirih terdengar suara azan
* * *

Delapan

Zul mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur. Malam itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul selalu terbayang wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan Mari, ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya. Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa
252 253


yang ia kenal di jalan. Tapi setelah kejadian siang itu. Setelah apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa. Bahwa Mari begitu teguh menjaga kesuciannya itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya. Sudah menjadi rahasia u m u m bahwa tidak sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang12 juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas bekerja. Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan kesuciannya. Dengan label janda yang dilekatkan pada dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek, tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin, bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari. Ia bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari. Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah tahu hukum bermain hati pada perempuan yang tidak halal dari Yahya. Itu dosa. "Hati pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya.
12

Tapi bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur. Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya. Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai. Ia jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau nanti punya anak. Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun bisa, tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga ialah yang harus m e n a n g g u n g sepenuhnya sewa rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama temantemannya saja, masih terasa berat membayarnya. Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor juga belum lunas. Ia sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami. Andai pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga tidak tahu sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya hamil. Ia sampai sudah begitu jauhnya memikirkan jika Mari hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja. Mengerjakan pekerjaan r u m a h tangga lazimnya
255

Kilang = pabrik

254


perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang benar. Ia juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia. Buat apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya seolah mencercanya habis-habisan: "Buat apa susah payah datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak harus berdarah-darah melewati pergulatan hidup di Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau pulang dengan belum meraih kegemilangan yang dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis; 'Kakek kita gagal menyelesaikan studinya karena tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia. Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib lebih baik! " Zul termenung. Dialog batinnya tidak membuat bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang dalam. Itu semua sangat membekas di dalam hatinya. Jarum jam dinding di ruang tamu menunjukkan p u k u l dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem256

bangunkan Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia ingin menelpon Mari. Ia tidak kuasa membendung bara cinta yang membuncah di dalam dadanya. Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya. "Ada apa Zul?" "Hand phone-mu mana? Aku mau pinjam?" "Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang." "Hilang?" "Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Purduraya. Pinjam Mas Yahya saja." "Segan." "Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok pagi." "Iya dah." Zul kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondarmandir di ruang tamu. Sesekali membuka koran usang yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang sudah lusuh, yang ia h a m p i r hafal isinya. Itulah yang dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba.
* **

Setelah shalat Subuh Zul langsung mencari wartel yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi ia segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke mana saja ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah merencanakan untuk membeli hand phone tapi belum
257


juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul bicara. "Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau sedang sakit Zul?" "Tidak ada apa-apa kok Mas?" "Kalau kau tidak menganggapku sebagai orang lain bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah tidak ada masalah padaku." Yahya langsung terus terang. Akhirnya Zul berterus terang bahwa ia sedang merasakan rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan. "Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?" "Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi tapi seorang karyawati sebuah perusahaan." "TKW maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas. Pertanyaan itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan. "Iya Mas." "O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu. Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?" "IyaMas." "Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih TKW?"
258

Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya. Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami dengan Mari pada sahabatnya yang paling dekat itu. Ia tidak sampai hati untuk membuka kejadian kemarin siang di rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan jawaban yang klasik, "Tidak tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku melihat diabaik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang TKW, m u n g k i n kelak jadi o r a n g yang m e m b e r i penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan cuma label-label saja Mas." Yahya tersenyum, "Kau memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa dinilai dari label atau julukan yang disandangnya. Yang menentukan manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya sambil menunjuk dadanya. "Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya. "Itu tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas terkenal di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu. Keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu itu sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk
259


Allah maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar. "Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu Mas?" "Jatuh cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan yang diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar siap untuk menikah Zul? Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan hatinya. Antara mantap dan tidak mantap. Halhal yang berkelebat dalam hati dan pikirannya ia sampaikan kepada Yahya. "Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?" "Iya, mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal di sana?" "Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh cinta?" Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi. Yahya malah tersenyum.
260

"Kau sedang terkena sihir Zul." "Terkena sihir apa Mas?" "Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara dengan dia. Aku yakin itu." "Benar." "Wajar." "Maksudnya wajar, wajar bagaimana?" "Setan telah menghiasi perempuan itu sehingga tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya, kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu p e r e m p u a n ia berpenyakit sekalipun bisa luntur imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang ada dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi." "Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?" "Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu, iya kan?" Zul malu mengakuinya. "Ingat Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya. Jika ia perempuan yang cantik, yang kecantikannya itu menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat
261


yang harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusny a ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu itu adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau tidak jauh berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar ayam betina setelah melihat keelokan ayam betina." "Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu Mas?" "Ya benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof m e n y e b u t m a n u s i a sebagai hayawanun nathiqun. Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang, hanya saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi manusia yang hanya mengutamakan nafsunya saja. Nafsu jadi panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja. Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia. Al-Quran menjuluki manusia yang seperti itu dengan kalimat: 'Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.'13 Orang-orang yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran penuh. Orang seperti itu yang akan rugi di mana pun dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya oleh setan untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan kenestapaan." "Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang benar menurut Sampeyan?"
13

"Mencintai dengan timbangan fithrah dan bashirah. Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan paras wajahnya dan keelokan benruk tubuhnya. Bukan karena tersihir oleh matanya yang berkilat-kilat indah seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan. Bukan karena hartanya yang melimpah ruah. Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar." "Tapi sulit rasanya Mas aku memakai timbangan fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan dan terbelenggu oleh sihir Mari." "Ya aku tahu. Memang sangat susah membebaskan diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat Allah aku mungkin saat ini sudah hancur berbaur tanah di kubur." "Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi cambuk bagiku."
263

QS. Al A'raaf (Tempat Tertinggi) [7]: 179.

262


"Malu aku mengingatnya." "Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan ingin aku binasa Mas?" "Singkat saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan. Akhirnya aku u n g k a p k a n padanya. Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis. Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman. Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus terang padaku, bahwa selama ini cuma main-main. Sebenarnya dia sudah punya tunangan di Surabaya. Hatiku seperti dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orangorang menganggap aku sakit terkena santet. Aku seperti orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul." "Terus sembuhnya bagaimana Mas?" "Akhirnya orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja
264

di Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh setelah aku dibawa ke sebuah pesantren. Di pesantren itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir, olah raga dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F hilang. Dan sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan." Mendengar cerita Yahya, Zul merasa mendapat sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang menerangi gulitanya akal pikirannya karena diselimuti bayangan Mari.
***

Nun jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih parah. Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya p e n d a m p i n g dan tempat u n t u k m e n g u n g k a p k a n gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya sibuk bekerja dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang pemah diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari menelpon Zul jadi sia-sia. Mari hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul.
265


Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya, ia berjanji akan menjadi abdi bagi Zul selama hidupnya. Ia merasa hanya Zul-lah yang paling berhak mendapatkan pengabdiannya. Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya." Zul saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia." Kata-kata Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan diri k e p a d a Allah dan menjadi wanita salehah yang sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya dengan jilbab. Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun masih modis. Masih memakai celana jeans dan kaos ketat. Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya. Berminggu-minggu setelah itu, ia masih terus berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak pula menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap berusaha untuk sedekat mungkin dengan Allah. Sesuai dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat dalam relung hatinya.
* **

266


Sembilan

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com

Dua bulan berlalu sejak Yahya mengajak Zul berbicara dari hati ke hati. Yahya berharap Zul bisa menemukan kesadaran prima dan semangat membaranya kembali seperti ketika awal-awal tinggal di flat itu. Namun harapan Yahya belum menjadi kenyataan. Kenyataannya Zul tetap banyak murung dan melamun. Tidak gesit dan semangat dalam bekerja, berusaha, dan belajar. Seringkali Yahya menemukan Zul hanya tidur di kamar satu siang penuh, padahal ia yakin Zul ada jadwal
267


kuliah dan kerja. Yahya biasanya mengingatkannya dengan bahasa sehalus mungkin, namun Zul seperti tidak mendengar apa-apa. Yahya beberapa kali menyarankan pada Zul jika memang harus mendapatkan Mari, kenapa tidak secara jantan menemui dan mengajaknya menikah. Obat paling mujarab untuk orang yang sakit karena cinta adalah menikah. Tapi Zul gamang dengan dirinya sendiri. Keraguan mengambil langkah telah membuatnya seperti orang yang kehilangan cahaya kehidupan. Keadaan Zul yang sedang sakit karena cinta itu menjadi perhatian dan keprihatian semua penghuni flat itu. Pak Muslim merasa kuatir keadaan Zul semakin parah. Jika parah, maka bisa berpengaruh pada suasana rumah. Sudah dua bulan Zul tidak membayar uang sewa rumah. la minta dipinjami dulu. Namun ia bekerja tidak seserius dulu. Seolah bekerja seingatnya saja. Jika ingat bekerja, jika tidak ya tidak bekerja. Pak Muslim juga kuatir Zul tidak bisa mengikuti ujian semester depan jika sering bolos kuliah. Suasana rumah terasa mulai tidak nyaman. Maka Pak Muslim sebagai yang paling tua berinisiatif mempertegas sikap Zul. Jika ingin serius kuliah maka ia harus segera bangkit dan merubah sikap. Jika sudah tidak ingin kuliah, ia melihat Zul sebaiknya mencari tempat yang lain. Sebab kemalasan Zul bisa merusak situasi rumah yang selama ini nyaman dan kondusif untuk belajar. Pak Muslim tidak mau perkataan najis satu tetes merusak kesucian air satu gentong terjadi di rumah itu. Dan tidak ada najis yang paling merusak kesucian umat yang ingin berprestasi kecuali kemalasan. Ia tidak mau
268


Zul jadi najis itu. Zul harus diselamatkan. Jika Zul tetap memilih jadi najis itu maka ia harus disingkirkan agar tidak merusak kesucian semangat orang satu rumah. Pagi itu setelah shalat Subuh Pak Muslim membangunkan Zul yang masih mendengkur di kamarnya. Berbeda sekali Zul yang dulu dengan Zul saat itu. Zul saat awal-awal datang dulu sudah bangun sebelum Subuh tiba dan selalu di shaf pertama. Tapi Zul saat itu adalah Zul yang harus berkali-kali diingatkan dan dibangunkan baru shalat Subuh dengan wajah malas tanpa cahaya. Begitu Zul selesai shalat Pak Muslim langsung memanggil Zul ke kamarnya. Dengan menunduk Zul masuk ke kamar dosen Universitas Negeri Yogyakarta yang mengagumi pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal. "Duduk sini Zul!" Pak Muslim mempersilakan Zul duduk di kursi yang ada tepat di depannya. Setelah Zul duduk, Pak Muslim langsung menutup pintu kamarnya. "Zul, sudah tiga bulan ini aku lihat kamu sangat berbeda dengan saat kau pertama datang. Apa sebenarnya masalahmu Zul?" "M...tidak ada masalah Pak. Saya biasa-biasa saja." "Zul kau masih ingin kuliah?" "Ya tentu Pak." "Kau sadar dengan yang kauucapkan?" "Tentu saja sadar Pak." "Bagus. Jika kau ingin tetap lanjut kuliah kau harus bangkit dan mengembalikan semangatmu. Cukup tiga
269


bulan saja kamu sakit. Ingat Zul, setiap detik kau berada di Kuala Lumpur ini ada harganya. Dan kau harus m e m b a y a r n y a . Flat ini kita m e n y e w a . Air yang kaugunakan untuk membersihkan dirimu saat buang air juga harus dibayar. Kau makan tidak gratis. Kuliah tidak gratis. Semua ada tagihannya. Jika kau terus malas dan murung seperti itu kau tidak akan bertahan hidup. Kalau pun kau tetap hidup kau tak lebih bernilai dari sampah. Sampah masih bisa didaur ulang. Tapi manusia yang telah mati sebelum mati jauh merepotkan daripada sampah. "Aku ingin melihatmu berjaya. Meraih prestasi yang gemilang Zul. Sungguh aku sangat menginginkan itu. Aku akan membantumu semampuku. Itu jika kamu mau. Jika kamu tidak mau aku tidak berhak memaksamu. Kau lebih berhak menentukan jalan hidupmu. 'Aku tahu kau masih sakit. Hatimu masih dijajah oleh rasa cintamu pada wanita yang kaucintai itu. Ketahuilah Zul, tak ada dokter yang bisa menyembuhkanmu kecuali kamu sendiri. Sebagai orang tua, aku hanya bisa memberikan beberapa saran untuk kebaikanmu dan kebaikan kita bersama. "Saranku yang pertama Zul, jika kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Jodoh itu tanpa dikejar, tanpa dibuat bersakit-sakit seperti kau sekarang ini jika tiba saatnya akan datang juga. Jodohmu sudah ditulis oleh Allah. Kalau jodohmu memang wanita bernama Siti Martini itu ya nanti Allah pasti akan mempertemukan kamu dengan dia. Tapi jika jodohmu bukan dia, sampai kau minta banruan seluruh jin di jagad raya ini untuk
270


membantumu mendapatkan dia ya kamu tidak akan mendapatkannya. "Sementara ilmu dan prestasi juga amal ibadah. Jika tidak kauusahakan dengan serius tidak akan kauraih. Ilmu tidak bisa kauraih dengan tiduran dan malasmalasan. Prestasi dan kesuksesan tidak akan kauraih kecuali dengan pengorbanan penuh pikiran, tenaga dan perasaan. Kalau perlu bahkan nyawa. Tak ada dalam catatan sejarah ada orang sukses hanya d e n g a n melamun, tidur, dan banyak angan-angan seperti yang kaulakukan tiga bulan ini. Tak ada seorang juara di bidang apapun kecuali ia pasti seorang pejuang yang ulung. Kalau ingin mendapatkan ilmu yang cukup, berprestasi dan h i d u p sukses kau harus bangkit, bersemangat, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan gigih berjuang. Itulah jalannya orang-orang yang sukses. "Zul, godaan wanita adalah godaan utama orang mencari ilmu. Dan fitnah perempuan adalah salah satu fitnah yang sangat dikuatirkan oleh Nabi akan melumpuhkan umatnya. Bahkan saat Nabi berdakwah di Makkah, di antara hal yang ditawarkan orang-orang kafir Quraisy untuk membujuk Nabi agar menghentikan dakwahnya adalah dengan mengiming-imingi Nabi akan dinikahkan dengan wanita paling cantik di Arab. Tapi Nabi menolaknya. "Zul, siapa pun yang kasmaran, siapa pun yang jatuh cinta seperti kamu saat ini. Maka akal, pikiran dan perasaannya akan terus terfokus untuk mendapatkan yang dicintainya. Jika keadaan seperti itu terus berlarut, maka kewajiban-kewajibannya, tugas-tugas utamanya
271


akan segera terlupakan. Dan saat itu hanya tinggal menunggu datangnya kebinasaan. "Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya pelajar dan mahasiswa yang gagal karena skandal cinta. Tidak terhitung jumlahnya pemimpin besar dunia yang terpuruk karena skandal cinta. Apakah kau mau menambah panjang daftar itu dengan memasukkan namamu. "Penuntut ilmu jika jatuh cinta pada lawan jenisnya, maka ilmu itu tidak akan bisa melekat pada akal, pikiran dan hatinya. Sebab akal, pikiran dan hatinya telah dikotori oleh bayangan semu kekasih hatinya. Ada pujangga Arab yang menulis sajak begini Zul, Jika aku sedang sibuk dengan gadisku Yang parasnya laksana cahaya pagi Maka aku enggan memikirkan yang lain "Maka, aku ulangi lagi saranku yang pertama, jika kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Saat ini berkonsentrasilah sepenuhnya untuk menuntut ilmu. Jika ia jodohmu selesai S.2 aku doakan semoga bertemu. Dan bertemu dalam keadaan yang paling baik dan paling barakah. Jika dia tidak jodohmu, semoga kau dianugerai jodoh yang lebih baik dalam segalanya dari wanita itu." Zul diam saja di tempatnya. Ia tidak membantah, juga tidak mengiyakan. Tapi ia mendengarkan dengan seksama. Pak Muslim jarang sekali bicara serius seperti ini. Jika Pak Muslim bicara seperti ini artinya masalah yang terjadi memang sudah parah.
272


Pak Muslim mengambil nafas sebentar lalu melanjutkan, "Saranku yang kedua Zul, jika kau tidak bisa mengikuti saranku yang pertama, aku sarankan kau untuk mendatangi wanita itu secara jantan. Dan nikahi dia. Luapkan seluruh cintamu padanya. Dan hiduplah dalam keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Menikah itu jauh lebih baik daripada kau hanya memikirkan dia siang malam sampai sayu seperti mayat hidup. "Jika kau memilih saran yang kedua ini, aku akan membantumu semampuku. Aku akan meminjami modal u n t u k p e r n i k a h a n m u s e m a m p u k u . Aku bersedia mengantarmu menemui wanita itu, juga bersedia membantumu menemui keluarganya. Dan jika ini yang kauambil, aku minta kau jangan berhenti kuliah. Tetaplah lanjutkan kuliah. Hiduplah sehemat mungkin. Tetaplah bertahan sampai lulus. Kau harus lebih giatbekerja dan berusaha. Sebab kau tidak hanya menanggung beban hidup dirimu sendiri, tapi juga menanggung orang lain. "Jika saranku yang kedua juga tidak bisa kauikuti, maka aku punya saran ketiga, yaitu ya terserah kamu. Hiduplah sesukamu. Terus seperti sekarang juga boleh. Tapi dengan memohon pengertiannya aku minta kau meninggalkan rumah ini. Bukan kami tidak sayang dan tidak menghargai kamu. Sama sekali tidak. Kami menghargai kamu, dan cara hidupmu. Tapi perlu kamu ketahui juga, cara hidupmu yang hanya malas-malasan, banyak melamun dan berangan-agan itu dapat meracuni kesehatan lingkungan rumah ini. Cara hidupmu yang mulai tidak memikirkan membayar flat adalah cara
273


hidup orang yang tidak bertanggung jawab. Itu dapat merusak rasa saling percaya yang telah tercipta dengan indah di rumah ini. Jika kau pilih saran yang ketiga ini, kami akan membantumu mengangkatkan barangbarangmu, juga akan membantumu menemukan tempat yang kauanggap cocok bagi cara hidupmu. Kau masih boleh bermain ke sini, tapi tak bisa tinggal di rumah ini. "Itulah Zul, tiga saran yang bisa aku sampaikan kepadamu. Kau bisa memilih salah satunya. Dan kami tidak keberatan sama sekali yang mana yang kamu pilih. Tapi jika boleh berharap saya pribadi berharap kaupilih yang pertama. Maafkan aku jika harus berlaku tegas padamu. Untuk sebuah kebaikan ketegasan tidak ada salahnya dilakukan. Dan ini pun terpaksa aku lakukan setelah melihat perkembanganmu yang tidak juga menunjukkan ada perbaikan." Setelah menyampaikan tiga saran itu, bisa juga disebut tiga opsi untuk Zul, Pak Muslim diam menunggu reaksi Zul. Keheningan menyelimuti kamar itu sesaat lamanya. Zul tampak sedang mengolah saran Pak Muslim yang diseganinya itu. Pak Muslim yang selama ini sangat baik padanya. Bahkan, ia masih punya hutang beberapa ratus ringgit kepadanya untuk membeli sepeda motor butut, dan Pak Muslim tidak p e r n a h menyinggung-nyinggung hal itu sama sekali. "Begini Pak," Suara Zul memecah keheningan. Pak Muslim langsung mengangkat mukanya dan menatap Zul penuh perhatian. Zul merubah sedikit posisi duduknya lalu menyambung perkataannya,
274


"Saya minta maaf dan saya menyesal sekali jika kelakuan saya selama ini buruk. Dan itu membuat tidak nyaman rumah ini. Saya akui Pak, saya sedang tidak stabil. Saya berterima kasih sekali atas kesabaran Pak Muslim dan teman-teman selama ini. Saya juga berterima kasih atas saran-saran Pak Muslim. Saya telah menimbang ketiga saran itu. Terus terang saran yang pertama saya rasakan akan berat bagi saya. Saya kuatir saya akan semakin jatuh, semakin tidak bisa menahan perasaan yang mendera hati ini. Adapun saran yang ketiga, saya juga berat menerimanya, sebab saya masih tetap ingin menjadi orang baik dan sukses Pak. Saya bersyukur bertemu dengan orang seperti Bapak dan teman-teman yang masih mau mengingatkan dan menasihati. Jika saya pilih yang ketiga, saya rasa saya akan binasa. Dan jika saya terus begini, Bapak benar, saya akan binasa. "Maka saya memilih saran yang kedua Pak. Lebih baik saya menikah saja dengan gadis itu. Dia masih gadis Pak. Dan baik hatinya." Pak Muslim mengangguk-anggukkan kepala. "Jadi kau benar-benar akan menikahi dia?" "Iya Pak." "Kau mantap?" "Mantap Pak. Toh sudah saatnya saya menikah. Sekarang atau besok sama saja, saya harus menikah." "Kau siap dengan segala risikonya?" "Siap Pak. Mas Yahya sudah memberikan gambaran yang jelas. Bapak tadi juga menambahkan penjelasan. Saya harus bagaimana jika menikah?"
275


"Bagus! Itu baru lelaki! Kalau begitu kau harus semangat, kau akan menikah Zul! Kau akan jadi suami! Kau akan jadi kepala rumah tangga! Kau akan jadi ayah! Ayo semangat!" "Iya Pak! Saya akan bangkit! Saya akan semangat!" "Bagus! Kenapa tidak begird sejak dulu-dulu itu Zul, hah!?" "Jadi Bapak benar-benar mendukung saya menikahi dia?" "Menikah kan baik, kenapa tidak saya dukung. Sudahlah, kapan kau akan menemui dia, aku akan menemani kalau perlu. Dan kapan kau akan melamarnya?" "Bagaimana kalau aku temui dia besok Pak?" "Bagus semakin cepat semakin bagus! Sekarang kau harus melihat kembali jadwal-jadwalmu. Harus kautata. Jadwal kuliahmu. Jadwal kerjamu dan lain sebagainya." "Iya Pak. Baik!" "Besok ya berangkat menemui dia?" "Iya Pak." "Jam berapa Zul." "Pagi-pagi saja Pak sebelum jam delapan. Dia biasa berangkat kerja jam delapan." "Baik. O ya sebaiknya kau telpon dia dulu. Agar dia tidak pergi." "Baik Pak." Pak Muslim gembira melihat Zul kembali ceria. Orang jatuh cinta memang begitu. Jika harapan bertemu
276


dengan yang ia cintai datang ia akan hidup pcnuh semangat dan harapan. Zul sendiri merasakan matahari kehidupannya yang selama ini redup kini kembali bersinar terang. Zul langsung turun ke bawah mencari wartel. Satu wartel telah buka, ia langsung menghubungi nomor Mari. Berulang kali nomor itu ia hubungi namun tidak bisa nyambung. Ia agak kecewa. Ia kuatir Mari ganti nomor. Ia juga menyesal kenapa selama ini ia ragu-ragu dan gamang setiap kali mau menghubungi nomor Mari. Tiga bulan lebih, sejak kejadian percobaan pemerkosaan di rumah Mari itu, ia tidak berhubungan dengan Mari. Ia kuatir Mari telah pindah rumah. Tapi ia yakin Mari akan mudah dicari. Jika pun pindah rumah, teman-teman Mari pasti masih ada yang tinggal di situ. Sorenya Zul kembali mencoba mengontak nomor Mari, tapi tidak berhasil juga. Berkali-kali operator seluler menjelaskan nomor itu sedang tidak aktif. Zul kembali ke flat dengan hati kecewa. Namun Zul tetap bersemangat besok pagi berangkat ke Subang Jaya untuk menemui Mari dan mengungkapkan isi hatinya. Temanteman satu rumahnya mendukung langkah yang akan diambil Zul. Rizal bahkan siap membantu mencarikan rumah yang harga sewanya murah untuk pasangan keluarga. Yahya menyemangati Zul untuk bangkit dan tidak kehilangan semangat. Malam itu, untuk pertama kalinya Zul tidur dengan dada terasa lapang. Dan malam terasa segar dan ringan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang ia rasakan terasa sumpek dan berat. Terbitnya harapan yang terang
277


dalam hati membuat hidup terasa ringan dan menyenangkan. *** Pagi itu ia telah b a n g u n sebelum azan Subuh berkumandang. Mengetahui hal itu Pak Muslim sangat bahagia. Zul agaknya mulai mendapatkan kembali nyawanya. Selesai shalat Subuh Zul dan Pak Muslim langsung meluncur dengan KTM ke KL Sentral. Dari KL Sentral mereka naik bus Rapid KL ke Subang Jaya. Jam tangan Pak Muslim menunjukkan pukul 07.25 ketika mereka turun dari bus dan memasuki kawasan perumahan Taman Subang Permai. Hati Zul berdegup kencang ketika ia merasa semakin dekat dengan rumah Mari. Sepuluh menit kemudian mereka telah sampai di depan rumah Mari. Zul agak terkejut. Rumah itu sepi. Dan di pintu rumah serta di pagar gerbang rumah itu ada kain kuning yang terbentang bertuliskan: For Sale/ For Rent. Dan ada nomor telpon di bawahnya. "Ini rumahnya Zul?" "Iya Pak." "Kauyakin." "Tak mungkin salah Pak. Itu nomornya 8A." "Berarti mereka telah pindah. Dan mungkin telah lama. Kaubaca kan rumah itu ditawarkan untuk dijual atau disewa." "Iya Pak, terus bagaimana ini Pak?" kata Zul murung. "Kau masih bersemangat untuk mencarinya?"
278


"Tentu Pak. Sampai ke ujung dunia pun kalau perlu." "Wah kau ini, jawabanmu itu kayak lakon di film saja." "Tapi aku harus menemukan dia Pak?" "Gampang. Coba kita tanya tetangga sebelah. Siapa tahu mereka tahu ke mana pindahnya Siti Martini dan teman-temannya." "Iya Pak." Mereka berdua lalu bertanya pada tetangga sebelah kanan rumah itu. Yang mereka tanya seorang wanita Melayu setengah baya yang sedang menggendong anak kecil. Ketika Pak Muslim menanyakan perihal Siti Martini dan teman-temannya yang pernah tinggal di rumah No. 8A, wanita itu menatap penuh curiga. Pak Muslim menangkap kecurigaan wanita itu. la menegaskan bahwa dirinya bermaksud baik, tidak ada maksud jahat. Wanita itu malah masuk ke dalam rumah tanpa berkata apapun. Pak Muslim merasa ada yang tidak beres. Dua menit kemudian wanita itu keluar sambil membawa koran. la berikan koran itu pada Pak Muslim. "Sila Encik bace berita itu baik-baik!" kata wanita itu. Pak Muslim membaca berita di koran yang ditunjukkan oleh wanita itu. Pak Muslim membaca dengan seksama dengan wajah dingin. Zul yang berdiri di sampingnya turut membaca. Baru membaca tiga baris Zul langsut berkata setengah teriak, "Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!" Wanita itu memperhatikan Zul dengan wajah heran bercampur curiga.
279


Pak Muslim menuntaskan bacaannya sampai akhir. "Tenang Zul, ini baca dulu sampai akhir baru kita pikir dengan jernih," kata Pak Muslim tenang. Dan dengan mata berkaca-kaca Zul membaca berita yang membuat hatinya remuk redam. Dengan jelas ia membaca nama inisial Siti M yang turut ditangkap pihak polis. Selesai membaca berita di koran itu airmatanya meleleh. Dengan suara lirih tertahan ia berkata pada dirinya sendiri, "Sia-sia aku m e n o l o n g n y a . Sia-sia aku mencintainya." Pak Muslim menukas pelan, "Tenang Zul. Sabar!" "Seminggu yang lalu polis menangkap mereke. Mereke semua penghuni rumah itu. Mereke semua perempuan lacur. Mereke menjadikan rumah itu markas pelacuran. Sekarang mungkin sedang dibui. Kalau boleh tahu Encik berdua ini ada hubungan apa dengan mereke berdua ya?" Pertanyaan wanita muda itu membuat Pak Muslim agak tergagap. Ia sempat bingung menjawabnya. Tapi spontan ia menjawab, "Dia ini adiknya, salah satu kakaknya ada yang tinggal di rumah itu. Dia ingin mengetahui keadaan kakaknya." "Aduh kasihan. Kakak awak sekarang di dalam bui. Ya tapi begitulah semestinya balasan untuk pelacur, perusak moral masyarakat." Hati Zul semakin perih. Ia mengajak Pak Muslim segera pergi meninggalkan tempat itu. Matahari harapan
280


yang sempat bersinar di dalam hatinya kini sama sekali padam. Pak Muslim mengerti dengan kesedihan Zul. Beliau membesarkan hati Zul dengan berkata, "Ini skenario Allah yang terbaik Zul. Kau jangan malah lemah. Kau justru harus kuat. Sekarang fokuskan untuk belajar. Percayalah Allah akan memberimu ganti yang lebih baik. Percayalah!" "Iya Pak, insya Allah ini jadi pelajaran sangat berharga bagi saya. Doakan saya ya Pak. Dan jangan bosan menasihati dan membimbing saya." Jawab Zul sambil menyeka airmatanya yang meleleh di pipinya. ***

281


Sepuluh

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com

Sudah sepuluh jam Zul di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya. Sejak jam delapan pagi sampai jam lima sore. Matanya terasa berat. Kepalanya seperti berdenyut. Inilah hari kelima ia memenjarakan diri di p e r p u s t a k a a n . Empat hari sebelumnya di Perpustakaan Fakulti Pendidikan. Hari ini ia berada di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kecil penulisan ayat dan hadis. Ia menulis tentang pendidikan pesantren dan dampaknya terhadap kedewasaan berpikir
283


masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah bertekad tesisnya harus selesai ia perbaiki dalam satu minggu. Para guru besar yang menilai tesisnya memberi catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam waktu satu bulan. Perpustakaan Akademi Pengajian Islam itu telah sepi. Di lantai dua hanya tinggal dirinya saja. Petugas perpustakaan telah mengumumkan dua puluh menit lagi perpustakaan tutup. Zul berdiri sejenak. Ia menggerakkan tubuhnya dengan memutar kedua tangan ke kiri dan ke kanan. Kepalanya ia jatuhkan ke kiri dan ke kanan. Setelah itu ia merapikan buku-buku yang baru saja ia baca. Kertas-kertas berisi catatan-catatan penting untuk memperbaiki tesisnya ia periksa sesaat. Lalu ia masukkan ke dalam map plastiknya. Setelah merasa tidak ada yang ganjil ia turun ke bawah. Di bawah, keadaan sudah sepi. Yang ada adalah petugas perpustakaan empat orang dan dua orang gadis melayu yang juga sedang berkemas dan siap pergi. Che Mazlan, petugas perpustakaan paling ramah menyapanya dengan tersenyum, "Sudah ketemu semua yang dicari Ustadz?" Karena memakai kopiah putih Zul dipanggil Ustadz. Ia hanya menjawab dengan senyum dan menganggukkan kepala dengan ramah. Kepalanya mulai terasa pening. Ia berjalan ke tempat meletakkan tas. Mengambil tasnya. Memasukkan m a p plastiknya ke dalam tas. Dan melangkah keluar. Ia lihat jam tangannya. "Ashar baru mau masuk."
284


la merasa harus segera mengisi perutnya yang sejak pagi hanya terisi sepotong roti canai dan segelas air putih. Ia bergegas turun ke tempat parkir. Sepeda motor tuanya begitu setia menunggunya. la ambil helm. Dan beberapa jurus kemudian dengan pelan namun pasti Honda butut itu membawanya meluncur ke kanlin kolej 12. Sore itu kantin kolej 12 padat pengunjung. Kantin yang dikenal paling murah di seluruh kawasan Univesiti Malaya itu begitu hidup. Padat bergairah, namun tetap rapi dan bersih. Ada lima belas cafe dan kedai. Sore itu semua buka. Bisa dipastikan sembilan puluh sembilan persen pengunjungnya adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la memilih SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung, ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Cafe berkerudung coklat muda bertanya, "Minum apa Dik?" "Teh O14 panas Kak." Jawabnya sambil meletakkan piringnya yang p e n u h nasi dan lauk. la memang mengambil nasi dengan porsi banyak. Sebab ia merasa sangat lapar. Sepuluh jam duduk serius di perpustakaan telah membuat tenaganya terasa terkuras habis. "Berapa Kak? Tambah m i n u m Teh O panas," tanyanya pada kasir. "Empat ringgit dua puluh sen." Ia keluarkan lima ringgit. Lalu kasir berwajah bulat berkerudung putih itu memberinya uang kembali. Tiga keping uang logam. Lima puluh sen, dua puluh sen, dan sepuluh sen. Total delapan puluh sen.
Teh O = Teh murni tanpa susu atau campuran lainnya. Jika pesan dengan menyebut teh saja tanpa bilang O akan diberi teh tarik. Teh tarik adalah teh campur susu yang dikocok.
14

285


Zul melangkah mencari tempat yang kosong. Ia lemparkan p a n d a n g a n matanya ke segenap arah. Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak sepasang mahasiswa China meninggalkan tempatnya. Ia segera bergegas ke sana. Ia melangkah cepat. Jika tidak ia kuatir akan didahului orang lain. Piring bekas makan mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya. Seorang petugas kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya. Petugas itu dengan sigap langsung membersihkan meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi alumunium. Ketika hendak menyantap ia teringatbelum mengambil minumannya. Ia kembali ke SR Cafe dan mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum ada yang menempati. Zul mulai makan dengan lahap. Ia merasakan kenikmatan luar biasa. "Hmm benar kata pepatah China, rasa lapar adalah koki paling hebat di dunia." Lirihnya pada diri sendiri. Sesekali ia melongokkan kepala memandang ke kiri dan ke kanan. Melemparkan pandangan kalau-kalau ada mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Namun ia rasa agak aneh, sore itu dari sekian pengunjung tidak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Bahkan si Edy, si Gugun, si Rizal dan si Emil yang biasanya ada di kantin Kolej 12 pada jam seperti itu pun tidak ada. Ia terus makan. Seorang mahasiswi berwajah India hendak minta ijin untuk duduk di depannya. Tampaknya mahasiswi itu agak ragu. Mahasiswi itu tidak jadi duduk
286


satu meja dengannya. Mahasiswi itu memilih mencari tempat yang lain. Sambil makan ia tenggelam dalam lamunannya. Ia melamun tentang masa depannya. Selesai master ia harus bagaimana? Langsung pulang ke Indonesia dan mencari peluang kerja atau usaha, ataukah langsung saja melanjutkan studi mengambil program doktor? Kalau pulang ke Indonesia, di mana ia akan pulang? Ke tempat siapa? Ia merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa. Sejak kecil ia tidak melihat ayah dan ibunya. Menurut cerita Pakdenya, ibunya yang bodoh adalah korban penipuan. Ibunya kerja di sebuah pabrik di Semarang. Di tempat kerjanya ia kenal dengan seorang lelaki. Lelaki itu mengaku dari Lampung. Ibunya terpikat oleh penampilan dan mulut manis lelaki itu. Ibunya ikut saja ketika lelaki itu mengajaknya menikah secara siri. Asal sah menurut syariat tapi belum dicatat secara resmi di KUA. Pakdenya sebagai wali satu-satunya tidak menyetujui. Pakdenya menginginkan kalau menikah ya menikah serius. D i u m u m k a n terangterangan dan dicatat secara resmi di KUA. Namun lelaki itu beralasan, keluarga besarnya harus datang ke Demak jika nikah besar-besaran. Dan ia masih harus mengumpulkan biaya unruk itu. Nikah siri adalah solusi agar hubungan dua insan itu halal. Ibunya yang sudah cinta mati pada lelaki itu mendukung nikah siri. Ibunya bahkan mengancam akan b u n u h diri jika Pakdenya tidak merestui. Akhirnya Pakdenya terpaksa menikahkan ibunya dengan lelaki itu secara siri. Lelaki itu hidup satu rumah dengan ibunya
287


selama dua bulan. Setelah itu ia pamit pergi ke Lampung untuk menjenguk keluarganya. Dan ternyata tidak kembali. Padahal saat itu ibunya tengah hamil. Pakdenya mencoba mencari lelaki itu di Lampung. Di alamat yang ada di KTP yang ditinggalkan di Lampung. Ternyata alamatnya fiktif. Ibunya stres. Kesehatannya menurun. Dan meninggal saat melahirkan dirinya. Sejak itu ia ikut Pakdenya. Pakdenyalah yang ia sebut dengan panggilan ayah. Ia bahkan tidak tahu nama ayahnya. Ketika ia tanya sama Pakdenya nama ayahnya, Pakdenya memberikan KTP yang ditinggalkan ayahnya. Disitu tertulis sebuah nama. Tapi Pakdenya yakin nama itu pun fiktif, alias samaran. Ia merasa tidak punya ayah. Namun ia merasa sedikit tenang bahwa ia terlahir dari hubungan yang halal. Dengan menikah. Meskipun ayahnya menikahi ibunya dengan menipu. Dengan tidak mengenal ayahnya sejak kecil ia merasa bahagia karena tidak mendapatkan didikan untuk menipu. Sejak kecil ia dididik oleh Pakdenya untuk jujur dan bertanggung jawab. Selama ini yang ia anggap sebagai keluarga ya Pakdenya. Tapi Pakde yang bertalian darah dengannya sudah meninggal. Pakde yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu telah tiada. Sebenarnya ia telah menganggap Budenya adalah ibunya sendiri. Namun setelah Budenya itu menikah lagi, ia merasa menjadi asing dan tidak enak jika ke rumah Budenya. Apalagi Budenya sudah tidak lagi menempati rumah yang dulu, tapi kini telah pindah ke rumah suaminya yang baru. Pindah bersama seluruh anak-anaknya. Rumah Budenya yang
288


lama, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya ia dengar telah dijual. Jika ia hendak pulang ke Indonesia ia mau pulang ke mana? Ia merasa tidak punya siapa-siapa. Dan jika ia terus lanjut program Ph.D, apakah ia akan hidup dengan cara seperti ini terus. Hidup dengan cara sapi perah. Hidup di Kuala Lumpur dengan tanpa mengenal istirahat. Hidup untuk bekerja sambil belajar. Itu yang ia rasakan. Jujur saja. Bisa saja ia mengatakan ia bekerja untuk hidup dan bekerja untuk belajar. Tapi ia merasa sepertinya telah diatur oleh waktu untuk bangun pagi, lari ke sana, lari ke sini. Bekerja di sana. Bekerja di sini. Waktu seolah telah memprogramnya begitu, agar ia bisa bertahan hidup. Seolah jika ia menyalahi program waktu itu, hidupnya terancam. Ia terancam tidak bisa membayar sewa rumah, terancam tidak bisa makan, terancam tidak bisa membayar uang kuliah, dan terancam tidak bisa menata hidup lebih layak di masa depan. Ia selalu berusaha menyembuhkan kelelahannya dengan menghibur diri: inilah proses merubah takdir. Kata-kata yang selalu ia gumamkan saat didera keletihan itulah yang menguatkannya. Ia merasa sejak kecil ditakdirkan untuk menderita. Namun ia merasa Allah tetap menyayanginya. Ia yakin Allah telah menyiapkan banyak jalan dan sebab untuk merubah takdir. Ia yakin dengan usaha yang gigih Allah akan merubah takdirnya. Itulah yang menguatkan dirinya. Namun seringkali ia berpikir, apakah dirinya telah tepat mengambil jalan dan sebab dalam mengubah takdir. Sejak lulus SMA di Sayung Demak, ia telah berusaha keras. Merantau ke Semarang, membanting tulang di
289


Semarang. Sambil bekerja apa saja di Semarang ia berusaha tetap kuliah. Akhirnya selesai juga S.l-nya. Ia meraih gelar S.Pd. dari IKIP PGRI. Namun meraih gelar S.Pd. ia rasakan belum juga merubah nasibnya. Ia tetap harus bekerja sebagai penjaga parkir di Pasar Johar jika ingin tetap bisa makan. Ia bekerja bersama mereka yang bahkan hanya lulus SD. Ia bahkan sering dijadikan bahan olok-olokan oleh teman-temannya, "Kalau hanya jadi tukang parkir ngapain kuliah sampai sarjana." Ya ia sarjana, tetapi bosnya hanyalah lulusan SD. Ia lalu berpikir untuk hijrah. Pindah. Mencoba peruntungan baru. Hijrah dari satu takdir ke takdir yang ia anggap lebih baik. Ia nekat ke Jakarta.Di Jakarta ia merasa tidak mendapatkan apa yang ia cari. Sama saja. Ia masih tetap menjadi buruh kasar. Ia merasa tak ada gunanya ia kuliah. Hanya empat bulan ia bertahan di Jakarta. Ia lalu nekat merantau ke Batam. Banyak yang bercerita Batam adalah cara cepat merubah nasib. Di Batam banyak pekerjaan dan banyak uang. Di Batam ia merasa menemukan takdir yang tak jauh berbeda. Namun ia merasa harus bersyukur, di Batam ia bertemu dengan seorang sosok yang tulus. Namanya Pak Hasan. Dialah orang yang mengarahkannya merantau ke negeri Jiran ini dan menyemangatinya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. "Kamu masih muda, seberangilah lautan ini. Dan tuntutlah ilmu ke jenjang yang lebih tinggi di sana. Hanya dengan ilmulah seseorang akan lebih mudah memperbaiki nasibnya. Jangan kuatir, Allah akan membukakan pintu rahmat-Nya untukmu. Di sana, asal
290


adik gigih dan terus ingat Allah, kamu akan tetap survive. Percayalah kamu akan sukses. Percayalah dengan ilmu derajatmu akan diangkat oleh Allah! Dan dalam setiap langkahmu, berpegangteguhlah kamu pada Al-Quran, niscaya kamu akan sukses!" Begit kata Pak Hasan padanya waktu itu, seraya memberikan mushaf kecil AlQuran. Ia merasa tak boleh berhenti untuk merubah nasib. Ia harus terus berusaha. Dan dengan modal seadanya, dengan nekat yang disertai sebuah tekad ia merantau ke negeri Jiran ini. Dengan berdarah-darah ia akhirnya bisa tetap hidup dan bisa kuliah pascasarjana. Dan kini ia sudah diambang pintu kelulusan. Tak lama lagi ia akan menyandang gelar M.Ed, atau Master of Education dalam bidang Sosiologi Pendidikan. Gelar yang keren. Di desanya, ia mungkin satu-satunya orang yang meraih gelar M.Ed, dari sebuah universitas terkemuka di luar negeri. Menyadari kenyataan itu bukannya ia bangga, justru dadanya kini sesak. Ia memang bahagia lantaran ia akan segera lulus S.2. Keseriusannya memfokuskan diri pada kuliah dan kerja—usai membaca berita tentang penangkapan Siti Martini dan kawan-kawannya—telah menampakkan hasil. Ia hanya perlu waktu empat semester saja untuk menyelesaikan S.2-nya. Satu bulan lagi, begitu tesisnya ia perbaiki bisa dikatakan ia telah berhasil meraih gelar master. Namun ia merasa ada yang menyesak di dadanya. Ia merasa masih juga hidup dengan cara bertahan dengan kekuatan otot. Ilmu Sosiologi Pendidikannya ia rasakan
291


belum juga bermanfaat baginya. Yang paling akrab dengannya masih juga kerja-kerja yang mengandalkan otot. Belum kerja profesional yang mengandalkan otak. Jika ia hitung, rata-rata ia harus bekerja dua belas jam setiap hari. Dan ia harus menempuh jarak tak kurang dari dua puluh kilo setiap hari. Selesai kuliah setiap malam ia harus tiba di Jamaliah Cafe tepat jam sembilan malam dan pulang jam dua malam. Di antara sekian pelayan restoran hanya dia seorang yang calon master. Rata-rata mereka hanya tamat SMA. Sedangkan sang pemilik restoran hanya lulusan D2 dari sebuah institut tidak terkenal di Shah Alam. Ia bertanya p a d a diri sendiri, a p a k a h jika ia melanjutkan Program Ph.D., ia juga akan tetap seperti ini. Bertahan dengan cara seperti ini. Bahkan ketika telah meraih gelar Ph.D. juga akan tetap bertahan hidup dengan cara seperti ini. Dan jika ia pulang ke Indonesia dengan gelar doktor, akankah ia tetap akan bekerja sebagai kuli panggul di pabrik atau kerja otot lainnya? Atau, ia justru akan masuk dalam daftar panjang para pengangguran yang hidup tak mau mati p u n segan? Ia teringat kata-kata Doktor Nyatman, salah satu putra terbaik Indonesia yang kini bekerja di sebuah perusahaan farmasi di Selangor, "Di Indonesia, doktor yang menganggur sudah mulai banyak. Bahkan doktor yang memiliki kualifikasi keilmuan yang hebat sekalipun. Banyak putera bangsa yang berprestasi, bisa menyelesaikan doktor dan memiliki prestasi gemilang bertaraf internasional tapi sama sekali tidak diapresiasi di Tanah Air. Saya punya
292


kenalan seorang doktor lulusan Jepang yang cemerlang dan mendapat banyak penghargaan internasional atas riset-risetnya yang brilian, namun sama sekali tidak dihargai di Indonesia. la melamar ke pelbagai universitas negeri di Indonesia dan tak ada satu pun yang menerima. Di Indonesia penjilat dan penjahat lebih dihargai daripada ilmuwan dan pahlawan." Ada nada marah dan pesimis dalam kata-kata Doktor Nyatman. la merasakan Doktor Nyatman seolah-olah menjaga jarak dari Indonesia. Bahkan seolah-olah sudah merasa bukan lagi orang Indonesia. la mengatakan orang Indonesia dengan sebutan "mereka", dan menyebut pemerintah Indonesia dengan sebutan "pemerintah mereka", bukan pemerintah kita. Karena ia hidup di Malaysia, apakah ia merasa lebih nyaman menjadi orang Malaysia dan tidak lagi merasa menjadi orang Indonesia? Ataukah ia sudah malu menjadi orang Indonesia? Kenapa Doktor Nyatman menyampaikan itu semua kepadanya? Apakah supaya dirinya takut hidup di Indonesia? Ataukah supaya dirinya benar-benar siap menghadapi beratnya tantangan hidup di Indonesia? Atau bukan itu semua, tapi hanya sebuah ungkapan kejengkelan seorang putra bangsa yang disia-siakan oleh bangsanya sendiri, sampai ia harus mengais sesuap nasi di negeri orang. Padahal gelar doktor dari Jerman telah ia sandang. Jawabnya: Allahu a'lam. Yang jelas ia sedang berpikir keras, bagaimana takdir hidupnya segera cepat berubah. Ia merasa sudah terlalu lama ia bersabar mati-matian berproses untuk membuka lembaran hidup yang lebih baik. Yang ia pikirkan apakah
293


ia salah mengambil sebab dan jalan yang disiapkan Tuhan? Kenapa ada orang yang hanya cukup bekerja empat jam saja, di dalam tempat yang nyaman pula, dan hajat hidupnya tercukupi semua. Bahkan berlebih dan bisa membantu dan menolong sesama. Bangun pagi tersenyum, siang tersenyum, malam tersenyum dan tidur pun tersenyum. Kenapa ada negara yang benar-benar mandiri, bisa memakmurkan rakyatnya dan menjaga kehormatan bangsanya di mata dunia? Negara itu kecil, tidak memiliki kekayaan alam apa-apa. Tapi ia bisa mengendalikan negara sekitarnya bahkan memanfaatkannya. Sementara itu di sisi lain, ia lihat sendiri—bahkan ia mengalami sendiri—ada orang yang nyaris hidupnya ia gunakan untuk bekerja. Ia bekerja nyaris dua puluh empat jam penuh, namun ia tetap juga sengsara. Hidupnya nyaris tak pernah bahagia. Padahal ia ulet luar biasa. Ah, ia jadi teringat para petani di desanya. Ia teringat Kang Darsuki. Betapa luar biasa etos kerjanya. Ia selalu bangun jam tiga pagi, jauh sebelum Subuh. Membantu menyiapkan dagangan sang isteri untuk dijual ke pasar. Saat Subuh tiba ia dan isterinya telah berada di pasar. Ia shalat Subuh di pasar. Lalu bergegas pulang, sementara sang isteri berjualan hasil ladang di pasar. Setelah mengurus anaknya yang masih SD, ia langsung ke sawah. Ia biasanya bekerja di sawah sampai jam setengah lima sore. Malam harinya ia gunakan untuk bekerja membuat kursi. Selain sebagai petani ia juga dikenal sebagai seorang pembuat kursi. N a m u n sampai ia meninggal dunia karena penyakit typus akut, rumahnya
294


masih berdinding bambu dan beratap seng bekas. Dan belum memiliki kamar mandi dan WC yang layak. Di mana letak salahnya? Kenapa petani Indonesia seolah harus terus miskin, sementara petani dari negeri Jiran saja bisa makmur dan menyekolahkan anaknya ke London? la lalu teringat pada dirinya sendiri. Kenapa ia yang sebentar lagi selesai master masih saja menggantungkan hidup dari mencuci piring di cafe dan restoran, sementara temannya dari Pahang yang juga calon master sudah memiliki dua perusahaan, dan satu kebun kelapa sawit seluas seribu hektar di Sumatera. Ya di Sumatera, Indonesia. Bukan di Melaka Malaysia. *** "Maaf Bang, boleh saya duduk kat sini?" Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia memandang ke arah suara. Seorang gadis Melayu berdiri di depannya. Tangan kanannya memegang piring berisi makanan dan tangan kirinya memegang gelas berisi minuman berwarna cokelat. Bisa susu cokelat atau Milo. Bisa juga teh tarik. "Em...silakan." Jawabnya sambil mengambil tasnya dari atas meja dan meletakkannya di atas kursi yang ada di samping kanannya. Gadis itu langsung meletakkan piring dan gelasnya di atas meja. Gadis itu tidak membawa tas. Dengan gerakan yang lembut gadis itu duduk lalu makan. Gadis itu makan dengan menunduk. Ia tidak mempedulikan sama sekali gadis di hadapannya itu. Ia melanjutkan
295


melahap nasi dan lauk yang masih tersisa di piringnya. Setelah nasinya habis, ia meneguk teh O panasnya teguk demi teguk. Ia merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Kehangatan itu juga mengaliri syarafsyaraf kepalanya. Dan p e r l a h a n rasa p e n i n g n y a memudar dan hilang. Tanpa terelakkan ia sempat juga memperhatikan gadis di depannya, yang sedang lahap makan. Gadis itu memiliki tahi lalat di dagu sebelah kiri. Paras wajahnya memancarkan pesona khas gadis Melayu. Baju kebaya panjang berwarna biru muda membalut tubuhnya. Ia tidak memakai jilbab. Rambutnya tergerai sebahu. Rambut itu hitam pekat dan berkilau indah. Zul merasa ada yang janggal dengan cara makan gadis itu. Gadis itu makan dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk memegangi hand phone y a n g ia t e m p e l k a n ke telinga kanannya. Bahkan ketika sudah selesai bicara pun gadis itu tetap makan dengan tangan kiri dan tangan kanannya dibiarkannya tidak bekerja. Ia merasa harus meluruskan kejanggalan itu. "Maaf Dik, boleh saya cakap sesuatu," katanya tegas pada gadis itu. Gadis itu menghentikan makan dan memandang ke arahnya. Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan. "Adik seorang Muslimah?" Gadis itu kembali menganggukkan kepala. "Maaf, ini hanya pelurusan kecil saja. Agar makan dan minum adik benar-benar barakah, sebaiknya adik
296


makan dan minum memakai tangan kanan. Tidak memakai tangan kiri. Itu cara minum yang tidak disukai Rasulullah Saw. Maaf saya tidak bermaksud apa-apa kecuali kebaikan." Muka gadis itu sedikit memerah. "Terima kasih atas nasihatnya. Tapi kenapa Abang pedulikan saya? Apa Abang tidak punya urusan yang lebih penting?" Agaknya gadis itu tersinggung. "Sekali lagi maafkan saya Dik, jika ini mengganggu kenyamanan adik. Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya entah kenapa saya merasa hati ini tidak bisa diam setiap kali melihat ada sesuatu yang kurang pas. Sekali lagi maafkan saya, saya hanya ingin cara makan adik sesuai dengan sunnah Rasul. Itu saja. Tak ada maksud lain. Itu pun kalau adik berkenan." Zul bangkit dari kursinya dan bergegas ke sepeda motornya yang terparkir tak jauh dari tempat makan. la sama sekali tidak mempedulikan reaksi gadis itu. Yang ada dalam benaknya adalah segera sampai rumah. Istirahat sebentar. Mandi. Menunggu Maghrib. Dan selepas shalat Maghrib kembali memperbaiki tesisnya. Malam nanti ia akan kerja lembur untuk tesisnya. la telah ijin tidak kerja di Cafe Jamalia. Dengan tenang Zul menaiki motor bututnya, dan melenggang meninggalkan kantin kolej 12. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa gadis Melayu itu terus memperhatikan dirinya sampai ia hilang dari pandangan gadis itu. ***
297


Sebelas

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com

Waktu terus berjalan, menghasilkan pergantian jam. Menghasilkan siang dan malam. Menghasilkan sejarah kehidupan dan kematian. Sejarah orang-orang yang gagal dan sejarah orang-orang yang berhasil. Sejarah orang-orang yang malang dan sejarah orang-orang yang beruntung. Waktu terus berjalan. Setiap detik selalu ada perubahan. Ya, waktu terus berjalan tanpa henti. Zul termenung di kamarnya memikirkan waktu yang ia lalui dan perubahan-perubahan yang ia alami. Alangkah cepat waktu berjalan. Dan alangkah cepat
299


umur berkurang. Ia merasa seperti baru kemarin ia lulus SD, terus SMP, terus SMA. Kenangan-kenangan saat di SMA terbayang di depan mata. Ia seolah ada di dalamnya. Perubahan terasa sangat cepat. Ia menyadari bahwa ia ternyata sudah dua tahun lebih di Malaysia. Ia sudah selesai S.2. Sepertinya baru kemarin ia masuk flat itu diantar oleh Pak Rusli. Lalu berkenalan dengan Sugeng, Yahya, Arif, Rizal dan Pak Muslim. Sekarang mereka sudah tidak ada lagi di flat itu bersamanya. Sugeng sudah selesai setengah tahun yang lalu dan kini mengajar di STAIN Kendari. Yahya sedang menempuh program Ph.D., ia kini tinggal di Sigambut bersama isterinya. Arif sudah selesai masternya dan kini bekerja di sebuah Bank Syariah di Semarang. Rizal juga sudah selesai, ia mendirikan penerbitan di Bandung. Pak Muslim sudah menyelesaikan doktornya dan telah kembali mengajar di UNY. Orang yang dulu satu rumah dengannya telah meninggalkannya. Kini ia tinggal bersama adik-adik yang lebih muda yang baru datang. Tak terasa. Ia sudah mulai merasa semakin tua. Umurnya sudah mendekati kepala tiga. Sugeng, Yahya, Arif dan Rizal semuanya sudah berkeluarga. Hanya dirinya yang belum. Semua sudah mengamalkan dan membagi ilmunya. Hanya ia seorang yang ia rasa belum. Ia masih saja seperti dulu. Bekerja di cafe dan restoran. Ia masih memikirkan tentang nasibnya yang ia rasa belum mengalami perubahan. Ia gelisah. Akan ia bawa ke mana gelar M.Ed.nya? Apakah hanya untuk memperpanjang namanya saja. Biar tampak ada gelar di belakangnya?
300


Hari itu jam tiga siang ia merasa harus silaturrahmi ke rumah Yahya. Ia ingin mendiskusikan kegelisahannya. Ia harus mengakui terkadang ia merasa sangat jauh dari dewasa. Ia merasa belum bisa berpikir tenang dan jauh ke depan seperti Yahya. Ia juga sering bertanya pada dirinya sendiri apakah kegelisahannya seperti itu termasuk tanda-tanda tidak menyukuri nikmat Tuhan? Bukankah Tuhan telah banyak merubah dirinya. Dari orang jalanan yang terbuang dari kota ke kota menjadi orang yang hidup tenang. Dari orang yang pernah nyaris binasa karena dibelenggu oleh syahwat cinta menjadi orang yang merdeka. Ketika ia sampai di r u m a h Yahya ia langsung menyampaikan kegelisahannya. Yahya menjawab, "Bersabar dan bersyukurlah Saudaraku. Jangan tergesa-gesa. Tetaplah sabar dan istiqamah dalam berusaha. Syukurilah apa pun karunia yang dilimpahkan oleh Allah. Jangan kau mendikte Allah. Jangan kau berprasangka b u r u k p a d a Allah. Allah-lah yang Mahatahu yang terbaik untuk kita. Apa yang menurut kita baik belum tentu baik menurut Allah. Dan apa yang menurut kita tidak baik belum tentu tidak baik menurut Allah. Apa yang kita sukai belum tentu itu baik bagi kita. Dan apa yang kita benci belum tentu tidak baik bagi kita. "Bisa jadi, sampai saat ini kau masih bekerja di cafe, karena itu memang yang terbaik. Bisa jadi setelah itu akan ada hikmah yang luar biasa bagimu. Yang paling penting bersabar dan bersyukurlah. Optimislah. Dan berprasangka baiklah kepada Allah."
301


Zul merenungkan perkataan sahabatnya itu. Yahya mempersilakannya untuk mencicipi agar-agar buatan isterinya. Zul mengambil satu dan memuji, "Agaragarnya enak." Spontan Yahya menjawab, " M a k a n y a segera menikah, biar ada yang membuatkan agar-agar." "Kalau kau ada calon untukku boleh Ya. Aku merasa sudah tiba saatnya. Orang satu rumah kita dulu sudah menikah semua. Hanya aku saja yang belum." "Kau serius Zul." "Serius." "Kalau orang Malaysia bagaimana?" "Kalau salehah kenapa tidak?" "Ini serius lho Zul." "Ya pasti seriuslah Ya. Masak aku main-main." "Baik. Ini ada calon. Orangnya baik. Aku berani jamin. Dulu dia t e m a n isteriku w a k t u kuliah di Birmingham. Dia Muslimah yang taat. Tidak pernah menanggalkan jilbab. Bagaimana?" "Boleh saja. Cuma aku kuatir kalau aku mau dan dianya tidak mau." "Bagaimana kalau sebaliknya. Ternyata dianya mau malah kau yang tidak mau." "Kayaknya itu kemungkinan kecil Zul. Kalau kau sudah berani menjamin baik, masak sih aku tidak mau. Siapa namanya kalau boleh tahu?" "Laila Abdurrahman." "Kau mau ta'aruf serius dengannya Zul."
302


"Wualah tho Ya, Yahya. Berapa kali lagi kau akan tanya tentang keseriusanku. Baiklah, aku serius Ya." "Kalau begitu kau besok datanglah ke masjid kampus UKM 15 Bangi jam 3 sore. Kau akan aku temukan dengannya insya Allah." "Baik." *** Hari berikutnya Zul berangkat ke Bangi naik KTM dari Pantai Dalam sampai UKM lalu naik bus mini kuning ke masjid kampus UKM. Yahya ternyata sudah menunggu di masjid. Begitu ia sampai ia langsung diajak ke Fakulti Ekonomi. Ia dibawa ke auditorium. Di sana ada seminar membahas dua judul proposal disertasi doktor. Dua orang mahasiswa program doktor dari Malaysia mempresentasikan judul proposal disertasi mereka di hadapan dosen dan guru besar. Zul dan Yahya duduk agak di belakang. Satu per satu kandidat doktor itu mempresentasikan kajiannya. Ada empat profesor yang menilai dan mengkritisi. Di antara empat profesor itu ada profesor madya perempuan yang tampak masih muda dan cantik. Dialah yang menjadi artis di ruangan itu. Zul diam-diam tersihir oleh keanggunan dan kecerdasan profesor itu. "Ya, perempuan Malaysia ada yang hebat juga ya. Itu yang di depan itu. Masih muda sudah profesor madya. Canggih betul." " Kau tahu itu siapa?"
15

Universiti Kebangsaan Malaysia.

303


"Siapa Ya?" "Itulah orang yang akan aku kenalkan denganmu." Zul kaget bagai disambar petir. "Weh, yang benar Zul. Kau jangan bercanda Zul. Masak jauh-jauh datang kemari hanya untuk bercanda?" "Aku tidak bercanda Zul. Aku serius. Dia itu namanya Prof. Madya Datin Laila Abdul Majid, Ph.D. Dia menyelesaikan S.2 dan S.3-nya di Birmingham. Satu kelas dengan isteriku saat S.2. Hanya saja isteriku pulang ke Indonesia setelah selesai S.2-nya, sedangkan dia langsung lanjut S.3. Kata isteriku, ketika di Birmingham dia termasuk mahasiswi yang disanjung banyak dosen karena kecerdasannya. Itulah kelebihan yang dia miliki. Bagaimana Zul, mau dilanjutkan apa tidak? Terus terang aku tidak bilang apa-apa padanya. Kalau mau nanti kita datangi dia dan kita ngobrol santai saja. Bagaimana?" "Lanjut Ya." "Okay, kau juga harus tahu kekurangannya, kalau ini dibilang kekurangan, dia itu sudah janda. Sudah pernah mau punya anak tapi keguguran. Dia janda karena suaminya meninggal dunia. Bagaimana Zul? Dilanjutkan apa tidak?" Zul berpikir sejenak. Lalu menjawab, "Dilanjutkan." "Baik." Jawab Yahya sambil tersenyum. Setelah seminar selesai Yahya bangkit. Isteri Yahya ternyata juga ada di ruangan itu. Isteri Yahya menyalami Prof. Datin Laila. Keduanya berangkulan mesra. Lalu Yahya menyapa seraya memperkenalkan Zul. Mereka
304


berempat lalu berbincang-bincang sambil berdiri beberapa saat. Prof. Darin Laila sangat ramah dan murah senyum. Zul terpesona dengan aura kemelayuannya. Mereka berbincang tidak lama, sebab waktu shalat Ashar tiba. Prof. Datin Laila minta diri ke ruangannya. Yahya dan isterinya serta Zul bergegas ke masjid dengan mobil Yahya. Di perjalanan isteri Yahya menjelaskan b a h w a Laila adalah teman akrabnya saat di Birmingham. Beberapa bulan lalu Laila meminta padanya kalau p u n y a calon yang sesuai untuknya. Orang Indonesia tidak apa-apa. Hari itu Zul seperti mimpi. la seperti tidak percaya kalau calon yang dikenalkan dengannya adalah seorang Datin Laila yang ia rasakan lebih dari seorang bidadari. "Tapi Datin Laila belum tahu apa-apa. Dia tidak tahu kalau ada orang Indonesia yang melihatnya dan berniat ta'aruf dengannya. Besok baru aku akan jelaskan padanya. Apa kira-kira reaksi dan tanggapan dia. Semoga seperti yang kita harapkan. Kalau melihat suami dia dahulu juga dari kalangan orang biasa. Bukan dari kalanganbangsawan," kata isteri Yahya. "Insya Allah, kalau ini jodohmu tidak akan lari ke mana-mana Zul." Sambung Yahya. Zul mengamini dalam hari berharap semoga surga itu telah ia rasakan di dunia. Setelah shalat Ashar mereka pulang meninggalkan kampus UKM. Yahya dan isterinya membawa mobil. Zul naik bus kuning. Yahya menawarkan padanya untuk satu mobil, tapi Zul ingin berkunjung ke rumah seorang kenalannya bernama Ardan di Hentian Kajang.
305


Zul naik bus mini kuning ke Hentian Kajang. Ongkosnya cuma tujuh puluh sen. Sepuluh menit kemudian bus itu sudah sampai di Hentian Kajang. Zul berjalan ke kanan menuju tempat duduk para penumpang. Ketika ia melewati tempat itu, sekonyong-konyong ada seorang wanita berjilbab yang memanggilnya dengan keras. "Zul! Mas Zul!" Ia menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. Seorang wanita berjilbab dengan wajah gembira melangkah ke arahnya. Ia mengamati dengan seksama, mencoba mengingat-ingat. "Lupa ya sama saya? Pasti lupa?" kata wanita itu sambil tersenyum. "Siapa ya? Agak lupa-lupa, ingat," jawab Zul. "Sudah terlalu sibuk dan sudah lama sekali tidak bertemu jadi kau lupa. Sangat wajar. Apalagi penampilan saya dulu dengan sekarang berbeda. Pasti kau susah menerka." "Aduh langsung saja. Siapa ya?" katanya sambil melihat jam. Ia memang tidak punya waktu terlalu longgar untuk hal yang kurang penting. "Baik Mas. Saya Sumi Mas. Saya Sumiyati. Kita dulu ketemu di Subang Jaya. Ingat? Saya dulu tidak jilbaban seperti sekarang." Seketika Zul terkaget dan langsung tersenyum bahagia. "O Mbak Sumi. Ya Allah, saya benar-benar susah mengingat-ingat tadi. Saya sepertinya pernah bertemu.
306


Tapi di mana saya tak ada bayangan. Iya Mbak benarbenar beda setelah pakai Jilbab. Tambah anggun." Sumi tersenyum mendengar pujian. "Alhamdulillah Mas. Saya bahagia berjalan dalam hidayah ini." "O ya Mbak cerita teman-teman yang lain bagaimana ya? Saya pernah ke sana ternyata kalian sudah tidak di sana?" Zul pura-pura bertanya tidak tahu. la tidak bisa melupakan berita koran tentang penangkapan penghuni rumah itu. "Mas belum tahu beritanya ya?" "Berita yang mana?" "Ah baiklah. Aku ceritakan biar nanti kalau suatu saat Mas dengar berita itu tidak salah faham. Begini Mas. Kami pergi tepatnya terusir dari rumah itu ada sebabnya. Sebabnya adalah ulah Linda dan Watik yang keterlaluan. Maksiatnya sudah terang-terangan. Aku yakin kau tahu apa pekerjaan Linda. Melacurkan diri. Biasanya ia dijemput dan berbuat maksiat itu di hotel. Kami mengingatkan tidak m e m p a n . Mbak Mari sering bertengkar dengannya. Apalagi setelah kejadian Mbak Mari mau diperkosa sama mantan suaminya. Mbak Mari curiga Lindalah yang memberitahu keberadaan dirinya pada mantan suaminya. Linda semakin nekat seolah menantang penghuni rumah yang lain. Ia maksiat di kamarnya. Beberapa teman lelaki Linda datang ke rumah. Hal itu dicium oleh masyarakat. Akhirnya rumah itu digrebek. Kami semua dianggap pelacur semua. Padahal pelacurnya cuma Linda sama Watik. Kami diinterogasi habis-habisan. Kami difoto dan masuk koran.
307


Yang paling sabar dan tabah menghadapi ujian ini adalah Mbak Mari. Mbak Mari berusaha sekuat tenaga berdialog dan menjelaskan bahwa tidak semua yang ditangkap adalah pelacur. Akhirnya Mbak Mari bisa menelpon seorang kenalannya. la anak seorang pejabat penting. Dengan jaminan temannya Mbak Mari, kami, selain Linda dan Watik dibebaskan. Sejak itu saya memakai jilbab. Saya ingin lebih berarti menjalani hidup ini. Begitu ceritanya Mas." Zul mengucapkan syukur berkali-kali dalam hati mendengar penjelasan itu. la merasa berdosa telah berprasangka buruk pada semua penghuni rumah, termasuk pada Mari dan Sumi. Sekarang ia tahu Mari bersih. Ia jadi tidak sabar untuk menanyakan keberadaan Mari. Walau bagaimanapun nama itu pernah tertanam dalam hatinya. "Lha Mbak Mari sekarang di mana?" "Dia sudah di Indonesia." "Ada alamarnya?" "Sayang tidak ada. Buku catatanku yang ada alamat dan kontak Mbak Mari hilang di bus. Mungkin jatuh. Saya dengar dia sekarang hidup di Semarang." "Mmm di Semarang. Dia sudah menikah?" "Saya juga tidak tahu. Tapi dia pernah ngobrol dengan saya. Maaf lho Mas Zul ya kalau tidak berkenan. Ia pernah cerita kalau dia diam-diam suka sama Mas Zul." Seperti ada setetes embun membasahi hatinya. Wajah Mari hadir dalam pikirannya. Kenangan lama perlahan
308


muncul ke permukaan. Tapi cepat-cepat ia tepis kuatkuat. Ia tidak boleh menghadirkan kenangan itu. Ia telah siap berta'aruf dengan Datin Laila. "Maaf Mas bus saya sudah datang, saya harus pergi. Say a sekarang tinggal di sekitar sini. Mari Mas. Sukses ya." Sumi minta diri. Zul terpaku di tempatnya beberapa saat lamanya. Kemudian ia teringat hari sudah sore. Ia harus sudah ada di Pantai Dalam sebelum Maghrib. Keinginannya untuk menemui Ardan terpaksa ia urungkan. Ia langsung bergegas mencari bus ke KL Sentral. Dari KL Sentral ia akan nyambung dengan KTM. *** Hari berikutnya, pagi-pagi sekali Yahya datang ke Pantai Dalam. Yahya menyampaikan hasil komunikasi antara isterinya dan Datin Laila. Zul tidak sabar menunggu berita gembira itu. "Bagaimana, sesuai harapan?" tanya Zul. "Pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak masalah...." jawab Yahya tenang. "Alhamdulillah," potong Zul. "E dengarkan dulu sampai aku selesai bicara!" "O masih ada lanjutannya tho. Apa lanjutannya?" "Ya pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah kakak sulungnya, yang sekarang jadi walinya telah membawa seorang calon untuknya. Datin Laila belum mengambil keputusan. Tapi agaknya Datin Laila merasa berat jika harus berseberangan dengan kakak sulungnya."
309


"Artinya ia cenderung mengiyakan calon dari kakaknya kan?" "Begitulah.". Zul menunduk kecewa. "Kenapa dalam masalah seperti ini aku selalu menuai kecewa ya. Dulu mau serius menikahi Mari tak jadi. Apa ya dosaku ini?" "Lha mulai berprasangka tidak baik pada Yang Mahakuasa! Sabarlah Zul. Selain membawa kabar menyedihkan itu aku juga membawa kabar menggembirakan untukmu." 'Apa itu Ya?" "Aku kemarin dibel Pak Muslim. Di UNY ada lowongan dosen. Yang dicari S.2 jurusan Psikologi Pendidikan dan jurusan Sosiologi Pendidikan. Ini mungkin rejekimu. Coba kau masukkan lamaran ke sana." "Wah boleh ini Ya." Zul semangat. "Caranya bagaimana Ya?" "Sebaiknya kau pulang ke Indonesia. Masukkan langsung lamaranmu ke UNY. Sekalian bersilaturrahmi ke rumah Pak Muslim. Siapa tahu Pak Muslim juga mencarikan jodoh untukmu. Mahasiswinya yang jilbaberjilbaber kan banyak." "Wah saranmu brilian sekali Ya. Dunia ini sejatinya luas ya Ya. Wanita di dunia ini pun miliaran jumlahnya. Tidak cuma Mari atau Laila ya." "Lha iya lah."
310


"Kenapa aku baru menyadarinya sekarang ya." "Karena kamu selalu menyempitkan ruang berpikirmu selama ini Zul. Cobalah kau buka lebar-lebar. Hidup ini akan terasa mudah, menyenangkan, dan menggairahkan." "Ya sudah saatnya aku meluaskan ruang hati dan pikiran Ya." "Di antara caranya adalah dengan selalu berprasangka baik kepada Allah." "Terima kasih Ya. Bisa bantu aku lagi?" "Apaitu?" "Pinjami uang untuk beli tiket pesawat," kata Zul tersenyum. "Tentu bisa." "Kau memang sebaik-baik teman Ya." "Kau juga Zul" "Alhamdulillah." ***

311


Dua Belas

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. nurulkariem@yahoo.com

Tiga hari kemudian, Zul terbang ke Yogyakarta. Di Bandara Adi Sucipto ia dijemput oleh Pak Muslim. Begitu bertemu mereka berangkulan erat sekali. Pak Muslim tampak bahagia sekali bertemu dengan Zul, begitu juga Zul. Kesahajaan dan kesederhanaan Pak Muslim sama sekali tidak berubah, meskipun ia telah menyandang gelar doktor. Ia berpakaian biasa, layaknya orang biasa. Orang yang tidak mengenal Pak Muslim bisa jadi menyangka beliau adalah tukang ojek. Sebab saat itu beliau memakai batik warna tua yang tersembunyi
313


dalam jaket cokelat yang tampak tua. Warnanya telah berubah karena terkena panas dan hujan. Pak Muslim menjemput dengan mobil Katana tuanya. Beliau langsung membawa Zul ke rumahnya di sebuah perumahan di daerah Maguwoharjo. "Rumah ini masih menyewa Zul," kata Pak Muslim begitu sampai di rumahnya. "Doakan tahun depan ada rejeki u n t u k membeli r u m a h . Meskipun d e n g a n mengangsur," lanjutnya. "Semoga Pak." "Ayo masuk. Kita cuma berdua di rumah ini. Isteriku sedang tugas ke Semarang. Dua anakku sedang di rumah eyangnya di Solo." Begitu masuk Pak Muslim langsung ke d a p u r membuatkan minuman. "Adanya ini Zul." Kata Pak Muslim sambil membawa dua gelas berisi air sirup berwarna hijau. "Nyaman hidup di Jogja Pak ya?" tanya Zul. "Nyaman dan tidaknya h i d u p itu yang mengkondisikan adalah hati dan pikiran kok Zul. Kalau aku di mana saja merasa nyaman. Aku tak pernah kuatir atau takut sebab aku yakin Allah mengasihiku." "O ya Pak tentang lowongan itu. Ada berapa kursi? Kira-kira yang daftar banyak tidak?" "Cuma enam kursi saja. Secara keseluruhan, yang daftar mungkin puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan. Saya tidak tahu persis. Tentang peluangmu, ya yakin saja ini adalah rejekimu. Tapi untuk Sosiologi Pendidikan, saya lihat yang daftar sampai kemarin
314


belum terlalu banyak, kira-kira baru belasan orang. Peluangmu mungkin bagus. Apalagi hanya kau yang meraih M.Ed, dari luar negeri." "Doanya Pak." "Semoga. Syarat-syarat sudah lengkap semua?" "Yang belum foto Pak." "Nanti foto kilat saja. Supaya besok berkas kamu bisa dimasukkan." "Iya Pak." "O iya Zul. Kamu tidak ada rencana nikah? Atau masih mengharap yang di Subang Jaya?" "Aduh jadi malu. Jangan diingat-ingat Pak. Tapi penggerebekan di Subang Jaya seperti yang tertulis di koran itu ternyata tidak seperti itu lho Pak. Saya jadi merasa berdosa karena berburuk sangka pada semua isi rumah itu." "Terus sebenarnya bagaimana?" Zul lalu menceritakan pertemuannya dengan Sumi di Hentian Kajang. Dengan detil dan panjang lebar Zul menjelaskan apa yang ia dapat dari Sumi. Pak Muslim mengangguk-angguk. "Hmm saya juga berburuk sangka lho Zul. Jika tidak kauberitahu mungkin selamanya dalam pikiran saya yang ada ya persepsi itu. Persepsi satu rumah itu pelacur semua. Kan kasihan mereka yang tidak berdosa. Ini jadi pelajaran penting bagiku Zul. Kabar apa pun saat ini, di akhir zaman ini harus dicek. Berita saat ini sepertinya kok lebih banyak bohongnya, lebih banyak munafiknya daripada jujurnya."
315


"Ya alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengan Sumi Pak." "Terus tentang nikah. Jadi setelah tahu kabar itu apa masih mau mengejar si Siti Martini itu? Atau bagaimana?" "Aduh Pak itu masa lalu. Sudah biarlah berlalu Pak. Dunia ini kan luas. Jumlah wanita di atas muka bumi ini miliaran Pak. Gadis Muslimah yang belum menikah jumlahnya jutaan Pak, kenapa saya mesti mempersusah diri." "Wah kamu sudah berubah Zul. Tapi ada satu sifatmu yang aku sangat salut. Dan aku berharap sifat itu tidak pernah berubah apalagi hilang dari dirimu." "Apa itu Pak?" "Jujur dan tidak mengada-ada. Itu yang aku suka padamu. Jujur itulah sifat yang mutlak harus dimiliki seorang pendidik di negeri ini. Karena kejujuran sekarang ini jadi barang yang sangat langka Zul." "Doakan saya bisa terus istiqamah Pak." "Semoga Zul. O ya kembali tentang nikah. Muslimah seperti apa yang sekarang kauinginkan. Mungkin aku bisa membantu. Tidak hanya membantumu tapi juga membantu kaum Muslimah yang ingin menikah tapi belum menemukan jodoh. Siapa tahu di antara mereka ada yang sesuai untukmu." "Yang salehah dan jujur Pak. Ah Pak Muslim kan sudah pernah tinggal bersama saya lebih dari satu tahun. Pasti Pak Muslim tahu yang cocok buat saya." "Ini Zul. Ada Muslimah baik sekali. Ini menurut isteri saya. Sebab Muslimah ini kenal baik dengan isteri saya.
316


Pernah satu kampus di Bandung dulu. Dia sokarang kalau tidak salah dosen di Universitas Semarang. Baru menyelesaikan Master Ekonominya di UKM Malaysia." "Umurnya berapa?" "Ya seumuran isteri saya." "Kalau seumuran isteri Bapak, berarti sudah tua dongPak." "Ei jangan salah. Kau tahu berapa umur isteri Baya?" "Berapa Pak?" "Dua puluh delapan tahun. Kau umurmu berapa?" "Tigapuluh." "Berarti kira-kira dia lebih muda dua tahun darimu. Bagaimana?" "Boleh Pak." "Kalau boleh tahu. Dia berjilbab Pak?" "Kamu ini Zul. Isteri saya ini aktivis dakwah, masak mau mencarikan kamu yang suka tabarruj. Ya pasti berjilbab rapat-lah Zul." "Kalau begitu boleh Pak. Boleh tahu namanya Pak?" "Namanya agak panjang Zul. Tapi seingat saya depannya Agustina. Isteri saya kalau memanggil dia Mbak Agustin begitu. Tapi nama penanya kalau dia nulis di koran Asma Maulida, M.Ec. Sebentar aku cari koran dulu. Ada beberapa tulisan dia yang bagus kok." Pak Muslim beranjak menuju rak tempat majalah dan koran tertumpuk. la mengolak-alik beberapa koran sesaat lamanya. "Lha ini dia." Seru Pak Muslim gembira.
317


"Ini Zul tulisan dia coba kaubaca." Pak Muslim menyodorkan koran itu pada Zul. Zul membaca dengan seksama. Runtut, rapi dan argumentatif. Bahasanya enak dibaca. "Baguskan?" "lya Pak?" "Rapi dan runtut kan?" "Iya." "Itulah cermin kepribadiannya. Saya p e r n a h bertemu dengannya. Saya salut. Sangat berkarakter orangnya. Kira-kira bagaimana Zul?" "Saya manut Pak Muslim saja." "Baik. Mumpung isteri saya ada di Semarang. Biar dia urus sekalian. Saya telpon isteri saya sekarang saja." Pak Muslim mengeluarkan hand phone-nya dan memanggil isterinya. Langsung nyambung. Zul hanya mendengar suara Pak Muslim: "O jadi malah sedang bincang-bincang sama dia?" "Di mana Dik, di Warung Bentuman?" "Dia belum ada calon kan?" "Ini, temanku satu rumah yang pernah kuceritakan dulu itu lho Dik." "Ya, sudah selesai M.Ed dari Universiti Malaya." "Namanya Ahmad Zulhadi Jaelani. Tulis saja A. Zulhadi Jaelani, M.Ed." Lalu Pak Muslim menarik hand phone-nya dari telinga kanannya dan bertanya pada Zul.
318


"Zul, tanggal lahirmu berapa?" "21 April 1977 Pak." Jawab Zul. Pak Muslim lalu menyampaikan hal itu p a d a isterinya. Tak lama k e m u d i a n beliau m e n y u d a h i pembicaraannya. Lalu kembali berbicara pada Zul. "Namanya juga ikhtiar. Ya semoga saja ini berhasil." "Jadi Agustin itu masih belum punya calon Pak?" "Ya kata isteri saya begitu. Dia berharap proses kali ini adalah prosesnya yang terakhir. Proses yang m e n g a n t a r k a n n y a memiliki r u m a h tangga yang mawaddah wa rahmah." "Amin. O ya Pak, terus terang saja Pak ya. Bapak ada foto dia?" "Wah sayang tidak punya Zul. Tapi jangan kuatir Zul. Kata isteri saya, biar prosesnya cepat. Artinya kalau iya ya biar segera diijab kalau tidak ya biar cepat ketahuan tidaknya, Agustin akan ikut isteri saya ke Jogja." "Mau datang ke sini?" "Iya. Biar bertemu kamu. Kamu juga biar tidak penasaran. Biar itu tadi cepat jelasnya kalau iya ya biar segera diijab kalau tidak ya biar cepatketahuan tidaknya. Kalau misalnya tidak jadi, karena kau tidak cocok kan sama-sama cepat tahunya. Dan bisa mencari yang lain yang cocok. Kalian kan sudah berumur. Tidak perlu ditunda-tunda atau proses yang rumit dan berbelit-belit tho?' "Iya Pak sepakat." ***
319


Rumah Pak Muslim memiliki tiga kamar. Kamar utama, kamar tamu dan kamar anak. Zul ditempatkan di kamar tamu yang sekaligus merangkap sebagai perpustakaan. Kamar itu penuh buku. Kebanyakan buku-buku tentang pendidikan dan ekonomi. Pak Muslim adalah pakar manajemen pendidikan. Sementara isterinya adalah dosen mata kuliah ekonomi di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Yogyakarta. Siang itu setelah selesai memasukkan berkasnya ke UNY ia diantar Pak Muslim pulang. Ia memang harus istirahat. Sebab sebelumnya ia begadang bersama Pak Muslim di sebuah warung angkring sampai larut malam. Pak Muslim sendiri juga istirahat di kamarnya. Ia telah diberi ijin oleh Pak Muslim kalau mau membaca-baca koleksi perpustakaan pribadinya. Siang itu ia tidak langsung tidur. Tapi ia melihat-lihat buku yang ada di kamar itu. Banyak judul-judul baru terbitan Indonesia. Ia senang dengan perkembangan penerbitan buku di Indonesia yang semakin marak. Tibatiba kedua matanya tertuju pada warna sampul sebuah buku yang sepertinya pernah ia lihat. Ia ambil buku itu.Buku bersampul biru tua. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game Theory with Applications to Economics. Rasa-rasanya ia pernah memegang buku itu. Ia mencoba mengetes ingatannya. Di mana ia pernah memegang buku seperti itu. Ia mengingat-ingat tempattempat ia bisa mengambil dan membaca buku. Akhirnya ia ingat di kamar Mari di Subang Jaya, saat ia pertama kali tiba di Malaysia. Ia tersenyum bahagia ingatannya masih tajam.
320


Ia buka buku itu. Halaman pertama. Dan ia bagai tersengat listrik. Nama pemilik buku itu dan tanda tangannya sama dengan yang ia baca di Subang Jaya: Laila Binti Abdul Majid, TTDL Kuala Lumpur. Pikirannya langsung nyambung ke Prof. Datin Laila Abdul Majid. Diakah pemilik buku ini? Dan ia yakin buku yang ada di tangannya adalah buku yang beberapa tahun lalu ia pegang di Subang Jaya. Lalu bagaimana buku itu bisa sampai di rumah ini? Puluhan kemungkinan dan pertanyaan berkelebat dalam pikirannya. Ia tak mau pusing. Ia merasa lelah dan harus istirahat. Masalah buku itu bisa ia tanyakan pad a Pak Muslim nanti. Lima belas menit sebelum azan Ashar berkumandang ia telah bangun. Pak Muslim telah duduk dengan pakaian rapi siap ke masjid di ruang tamu. "Bagaimana istirahatnya? Enak?" " Alhamdulillah. Sudah segar kembali Pak." "Berarti sudah siap bertemu Agustin ya?" "Jadi malam ini Pak?" "Lhaiyalah?" "Cepatsekali." "Kenapa berlambat-lambat jika bisa cepat." "Di mana akan ketemu Pak." "Di sini. Nanti habis Maghrib aku akan jempul mereka di Pertigaan Janti. Mereka naik bus Ramayana. Setelah shalat Isya kita ad akan majelis ta'aruf di sini." Hati Zul bergetar hebat. Ia tidak pernah menyangka akan sangat cepat proses untuk bertemu dengan calon
321


isterinya. Pak Muslim meneguk air putih yang ada di hadapannya. Zul kembali ke kamarnya untuk bersiap dan merapikan pakaiannya. la kembali keluar dari kamarnya sambil membawa buku bersampul biru tua itu. "Dari mana dapat buku bagus ini Pak?" tanya Zul. Hatinya penasaran. Pak Muslim mengulurkan tangannya. Zul memberikan buku itu pada Pak Muslim. Sesaat lamanya Pak Muslim mengamati buku itu. "Isteri saya yang bawa." "Dari mana dia dapat?" "Saya tak tahu pasti Zul. Nanti malam saja kita tanyakan." *** Usai shalat Maghrib Pak Muslim meluncur ke Pertigaan Janti dengan Katana tuanya. Zul memilih iktikaf di masjid sampai Isya. Sebelum azan Isya berkumandang Pak Muslim sudah tiba di masjid dan memberitahu Zul bahwa Agustin sudah ada di rumah. "Jadi nanti pertemuannya alami saja Zul. Kita pulang dari shalat dan mereka sudah menunggu di ruang tamu. Kita langsung ngobrol dan bincang-bincang santai saja?" "Saya cuma pakai sarung saja begini Pak?" "Lha memangnya kenapa? Kalau pakai sarung apa terus hilang ketampananmu?" "Nggak sih Pak. Nggak apa-apa." "Agustin sekarang aku lihat agak berubah."
322


"Berubah bagaimana?" "Jadi lebih muda dan segar. Dulu waktu pertama kali bertemu bersama isteri di Semarang, ia kurus, agak sayu dan tampak lebih tua dari umurnya." "Kalau begitu bagus lah Pak." "Ya, rejekimu Zul kalau kau punya isteri yang semakin tambah umur tapi wajahnya semakin tambah muda." "Amin ya Rabb." Azan Isya dikumandangkan. Jamaah berdatangan. Shalat sunnah didirikan. Lalu iqamat disuarakan. Shafshaf dirapikan. Dan sang Imam mengucapkan takbiratul ihram. Zul mengikuti takbir Imam dengan hati bergetar. Shalat jamaah didirikan dengan penuh kekhusyukan. Dalam sujud Zul berdoa agar dilimpahi kebaikan dunia dan akhirat, serta diberi pasangan hidup yang menjadi penyejuk hati, teman sejati dalam mengarungi hidup beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Selesai shalat Pak Muslim dan Zul melangkah pasti ke rumah. Semakin dekat dengan rumah hati Zul semakin bergetar hebat. Ia akan bertemu dengan Agustin. Yang dalam bayangannya akan menyejukkan hatinya. Zul sampai di halaman. Pak Muslim melangkah duluan. Dari halaman ia bisa melihat dari terawang sela-sela gorden, ada dua Muslimah berjilbab yang sedang berbincang di ruang tamu. Namun tidak jelas. Jantungnya semakin keras berdegup. Ia berusaha menguasai dirinya, dan menenangkan batinnya. Pak Muslim sudah m e n g u c a p k a n salam. Dua Muslimah itu menjawab bersamaan. Zul mencopot
323


sandalnya. Pandangannya menunduk ke lantai. Pak Muslim masuk. la mengikuti di belakang. la memandang ke depan. Dan... Pandangannya bertatapan dengan p a n d a n g a n seorang perempuan berwajah bersih, wajah yang dibalut jilbab putih bersih. Wajah yang pernah ia kenal. Mata yang pernah ia kenal. Dan... "Z...zul!" Dari bibir perempuan itu tersebutnamanya Ia berdiri mematung di tempatnya. Hatinya sesak oleh keharuan luar biasa. Hawa dingin seolah menyebar ke seluruh syarafnya. Tak terasa airmatanya meleleh. Lidahnya kelu. Perempuan berwajah bersih itu adalah Mari. "Ja..j.adi ternyata kau Zul!" Zul tidak bisa bersuara. Ia hanya mengangguk dengan airmata berderai. "Yang dimaksud temannya Pak Muslim ini kau Zul?" Zul kembali mengangguk. "Ini tidak mimpi kan?!" seru Mari. "Ti...tidak Mari. Tidak! Ini kenyataan!" Zul buka suara dengan tangis yang pecah. Begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Zul, Pak Muslim langsung mengerti. Beliau meneteskan airmata. Hanya isteri Pak Muslim yang masih bingung. "Jadi kalian sudah saling kenal?" tanya isteri Pak Muslim heran. Zul dan Mari menjawab serentak: "I ya!"
324


Pak Muslim menyuruh Zul duduk Mari tak kuasa membendung tangisnya. Isteri Pak Muslim belum mengerti apa yang terjadi. Pak Muslim lalu menceritakan apa yang terjadi pada Zul saat jatuh cinta pada Mari "Zul bilang namanya Siti Martini." kata Pak Muslim. Mari menyela "Benar, nama saya memang Siti Martini. Itu nama kecil saya." Pak Muslim lalu melanjutkan kisahnya Bagaimana Zul nyaris gila dan binasa. Sampai akhirnya ia memanggil Zul dan memberinya tiga saran atau tiga opsi. Lalu Zul memilih opsi yang kedua, yaitu memilih menikahi Mari. Ia dan Zul pergi ke Subang Jaya dan mendapati rumah telah kosong. Seorang perempuan Melayu memberi tahu kalau Mari dan kawan-kawan digrebeg karena dianggap bertindak asusila. "Saat itu aku lihat Zul sangat terpukul. Aku masih ingat bagaimana ia seolah tidak bisa percaya atas apa yang dibacanya. Ia berteriak histeris 'Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!' Aku melihat bagaimana ia membaca lagi nama inisial Siti M di koran itu dengan hati hancur. Dengar nada putus asa Zul saat itu mengatakan, 'Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya.'' Mendengar cerita Pak Muslim, tangis Mari menjadijadi. Perempuan berjilbab itu jadi tahu betapa Zul sebenarnya sangat mencintainya. Bahkan sampai sakit karena mencintainya. Dan sampai datang bersama Pak Muslim untuk mencintainya. Mari lalu berbicara dengan suara terbata-bata. Menceritakan bagaimana dia sebenarnya sangat berharap Zul datang. Ia lalu menceritakan kejadian pemerkosaan
325


atas dirinya dan bagaimana Zul menolongnya. Sejak itu ia merasa bahwa orang paling berhak menerima pengabdiannya adalah Zul. Mari juga mengakui ia berubah total cara hidupnya karena pesan Zul untuk terus mendekatkan diri kepada Allah. Pak Muslim dan isterinya, ikut terharu mendengar kisah mereka berdua. "Subhanallah. Allah tidak mempertemukan di Subang Jaya Malaysia, tapi Allah mempertemukan di Indonesia dalam kondisi yang lebih baik, yang lebih barakah. Insya Allah." Kata Pak Muslim d e n g a n berlinang airmata. "Jadi tak perlu ada ta'aruf ini?" tanya isteri Pak Muslim. Pertanyaan itu malah dijawab dengan derai airmata oleh Mari. Semuanya kemudian diam. Masing-masing menyelami perasaan dan pikirannya sendiri-sendiri. Keheningan tercipta sesaat lamanya. Zul teringatbuku bersampul biru tua. Ia beranjak ke kamar dan mengambilnya. "Kalau boleh tahu bagaimana cerita buku ini. Buku ini rasanya pernah aku baca di Subang Jaya. Kok sekarang ada di sini?" kata Zul. Mari dan isteri Pak Muslim berpandangan. Mari merasa lebih berhak menjawab, "Itu buku milik Prof. Datin Laila Abdul Majid. Dosen sekaligus sahabatku. Saat kaubaca di kamarku di Subang Jaya, saat itu aku masih kuliah semester tiga. Aku kuliah di UKM mengambil part time. Sambil kerja."
326


Zul mengangguk. la langsung bertanya, "Kenapa waktu kenalan dulu kau tidak menyebutkan dirimu mahasiswi? Kenapa malah mengenalkan sebagai pekerja?" Mari mendesah lalu menjawab, "Untuk apa aku menonjol-nonjolkan kuliahku. Aku toh sama sekali tidak bohong. Aku memang bekerja. Dan terus terang karena aku beranggapan pada waktu itu sedang kenalan dengan orang yang mencari kerja. Dengan calon pekerja. Bukankah dulu yang kautanyakan padaku adalah informasi tentang pekerjaan. Dan kau juga, kenapa kau tidak pernah bercerita kalau kau adalah mahasiswa di UM?" Zul diam sesaat, lalu ia berkata lirih, "Jawabannya kira-kira sama denganmu." Pak Muslim dan isterinya tersenyum. "Oh ya saya masih bingung. Namamu itu yang benar siapa tho? Zul memperkenalkan dengan nama Siti Martini. Dia biasa menyebut Mari. Tapi kau mengatakan pada isteriku dengan nama Agustina. Isteriku kalau memanggilmu Agustin. Di koran kau pakai nama Asma Maulida? Banyak nama samaran ya?" Mari menata tempat duduknya dan menjawab, "Baiklah saya jelaskan. Semuanya benar. Artinya semua itu memang nama saya. Saya lahir dengan nama Siti Martini, waktu kelas enam SD, ibu guru membolehkan mengganti nama yang dirasa kurang cantik untuk ditulis di ijazah. Ini agak lucu, tapi memang nyata. Teman saya namanya Sungatemi, biasa dipanggil Ngat,
327


atau Ngatmi ia ganti jadi Salsabila Ayu Ratnasari. la lalu minta dipanggil Ratna. Ada yang namanya Sukodor, ia ganti jadi Anang Febrian, karena lahir di bulan Februari. Saya bingung. Nama saya Siti Martini, biasa dipanggil Mar. Saya ikut-ikutan teman-teman, saya minta ibu guru membuatkan nama saya yang cantik dan panjang. Ibu guru membuatkan nama Agustina Siti Mariana Maulida. Karena saya lahir di bulan Agustus. Untuk nama pena sekarang ini saya sering menggunakan nama Asma Maulida. Asma kepanjangan dari Agustina Siti Mariana. Kepada kolega saya sekarang lebih mantap mengenalkan sebagai Asma. Anggap saja Asma juga nama hijrah saya. Tapi sebenarnya tetaplah nama asli saya. Kepada teman di Bandung saya memperkenalkan diri Agustin. Dan kepada para pekerja di Malaysia sama memperkenalkan diri sebagai Mar, Mari atau Siti Martini." "O begitu. Jadi lengkapnya Agustina Siti Mariana Maulida, M.Ec?" "Iya begitu." Malam itu adalah malam yang sangat bersejarah dan membahagiakan bagi Zul dan Mari. Mereka sepakat untuk menikah secepatnya. Dan dua minggu setelah itu mereka mengikrarkan akad nikah di Sragen. Di desa kelahiran Mari. Selanjutnya mereka hidup bersama dalam kesucian. Dan b e r i b a d a h bersama, saling mendukung dan menguatkan, sujud bersama dalam bingkai mahkota cinta yang terbangun indah di atas mahligai iman dan takwa. ***

328